Ojo Dibandingke: Dangdut di Istana dan Kemerdekaan Bergoyang

Ojo Dibandingke: Dangdut di Istana dan Kemerdekaan Bergoyang

Lagu Ojo Dibandingke menjadi momen terbaik upacara kemerdekaan RI kemarin. Istana Merdeka bergoyang!

Ojo Dibandingke: Dangdut di Istana dan Kemerdekaan Bergoyang
Penampilan Farel Prayoga di Istana Merdeka kemarin (17/8).

Penyanyi cilik asal Banyuwangi, Farel Prayoga, menjadi headline di gelaran Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 hari ini. Dalam penampilanya, Farel membawakan lagu viral Ojo Dibandingke ciptaan Abah Lala.  Lagu dangdut koplo Jawa ini secara spontan membuat sejumlah Menteri, pejabat dan tokoh besar nasional ikut berdendang dan menari. Halaman Istana Merdeka yang biasanya tampak hening dan berwibawa, jadi tampak meriah dan apa adanya. Tak luput, wajah sumringah juga merekah di wajah Presiden Joko Widodo.

Saya tidak tahu secara pasti, apa alasan Istana menundang Farel untuk membawakan lagu tersebut. Yang jelas, ini adalah upacara kemerdekaan RI paling ambyar yang pernah saya saksikan sepanjang hidup. Tentu ada alasan tersendiri kenapa pihak Istana memilih untuk menampilkan musik alunan kendang koplo dalam rangka Peringatan HUT RI ke-77 tersebut. Dalam tulisan ini, ada kemungkinan-kemungkinan yang menarik kita perbincangkan.

Tidak bisa dipungkiri, stigma dangdut sebagai musik murahan masih saja berlangsung sampai saat ini. Dengan hadirnya musik dangdut di Istana, Pak Jokowi seperti ingin menegaskan, bahwa dangdut bukan lagi genre sub-kultur atau alternatif. Namun, dangdut sudah semestinya merupakan arus utama itu sendiri. Dangdut menawarkan oase wajah kejujuran dan apa adanya di kala musik arus utama terlalu utopis dan tidak terjangkau masyarakat luas.

Mengapa musik dangdut, bukan yang lain? Tidak lain tidak bukan karena musik dangdut itu akrab dan identik dengan wajah wong cilik. Saking akrabnya, kita bisa temukan dangdut di pasar, pos ronda, acara nikahan dan sebagainya. Musik dangdut hadir sebagai musik yang membawa diksi kehidupan masyarakat Indonesia yang senyatanya. Jika kita cermati, irama dangdut mengajak kita untuk terlibat, bahwa apa yang mereka dengar adalah apa yang mereka alami sehari-hari. Musik yang mengakomodasi segenap problematika manusia Indonesia. Mulai dari urusan tidak punya duit, kesenjangan sosial, hingga masalah percintaan yang kandas karena kurang kaya.

Dengan demikian, pihak Istana seperti ingin menunjukkan bahwa Dangdut is the music of my country. Dangdut bukanlah musik yang melulu berurusan dengan masyarakat pinggiran. Dangdut juga bisa dinikmati oleh semua kalangan, bahkan para pejabat negara, dengan memasukkannya dalam satu rangkaian acara sakral kenegaraan. Bahkan Bapak Kapolri Listyo Sigit terlihat ikut berdendang, seolah sejenak lupa mendung sedang menggelayut di instansi Kapolri.

Saya kira hadirnya lagu dangdut di Istana bukan tanpa alasan. Presiden Jokowi sendiri adalah orang Jawa, dan sebagaimana layaknya orang Jawa, presiden ketujuh RI ini sosok yang gestur politiknya amat simbolik.

Unsur simbol lirik lagu ini bisa kita telaah. Reff lagu Ojo Dibandingke ini memiliki penggalan lirik ”Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti kalah” (orang seperti ini kok dibanding-bandingkan, disaing-saingkan, ya pasti kalah). Penggalan lirik ini yang terngiang-ngiang di telinga kita. Dalam arti, Presiden Jokowi seolah ingin mengajak kita untuk tidak saling membandingkan antara presiden satu dengan presiden yang lain. Seolah ingin mengatakan bahwa “Setiap pemimpin ada masanya, dan setiap masa ada pemimpinnya”. Sehingga tidak perlu dibandingkan atau disaing-saingkan. Apalagi wacana, perbincangan tentang figur calon presiden juga sudah mulai mengemuka meskipun masih dua tahun lagi. Kiranya penggalan lirik ini cukup meredam dan mengembalikan momentum tujuhbelasan sebagai momen persatuan. Kira-kira begitu.

Ditambah lagi melalui lirik “Ku berharap engkau mengerti, di hati ini, hanya ada kamu.. yang secara unik diubah oleh Farel Prayoga dengan “Ku berharap engkau mengerti, di hati ini, hanya ada Pak Jokowi... Entah sengaja atau tidak, lirik ini ingin menjelaskan kepada masyarakat, bahwa sampai saat ini presiden Republik Indonesia ya masih beliau. Jangan keburu bersaing apalagi membanding-bandingkan pilihan dulu. Hehe..

Tidak bisa dipungkiri, dengan masifnya pemberitaan momen “Ojo Dibandingke” ini, seperti ada upaya mengembalikan citra Istana dan Presiden Jokowi sebagai Wong Cilik yang akhir-akhir ini mulai hilang. Semenjak anak dan menantunya mulai terjun dalam dunia politik dan menjadi pemimpin daerah, anggapan bahwa Pak Jokowi mulai membangun dinasti kekuasaan pun mulai bermunculan. Belum lagi cengkeraman oligarki yang menggurita, yang makin lekat dengan citra Jokowi sendiri. Maka dengan menampilkan lagu dangdut dalam upacara kemerdekaan Republik Indonesia, Istana seperti ingin mengembalikan lagi citra Pak Jokowi sendiri sebagai figur yang dekat dengan Wong Cilik.

Nah, di atas semua itu, ada satu kemungkinan yang paling menarik bagi saya. Hadirnya lagu Ojo Dibandingke ini, Istana ingin menunjukkan, bahwa negara juga hadir untuk sobat ambyar dan kaum tuna asmara. Meskipun negara tidak bisa secara langsung untuk memenuhi UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) yang berbunyi Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, dalam arti negara mencarikan jodoh untuk kita, tapi setidaknya negara terlihat peduli untuk membersamai kita dalam memproses fase pendewasan bernama kehilangan dan duka.

Walhasil, apapun alasanya, sudah seharusnya kita berterima kasih kepada Istana Negara dan Presiden Jokowi, karena telah memberi panggung hiburan dangdut di tengah kesulitan ekonomi sebagai mahasiswa kabupaten, terlebih sebagai pemuda sedih tuna asmara. Dangdut adalah satu-satunya teman yang senantiasa mengiringi patah hati kami. Membuat kami mengerti, bahwa kesedihan perlu juga dirayakan dengan kemerdekaan bergoyang. Musik yang hari ini menyadarkan kami, bahwa bergoyang adalah hak segala bangsa. Merdeka! [rf]