Kisah Kedermawanan Pemintal Benang yang Mendapat Mutiara dari Arah Tak Terduga

Kisah Kedermawanan Pemintal Benang yang Mendapat Mutiara dari Arah Tak Terduga

Kisah Kedermawanan Pemintal Benang yang Mendapat Mutiara dari Arah Tak Terduga
Ilustrasi: Film Toleransi “Berbagi” (Islamidotco)

Fulan (sebut saja begitu) adalah seorang pemintal benang. Benang itu ia jual sendiri. Begitulah pekerjaannya saban hari. Hasil jualan benang itu ia bagi dua. Satu bagian dibelikan makanan untuk keluarganya. Sedangkan sebagian yang lain ia gunakan untuk membeli kapas sebagai bahan membuat benang.

Satu hari, saat benang buatannya laku terjual, seorang teman datang menghampiri. Teman tersebut bercerita bahwa ia sedang kesusahan masalah ekonomi. Ia bermaksud meminta bantuan kepada Fulan. Oleh Fulan, uang hasil jualan benang itu akhirnya diberikan kepadanya. Alhasil, tak ada uang yang bisa ia belikan makanan untuk keluarganya. Pun juga untuk membeli kapas.

Sesampainya di rumah dan dengan tangan kosong, istrinya bertanya, ”Mana makanan hari ini? Kok, kamu tidak bawa makanan sama sekali. Mana pula kapasnya?”

Ia menceritakan ihwal apa yang ia kerjakan dengan uang itu. Sang istrinya pun bertanya lagi, “Lantas, kita makan apa? Kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi.”

Fulan lantas mencari beberapa perabot di rumahnya yang bisa dijual. Ia melihat ada kendi yang sudah pecah dan sebuah nampan. Ia membawa dua barang itu ke pasar.

Sayang, setelah sekian lama menunggu, tak ada satu pun orang yang berkenan membeli. Hingga, ia bertemu dengan penjual ikan. Ikan itu memiliki perut yang menggelembung. Besar. Ia bernasib sama dengan Fulan: sama-sama dagangannya tak laku.

Penjual ikan itu menawarkan satu hal: saling bertukar barang dagangan. Fulan setuju. Nampan dan kendi milik Fulan diserahkan kepada penjual ikan itu. sebagai gantinya, Fulan mendapat ikan.

“Ikan ini akan kita apakan?,” tanya sang istri kepada Fulan.

“Kita panggang saja,” jawab Fulan singkat.

Eksekusi dimulai. Ikan itu dibelah perutnya. Kejadian aneh muncul. Ada sebuah mutiara di dalam perut ikan itu. Mereka membawa mutiara itu kepada seorang ulama. Sang ulama menjawab, “Jika mutiara itu berlubang, maka itu adalah milik orang lain. Namun jika tak berlubang, maka itu sungguh pemberian Allah SWT untuk kalian”.

Mutiara itu dibawa kepada seorang teman yang juga penjual mutiara. Melihat mutiara itu, sang teman bertanya penuh keheranan, “Wahai Fulan, darimana kamu mendapatkannya?”

“Itu adalah rizki Allah SWT untuk kami,” jawab Fulan.

Sang teman menjelaskan. Mutiara itu adalah mutiara yang sangat mahal. Tiga puluh ribu. Ia tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Ia akhirnya memberikan rekomendasi kepada Fulan agar mendatangi si A, seorang penjual mutiara agaknya mampu membelinya. Fulan mendatanginya.

Pertanyaan yang sama diajukan kepada Fulan, “Darimana kamu mendapatkannya?”

Ia menjawab dengan jawaban yang sama pula bahwa mutiara ini adalah rizki dari Allah SWT. Si A mengatakan harga mutiara itu sangat tinggi: tujuh puluh ribu. Fulan setuju. Penjual itu pun menganjurkan Fulan untuk menyewa kuli panggul yang akan membawa uang hasil penjualan mutiara tersebut.

Fulan tiba di rumah. Beserta uang yang sangat banyak. Tiba-tiba, seorang pengemis datang. “Aku memohon. Tolong beri saya sebagian rizki yang Allah SWT berikan kepadamu” 

Fulan berniat memberikan separuh dari uang jualan mutiara itu. “Saya akan memberikan separuh dari apa yang diberikan Allah SWT kepadaku. Kemaren aku sepertimu. Sama-sama tak punya uang.”

Namun, keika uang sudah dibagi dua, pengemis itu mengatakan hal yang di luar dugaan. Ia mengaku bahwa ia adalah utusan Tuhan yang bertugas untuk menguji Fulan. Tak lupa, ia mendoakan Fulan, “Semoga Allah memberkahi kehidupanmu”.

Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini terbaca bahwa roda kehidupan berputar. Hari ini bisa jadi kita kaya. Namun esok hari, bisa jadi berubah miskin. Sebaliknya, esok hari, bisa jadi si miskin berubah kaya. Pun demikian dengan lini kehidupan lainnya. Rakyat-pejabat, sehat-sakit, kuat-lemah, dan seterusnya.

Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan yang dimiliki/dialami saat ini untuk senantiasa beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama. Berada di atas tak membuat kita sombong dan lupa daratan. Berada di bawah sama sekali tak membuat kita berputus asa dan seakan tak bertuhan. Wallahu a’lam.

Sumber:

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.