Ketika Seorang Hartawan Menjadi Pengemis Akibat Kurang Bersyukur

Ketika Seorang Hartawan Menjadi Pengemis Akibat Kurang Bersyukur

“Barang siapa yang tidak bersyukur terhadap yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad)

Ketika Seorang Hartawan Menjadi Pengemis Akibat Kurang Bersyukur

Al-Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdillah bin ‘Alawi al-Hadad Ba’alawi menyebutkan sebuah kisah yang sangat menarik dalam kitab Syarah Ratib al-Hadad.

Alkisah, di suatu tempat, hidup seorang laki-laki bersama istrinya. Laki-laki itu adalah orang yang sangat kaya. Meski demikian, ia tak mau mensyukuri apa yang ia miliki. Ia adalah orang yang kikir.

Suatu hari, ketika ia sedang makan ayam bakar di rumahnya, datanglah seorang pengemis. Olehnya, pengemis ini ditolak dan tidak diberi apapun, dengan alasan ia masih merasa sebagai orang yang belum berpunya.

Kelak, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Ia tertimpa dua musibah: bercerai dengan istrinya dan hartaya habis. Ia menjadi sangat miskin. Bahkan karena begitu miskinnya, kini, ia menjadi seorang pengemis.

Setelah bercerai, mantan istrinya pun dinikahi oleh seorang lelaki. Berbeda dengan mantan suaminya yang pertama, suami keduanya ini adalah orang yang sangat bersyukur.

Suatu hari, kejadian yang sama seperti dahulu terjadi. Saat itu, ketika suami kedua sedang menyantap ayam bakar, datanglah seorang pengemis ke rumahnya. Suami keduanya ini lantas memanggil istrinya dan menyuruhnya untuk memberikan sepotong ayam bakar kepada si pengemis itu. Sang istri pun manut.

Namun, melihat pengemis itu, betapa terkejutnya ia. Ternyata si pengemis itu adalah mantan suaminya. Sejurus kemudian, ia segera mengabarkan ihwal yang ia temui barusan.

Suami (keduanya) bilang, “Ketahuilah, dahulu, orang yang mengemis ke rumahmu dan ditolak oleh (mantan) suamimu itu adalah aku. Sekarang Allah melimpahkan kenikamatan-Nya kepadaku dan mengambil kenikmatan-Nya darinya (pengemis/mantan suami) karena ia tidak bersyukur”.

Kisah di atas mengajak dan mengajarkan kepada setiap musim untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Tentang syukur, Allah Swt berfirman:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Al-Qasimi dalam tafsir Mahasin al-Takwil mengatakan, maksud dengan syukur adalah dengan menggunakan segala nikmat yang diberikan Allah sesuai dengan  tujuan penciptaannya, misalnya, akal digunakan untuk membenarkan keyakinan. Ketika seseorang mau bersyukur, maka Allah akan menambahkan nikmat itu kepadanya.

Sehingga, dari sini bisa disimpulkan bahwa untuk menjadi bahagia (dengan ditambahkannya nikmat), seseorang harus mau bersyukur. Rumusnya adalah memperbanyak rasa syukur, baru bahagia. Bukan, bahagia baru bersyukur.

Dalam kitab Mukhtashar Ihya ‘Ulumiddin dijelaskan bahwa hakikat bersyukur adalah mengetahui dan memahami bahwa Allah lah Dzat pemberi nikmat kepada setiap kita.

Bersyukur juga akan membuat seseorang mengetahui bahwa begitu banyak nikmat Allah yang diberikan kepada yang bersangkutan. Dengan demikian, ia (seseorang yang bersyukur) akan selalu bahagia dengan adanya Allah. Hal demikian inilah yang akan mendorongnya untuk selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.

Syukur, masih menurut al-Ghazali, dikerjakan dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan.

Bersyukur dengan hati yakni dengan meyakini bahwa dalam setiap apa saja yang diciptakan Allah, selalu terselip kebaikan di sana. Dari keyakinan itulah, seseorang akan selalu selalu mengingat Allah.

Bersyukur dengan lisan adalah dengan selalu mengucapkan kalimat-kalimat pujian atau apa saja yang menunjukkan kepada rasa syukur. Sedang bersyukur dengan anggota badan adalah dengan menggunakan seluruh kenikmatan yang diberikan Allah itu untuk selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah, dan bukan kemaksiatan.

Allah, lewat sabda Nabi-Nya, mengingatkan bahwa bersyukur tidak harus dilakukan oleh orang yang memiliki banyak harta. Apapun yang dimiliki, meski sedikit, harus tetap disyukuri.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad)

Melalui hadis di atas, Allah memerintahkan setap muslim untuk selalu mensyukuri apa yang dimiliki, berapapun jumlah dan nominalnya. Justru, ketika ia mampu bersyukur terhadap yang sedikit, maka itu akan melatih dan membuatnya mudah mensyukuri hal yang banyak. Sudahkah Anda bersyukur hari ini?