Mendiang KH. Ali Yafie –Allahu Yarhamhu– adalah ulama Indonesia yang dikenal sebagai ahli fikih. Kiai kelahiran Donggala Sulawesi, 1 September 1926, ini pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam (1991-1992). Beliau memiliki kisah menarik ihwal perjalanannya menyempurnakan rukun Islam kelima; ibadah Haji.
Sebagaimana dituturkan sendiri olehnya dalam buku kumpulan tulisan hasil wawancara tokoh-tokoh nasional, Kiai Ali Yafie pertama kali naik haji pada tahun 1957 dengan menggunakan armada kapal laut. Tentu waktu perjalanan yang ditempuh tidak seperti pesawat terbang saat ini. Melainkan satu bulan; perjalanan pergi dan pulang masing-masing setengah bulan. Berikut penuturan beliau tentang pengalamannya pergi ke Baitullah.
Pertama kali saya naik haji tahun 1957 dengan kapal laut. Cukup lama di perjalanan, pulang pergi masing-masing setengah bulan. Jadi secara keseluruhan menghabiskan waktu sekitar seratus hari. Saya yakin setiap muslim punya kerinduan yang mendalam untuk pergi ke tanah suci. Dan memang dalam melakukan ibadah haji selalu muncul getaran hati yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Adapun getaran iman yang sama dari orang yang paling sederhana sampai intelektual dan penguasa.
Memang haji seakan-akan memiliki daya tarik tersendiri dan Ka’bah itu seperti punya magnet yang begitu kuat pengaruhnya. Barangkali inilah yang lazim disebut panggilan Nabi Ibrahim. Jadi Makah dan sekitarnya memiliki daya tarik yang begitu kuat yang kadang sulit untuk kita pikirkan. Oleh karena itu, ketika orang-orang pertama kali melihat Ka’bah, mau tidak mau meneteskan air mata. Kita bagaikan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kita rindukan. Maka timbulah perasaan yang begitu tinggi. Apalagi pada zaman dahulu, melakukan ibadah haji terasa sangat nikmat karena belum banyak orang. Tidak seperti sekarang nikmat berhaji terasa berkurang karena begitu padatnya orang yang datang dari segala penjuru dunia. Dahulu dalam kapasitas jamaah haji hanya sekitar dua atau tiga ratus ribu orang saja.
Haji; Ibadah yang Unik
Sebagai sebuah ibadah yang bertumpu pada fisik, ibadah haji merupakan ibadah individual yang berat. Terlebih di masa silam belum banyak teknologi yang memudahkan para jamaah haji. Meski demikian, ibadah haji bagi Kiai Ali Yafie merupakan ibadah yang unik. Beliau mengibaratkan manusia seperti mobil yang memiliki daya kekuatan yang tersimpan. Misalnya, mobil mempunyai batas kelajuan 200 km/jam, tetapi pada hari-hari biasa kelajuan yang diperlukan tidak sampai mencapai angka 200 km/jam, paling-paling 60 km/jam sampai 100 km/jam. Jadi masih ada tenaga yang tersisa. Nah, dengan demikian juga manusia, mempunyai daya kekuatan yang tersimpan yang belum pernah digunakan. Suatu contoh tiba-tiba seseorang mampu mengangkat barang berat yang sebelumnya ia tidak kuat mengangkatnya. Tetapi dalam keadaan terdesak, seperti pada saat ada kebakaran ia mampu mengangkat barang tersebut. Inilah tenaga simpanan manusia yang sewaktu – waktu bisa digunakan.
Nah, demikian juga dengan orang yang naik haji yang begitu beratnya. Karena tenaga yang tersimpan baik fisik maupun mentalnya terperihara baik maka ia sanggup melakukannya. Kadang – kadang Rasio kita tidak sampai. Tetapi karena kuatnya iman, keyakinan diri dan kerinduan kita kepada Allah yang membuat kita kuat dan mampu. Daya dan semangat batin itu lebih kuat dari rasio dan keadaan fisik kita sehari – hari. Jadi masalah haji ini memang unik. Cuma sebagian besar orang tidak mampu mengungkapkannya. Karena bahasa perasaan memang seringkali sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lisan. Jadi sedikit saja yang bisa terungkap.
Tetapi kita gali sebenarnya haji itu cukup rasional. Manusia kan tidak hanya terdiri dari fisik semata tetapi juga ruh, pikiran, perasaan dan hati nurani. Seluruh komponen itu bekerja kalau kita melaksanakan ibadah haji. Dalam kehidupan sehari-hari kan hanya pikiran yang dominan, tetapi hati kita jarang berfungsi dan yang lebih dominan kan fisik kita. Tetapi pada saat melakukan ibdah haji seluruh komponen yang kita miliki itu bekerja secara simultan. Semua orang akan menghayati pengalaman masing – masing sesuai dengan tingkat intelektualnya. Tetapi hampir tidak ada atau jarang yang tidak bisa memetik pengalaman berharga dari ibadah haji itu. Sebodoh – bodohnya orang datang dari kota , semuanya bisa mengambil manfaat dari pelaksanaan haji.
*) Disarikan dari buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993)
**) Umi Hani, Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati