Dalam tragedi setelah perang uhud, ada kisah sahabat yang meninggal dan ingin dipotong kepalanya. Sayangnya, jenazah itu dilindungi lebah.
Kemenangan kaum muslim atau kaum Madinah atas kaum kafir Mekah tentu membuat beberapa kabilah yang hidup di sekitar mereka menghitung kembali kekuatan politik yang baru muncul dari Madinah. Mereka yang selama ini memandang remeh kekuatan Madinah yang dipimpin Rasulullah, sudah mulai ketar-ketir. Sekali mereka salah berhitung, bisa saja fatal. Karena Mekah yang perkasa, ahli perang saja, sudah dikalahkan.
Sementara bagi penduduk Mekah, keadaan itu membuat kaum Quraisy semakin geram dan timbul keinginan besar untuk menuntut balas atas setiap tumpah darah yang berjatuhan. Selain itu mereka berambisi untuk mengembalikan martabatnya di antara semua kabilah Arab dan untuk membebaskan diri dari kekuasaan umat Islam dengan cara memerangi serta melenyapkan eksistensi mereka. Bisa ditebak, perang pembalasan harus dimulai. Sehingga terjadilah perang Uhud tepat pada bulan Syawal tahun ketiga hijrah, setahun setelah umat islam memperoleh kemenangan besar di perang Badar.
Perang ini bukan hanya melibatkan para lelaki, kaum hawa pun tak ketinggalan terjun langsung ke medan perang. Di barisan kafir Mekah, para perempuan bertugas membakar semangat para pasukan perang. Mereka berteriak, menyenandungkan lagu untuk membakar kemarahan pasukannya.
Di antara mereka bahkan akan memukuli pasukan yang berusaha mundur dari medan perang, seraya melantunkan syair dan mencaci pasukan yang kelihatan hendak menyerah. Di antara mereka ini ada Hindun binti Utbah (Istri Abu Sufyan bin Harb). Sosok ini terkenal, karena dalam perang ini ia dengan kejam membelah dada Sayidina Hamzah pamanda Rasulullah dan memakannya. Ada pula Raithah binti Munabbih (istri Amr bin Ash), Sulafah binti sa’ad (Istri Thalhah bin Abu Thalhah) beserta 3 anak laki-lakinya, Musafi’, Julas, dan Kilab, serta masih banyak wanita-wanita lainnya.
Dikutip dari buku al-Rahiq al-Makhtum yang ditulis oleh Syekh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, para wanita tersebut membangkitkan semua dendam kekalahan pada saat perang badar. Salah satu motivasi yang disuarakan saat itu adalah “Wahai Bani Abdud Dar, wahai pasukan belakang pukullah lawan dengan semua senjata tajam.” Bukan hanya itu, mereka juga menyayikan lagu yang mampu menyihir para pasukan dalam mendobrak semangat mengalahkan kaum muslim. Demikian lagu yang dinyanyikan :
Jika kalian maju kami akan memeluk
Dan kami akan bentangkan Kasur
Jika kalian mundur kami akan berpipsah
Dengan perpisahan tanpa ada rasa cinta
Hingga akhirnya kemenangan berada pada pihak kaum kafir Quraisy, para wanita berhamburan ke tengah medan peperangan untuk menikmati kemenangan. Mereka merusak dan mencincang mayat-mayat kaum muslim dengan sangat keji, mulai mencungkil mata, memotong telinga dan hal tragis lainnya. Bahkan ada yang menjadikan hidung dan telinga para mayat menjadi kalung kemudian dipakainya untuk membalaskan dendam terhadap keluarganya yang terbunuh di perang badar.
Lain halnya dengan Sulafah binti Sa’ad yang merasa cemas mengkhawatirkan nasib suami dan ketiga anak laki-lakinya. Setelah menunggu cukup lama dan tidak menemukan kemunculan para orang tersayangnya tersebut. Akhirnya dia menerobos masuk kearah pertempuran dengan memilah satu persatu para mayat yang bergelimpangan hingga menemukan suaminya yang sudah terbujur kaku dengan simbahan darah di tubuhnya.
Sulafah terkejut dan membuatnya seperti singa betina yang meraung marah. Kemudian dia meneroboskan pandangan ke seluruh arah untuk mencari anak-anaknya hingga didapatinya Musafi dan Kilab yang telah meregang nyawa, tersisa Julas yang masih dalam keadaan setengah sekarat.
Sulafah memeluk anaknya tersebut seraya bertanya, “Siapa lawan yang menjatuhkanmu?.” Dengan mengatur nafasnya yang mulai tersendat Julas menjawab, “Ashim bin Tsabit, dia pula yang telah merobohkan Musafi’ dan…”. Belum menyelesaikan pembicaraannya, dia sudah menghembuskan napas terakhir. Hal itu membuat Sulafah seperti orang yang tidak waras. Dia menangis sekencang-kencangnya dan bersumpah tidak akan makan dan menghapus air matanya sebelum orang Quraisy membunuh Ashim dan menyerahkan batok kepala Ashim kepadanya untuk dijadikan wadah tempat minum khamr.
Dia juga berjanji akan memberikan hadiah kepada orang yang dapat menyerahkan Ashim bin Tsabit dalam keadaan hidup ataupun sudah menjadi jenazah. Perkataan Sulafah tersebar cepat di seluruh kaum Quraisy, semuanya berlomba-lomba untuk mendapatkan Ashim bin Tsabit agar mendapatkan imbalan hadiah.
Di sisi lain, kaum muslimin kembali ke Madinah dengan kesedihan atas gugurnya para mujahid dan juga memuji keberanian para pasukan muslim. Salah satunya pahlawan tak terkalahkan yang dapat merobohkan tiga bersaudara sekaligus yaitu Ashim bin Tsabit.
Seorang sahabat berkata, “Itu adalah sesuatu yang tidak perlu diherankan. Bukankah Rasulullah telah mengingatkan saat beliau bertanya sebelum berkobarnya perang badar. “Bagaimana caranya kamu berperang?”. Kemudian Ashim menjawab dengan busur panah di tangannya, “Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Jika musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertanding sampai lembing punyaku patah, kemudian kuhunus pedang dan kumainkan pedangku.” Maka Rasulullah bersabda, “Nah begitulah berperang. Barang siapa yang akan berperang, berperanglah seperti Ashim.”
Pada suatu hari, tidak lama setelah peperangan, Rasulullah memerintahkan enam sahabatnya untuk melaksanakan suatu hal yang penting. Dan beliau mengangkat Ashim bin Tsabit sebagai pemimpinnya. Akhirnya mereka berangkat atas tugas yang telah diembankan.
Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok kaum Hudzail yang telah mengepungnya, dengan sigap keenam sahabat tersebut menyambar pedang yang telah disiapkan. Orang Hudzail pun berkata, “Demi Allah, kami tidak akan jahat terhadap kalian jika kalian menyerah. Boleh kalian percayai sumpah kami atas nama Allah”.
Tetapi Ashim dan para sahabat lainnya tidak bisa memegang janji orang-orang tersebut, dan teringat sumpah Sulafah yang menginginkan jenazahnya. Kemudian Ashim menghunus pedangnya seraya berdoa, “Ya Allah, aku memelihara agamamu dan bertempur untuknya. Maka lindungilah daging dan tulangku. Jangan sampai musuh menjamahnya.”
Peperangan pun terjadi hingga kaum muslim roboh satu persatu termasuk Ashim, tersisa tiga sahabat yang menyerah untuk menjadi tawanan. Pada awalnya kaum Hudzail belum mengetahui di antara korban tersebut merupakan Ashim bin Tsabit. Namun setelah mengetahui betapa senangnya mereka membayangkan hadiah yang akan diberikan Sulafah.
Berita kematian tersebut sudah meluas ke segala penjuru sehingga para pemuka Quraisy telah mengetahui peristiwa tersebut hingga mengutus orang suruhan kepada kaum Hudzail untuk meminta tengkorak kepala Ashim bin Tsabit agar diserahkan pada Sulafah dengan membawakan uang sebagai gantinya.
Ketika akan memisahkan bagian kepala dari tubuhnya mereka dikejutkan dengan lebah-lebah yang menyerang dari segala arah Ketika hendak mendekati mayat Ashim bin Tsabit, bahkan sudah berulang kali mereka mencobanya tapi tak kunjung berhasil. Jenazah itu dilindungi lebah. Allah menjaga jenazah itu dengan dilindungi lebah. Supaya orang kafir Quraisy tidak memutilasinya.
Akhirnya, mereka menyerah dan menunggu malam tiba hingga para lebah hilang. Namun pada saat malam hari turun hujan lebat yang membuat aliran cukup kuat hingga menghanyutkan jenazah Ashim bin Tsabit sampai tidak pernah ditemukan bekasnya meskipun para orang musyrik tersebut bekerja keras mencarinya, namun hasilnya tetap sia-sia.
Doa Ashim bin Tsabit telah diijabahi oleh Allah SWT, agar jenazahnya yang suci tidak dapat dijamah para musuh. Allah pun melindungi jasadnya. Jenazah itu pun dilindungi lebah.