erikut ini kisah menarik yang dituturkan oleh Imam Ibn Qutaibah al-Dinawari (w. 889), seorang kritikus sastra, sarjana hadis, ahli fikih, dan sejarawan dari Persia yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah. Kisah ini ia tuturkan dalam kitabnya yang masyhur, “Ta’wil Mukhtalif al-Hadits”.
Sekadar selingan: Kitab ini sangatlah menarik, karena di sana Ibn Qutaibah menjelaskan bagaimana cara memahami hadis-hadis yang isinya secara lahiriah saling bertentangan satu dengan yang lain – – hadis-hadis yang kontradiktoris, atau, meminjam istilah Ibn Qutaibah, “mukhtalif al-hadits”.
Dalam sejarah intelektual Islam, bagaimana cara memahani hadis-hadis yang saling bertentangan ini berkembang menjadi sebuah bidang kajian sendiri yang amat kaya. Selain Ibn Qutaibah, banyak sarjana lain yang menulis kitab-kitab tentang “mukhtalif al-hadits” ini.
Dalam kitab yang sudah saya sebut itu, ada sebuah kisah menarik berikut ini.
Suatu hari, ada serombongan orang dari Yaman yang datang, “sowan” kepada Kanjeng Nabi di Madinah. Mereka adalah “al-Asy’ariyyun”, orang-orang yang berasal dari kabilah Banu Asy’ar.
Setelah mereka menghadap Kanjeng Nabi, terjadi percakapan tentang pelbagai hal. Hingga pada suatu titik, salah satu dari para tamu itu berkomentar tentang salah satu dari anggota rombongan mereka.
“Wahai Rasul, tak ada orang setelah baginda yang lebih baik dan lebih” keren” dari si fulan teman kami ini,” kata salah satu dari rombongan itu. Dalam riwayat yang dituturkan oleh Ibn Qutaibah, tak disebutkan dengan jelas siapa nama fulan itu.
Lalu orang itu melanjutkan:
“Lha coba kamu bayangkan. Di siang hari, selama perjalanan kami dari Yaman ke Madinah ini, teman kami ini selalu puasa. Sementara, jika kami berhenti sebentar di sebuah tempat untuk istirahat, dia akan menjalankan salat terus-menerus sampai kami berangkat lagi.”
Demi mendengar ini, Nabi langsung bertanya: “Terus siapa yang bekerja untuk dia, mencukupi kebutuhan dia, atau melayani dia sehari-hari”?
“Kami semua lah yang melayani dia, Kanjeng Nabi,” jawab mereka. “Kalau begitu, kalian lebih mulia dari dia,” kata Kanjeng Nabi.
Bagi saya, ini kisah yang sangat menarik. Sebagaimana sekarang, pada zaman Kanjeng Nabi juga ada semacam persepsi yang keliru, seolah-olah orang yang paling baik dalam masyarakat adalah mereka yang salat dan puasanya paling banyak, paling “mempeng” ibadah. Kanjeng Nabi mengoreksi, pandangan seperti itu amatlah keliru.
Dalam pandangan Islam, melayani orang lain, bekerja untuk memakmurkan dunia, nilainya tak kalah, atau malah melebihi salat dan puasa sunnah yang dilakukan setiap hari dan setiap saat.
Kisah dari Yaman ini perlu terus kita ingat agar kita tak keliru menilai orang saleh.