Ketika Musik Dianggap Bid’ah, Nasida Ria Telah Menggunakannya Sebagai Kritik dan Dakwah

Ketika Musik Dianggap Bid’ah, Nasida Ria Telah Menggunakannya Sebagai Kritik dan Dakwah

Nasida Ria tidak hanya sekedar musik yang dianggap bidah di masa sekarang, tapi ia telah melampaui norma sosial perempuan di masanya.

Ketika Musik Dianggap Bid’ah, Nasida Ria Telah Menggunakannya Sebagai Kritik dan Dakwah

Nasida Ria merupakan grup musik paling kosmopolit tahun 70-an di Indonesia. Tidak hanya demikian, pada tahun 70-an karya-karya Nasida Ria yang merupakan grup musik pertama yang beranggotakan perempuan masuk dalam semua lapisan masyarakat. Terbukti, saat ini kita masih teringat-ingat syair-syair Nasida Ria, padahal sudah lama sekali kita mendengarnya.

Sekilas Nasida Ria

Nasida ria merupakan salah satu grup kasidah modern dari semarang yang didirikan oleh H. Muhammad Zein tahun 1975. Grup ini terdiri dari 9 orang perempuan yakni Mudrikah Zein, Muthaharah, Rien Jamain, Umi Khalifah, Musyarrofah, Nunung, Alfiyah, Kudriyah dan Nur Ain.

Muhammad zein merupakan seorang guru qiraat. Ketertarikannya dalam bidang kesenian menjadikan alasan untuk membentuk grup ini. Dengan beralaskan dakwah kepada masyarakat, ia membentuk grup kasidah yang terdiri dari 9 pesonil yang kesemuanya adalah muridnya.

Nasida ria menganut genre musik-musik khas padang pasir. Hal ini karena misinya dalam pembentukan grup ialah dakwah Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa padang pasir merupakan tempat lahir dan berkembangnya Islam.

Alat musik yang digunakan pertama berupa rebana yang kemudian seiring berjalannya waktu alat musik yang digunakan bertambah seperti biola, gitar, orgen, dan tambolin. Keterpaduan alat musik khas padang pasir [rebana] dan alat musik khas barat [gitar, orgen dan biola] menjadikan lagu-lagu dan produk musik yang dihasilkan Nasida Ria lebih berwarna. Oleh karena itu, tidak heran jika Nasida Ria disebut sebagai pionir kasidah modern di Indonesia.

Produktivitas Nasida Ria dalam industri musik dapat dikatakan mengagumkan. Setidaknya telah 30-an album yang dikeluarkan sejak album pertamanya “alabadil makabul” tahun 1978. Prestasi yang ditoreh grup kasidah ini sangat mengagumkan. Pada tahun keemasannya, Nasida Ria mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai pihak dan melakukan tour hingga ke luar negeri.

Mengapa Musik?

Musik merupakan seni mengungkapkan pemikiran dan perasaan melalui keindahan suara. Seperti halnya ragam seni lain, musik merupakan refleksi pemikiran individu maupun masyarakat. Dalam misi dakwahnya, Nasida Ria membawakan syair-syair yang berisi ungkapan atas sangkaan yang akan terjadi di masa depan.

Tidak hanya itu, Nasida Ria pun juga menggunakan alat musik rebana untuk mendukung terciptanya keelokan syair yang rata-rata bernuansa padang pasir. Jika ditelusuri lebih lanjut, Nasida Ria masih memiliki pertalian dengan musik gambus.

Pada tahun 60-an gambus menjadi salah satu jenis musik paling disenangi pada pentas permusikan. Sedangkan Nasida Ria yang muncul pada pertengahan tahun 70-an sudah pasti terseret arus ledakan gambus. Seiring perkembangannya, Nasida Ria tidak hanya menggunakan alat musik rebana, melainkan dikolaborasikan dengan alat musik yang lebih kosmopolit dan lebih bermasyarakat.

Nasida Ria kemudian disebut sebagai wadah bertemunya dua kebudayaan yang berbeda. Mengapa begitu? Karena pada album pertamanya, Nasida Ria hanya menggunakan syair-syair berbahasa arab di dalamnya. Hingga  kemudian Kiai Ahmad Bukhari Masruri, salah seorang kiai dan pimpinan Nahdlatul Ulama’ [NU] Jawa Tengah mulai menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia agar pesan yang disampaikan dalam syair tersebut sampai kepada masyarakat awam. Beliau pun juga ikut berkontribusi menciptakan lagu-lagu dalam album Nasida Ria dengan nama samaran Abu Ali Haidar.

Feminisme dan Nasida Ria

Nasida Ria yang keseluruhan anggotanya wanita pastilah tidak lepas dari kontroversi. Posisi perempuan yang kerap dianggap berada di bawah laki-laki, menjadikan Nasida Ria didera dan dihujat masyarakat. Perempuan seolah-olah hanya memiliki ruanng untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Hal ini menjadikan para perempuan terkurung dalam suatu ruang.

Keberadaan perempuan dalam suatu panggung musik dianggap menjadi hal yang tabu dan salah dalam konstruk hukum yang berlaku. Dalam Islam juga dikenal bahwa perempuan memiliki batas ruang gerak dalam kehidupan. Ada hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita. Di Indonesia, khususnya Jawa dan Madura yang bernuansa islami kental serta keberadaan puluhan pesantren yang menerapkan kehidupan seperti itu menjadi suatu ancaman bagi Nasida Ria yang lahir dari tanah Semarang, Jawa Tengah.

Namun kemunculan Nasida Ria di muka permusikaan dengan kesenian musik dan misi dakwah yang dibawanya tidak menjadi kegaduhan teologis di antara tokoh-tokoh ulama dan masyarakat umumnya. Bahkan Nasida Ria justru disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Nasida Ria yang jika kita soroti melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat mampu meredam wacana ketabuan munculnya perempuan di ruang publik.

Namun nyatanya, saat itu justru Nasida Ria digandrungi oleh masyarakat Jawa yang berkultur NU dan mendapat banyak apresiasi baik dari dalam masyarakat Jawa maupun luar Jawa.

Hal ini menjadi bukti nyata dari sebuah tesis baru tentang gerakan feminisme, bahwa perempuan tidak harus keluar dari ruang privat mereka untuk membuktikan identitasnya sebagai seorang wanita. Dengan kata lain untuk memunculkan diri di ruang publik, wanita tidak harus merobohkan kultur sosial yang melingkupinya. Istiqomah dan kritik pun dapat digunakan untuk menunjukkan identitas perempuan di muka publik.

Dengan musik-musiknya, Nasida Ria menyoroti berbagai fenomena dan mengkritisi kejadian yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan gaya hidup masyarakat yang cenderung konsumtif pun tidak luput dari perhatian Nasida Ria, bahkan nuansa pasif yang terjadi pada perempuan Indonesia pun menjadi salah satu sorotannya. Terbukti dengan dikeluarkannya lagu berjudul “Masyithoh Indonesia”.

Jika kita soroti lebih dalam, grup ini tidak hanya melampaui norma sosial yang berlaku di masyarakat tempat lahirnya, tapi juga sebagai wadah untuk menyuarakan aspirasi dan mengkritisi sisi di balik Indonesia tanpa terkurung dengan status kesantrian, kewanitaan, dan keislaman yang menjadi cirri khas mereka. Kita pun dapat lebih mengembangkan wawasan dengan mengkritisi kejadian di ruang lingkup kita tanpa harus merobohkan norma sosial serta kultur agama yang telah tertanam di masyarakat.

Dalam lingkup internal, Nasida Ria memiliki manajemen yang modern demi kepentingan pertunjukkannya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, anggota Nasida Ria telah mampu menyaingi kaum pria dalam menghasilkan uang, yang pada hakikanya itu adalah beban yang seharusnya dipikul oleh pria.

Namun, perlu dikertahui bahwasanya Nasida Ria tidak menjual kecantikan dan kemolekan seorang wanita di muka publik melainkan ciri khas keislaman dan keanggunan perempuan muslimah. Jilbab yang awalnya terdoktrin dengan kepasifan perempuan telah mencair dengan munculnya Nasida Ria serta melunakkan kekuasaan pria.

Dari sini kita dapat melihat bahwasanya kesenian tidak hanya dapat dijadikan sebagai media dakwah tapi juga sebagai pelebur dari kebekuan antara agama dan kebudayaan. Kita juga dapat melihat  bagaimana unsur agama dan budaya dapat saling mengisi dan melengkapi untuk satu tujuan yang sama.

Pesan-pesan agama dibungkus rapi dengan alunan nada indah. Kebudayaan disalurkan dan digunakan untuk kepentingan teologis-politis. Hasilnya, perpaduan harmonis keduanya menciptakan satu strategi kebudayaan sarat anti-kolonial yang mudah dicerna dan menyentuh seluruh lapisan ideologi masyarakat.

Masih banyak sebenarnya yang tidak tertuang dalam tulisan ini mengenai semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam syair-syair Nasida Ria. Kesenian olahan yang terlahir dari tanah Nusantara yang sempat terlupakan pada masa kini.

Tulisan ini sekedar untuk menyadarkan dan membangkitkan kembali semangat seni dan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia. Seomga dapat kembali menginspirasi kehidupan bangsa dengan segenap problematika yang dihadapinya. (AN)

Wallahu a’lam.

Dengarkan podcast Islami.co tentang Nasida Ria

 

Artikel ini diolah dari artikel “Majalah Nabawi”, salah satu anggota Sindikasi Media Islam (SMI)