Mengapa kata “Ibu” Disebut Tiga Kali dalam Hadis?

Mengapa kata “Ibu” Disebut Tiga Kali dalam Hadis?

Jika ibu disebutkan tiga kali dalam hadis sebagai manusia yang paling dihormati, lalu bolehkah menyepelehkan atau melawan ayah?

Mengapa kata “Ibu” Disebut Tiga Kali dalam Hadis?

“Ibu, kaulah wanita yang mulia. Derajatmu tiga tingkat dibanding ayah.”

Siapa yang tak hapal dengan lirik lagu Ibu yang disenandungkan oleh grup qasidah asal Semarang, Nasida Ria ini. Penulisan lirik lagu ini bukan sekedar mengarang. Pasalnya, ada sebuah hadis yang menyebut bahwa kata ibu disebut tiga kali sebelum ayah sebagai orang yang paling layak dihormati.

Jika demikian, apakah lantas ibu lebih utama dari pada ayah? Sehingga kita bisa mendahulukan segala hal yang menjadi permintaan ibu dibanding ayah?

Dalam Al-Quran Allah berfirman,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (الإسراء: من الآية 23)

Artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Q.S Al-Isra’: 23).

Potongan ayat diatas mengandung dua pilar utama Islam. Pertama, perintah teologis untuk tidak menyembah kepada selain Allah. Kedua, perintah syariat untuk berbakti kepada kedua orang tua.

Perintah berbakti kepada orang tua merupakan sesuatu yang agung, karenanya Allah meletakkan ayat itu setelah perintah menyembah kepada-Nya. Seperti halnya menyembah kepada Allah merupakan puncak keimanan, begitu juga berbakti kepada kedua orang tua merupakan puncak syariat. Jika ada orang yang beribadah sampai mati-matian, tapi durhaka kepada kedua orang tua, niscaya ibadah tersebut tidak ada manfaatnya.

Lantas, Siapa yang paling berhak kita utamakan berbakti kepada mereka? Atau mereka mempunyai hak yang sama? Rasulullah SAW. memberi petunjuk kepada kita dalam sebuah hadist sahih yang berbunyi:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : « أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم مَن أحقّ الناس بحسن صحابتي ؟ قال : أمك. قال : ثم مَن؟ قال : ثم أمُّك. قال : ثم مَن؟ قال : ثم أمُّك. قال : ثمّ من؟ قال : ثم أبوك» (متفق عليه).

Artinya: Dari Abu Hurairah RA. dia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. dan bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?”, beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”, beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “kemudian siapa?”, beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”, dia menjawab: “Ayahmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Thahir ibn Asyur berpendapat dalam kitab tafsirnya Tahrīr wa Tanwīr, bahwasanya terdapat dua pendapat mengenai makna hadits ini.

Pendapat pertama, menurut Imam Laits, Abu Hanifah, dan Al Muhasabi berbakti kepada ibu lebih utama daripada ayah, berpegang pada hadist di atas. Hal ini mengingat jasa ibu yang begitu besar kepada anaknya, mulai mengandung, melahirkan, menyusui, merawat dan membesarkan.

Sedangkan pendapat kedua yang digawangi oleh ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan prioritas antara kedua orang tua, baik ayah maupun ibu sama-sama mempunyai hak yang sama.

Sebagian ulama berpendapat, alasan mengapa Nabi Muhammad SAW. menyebut jawaban “Ibu” sebanyak tiga kali berturut-turut, karena pada zaman itu martabat perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai beban keluarga karena tidak mempunyai daya fisik setangguh laki-laki, orang arab pada masa itu malu jika mempunyai seorang anak perempuan.

Maka dari itu, hadist tersebut dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak usaha Islam untuk mengangkat derajat perempuan. Bukan hanya membicarakan tentang keutamaan berbakti kepada seorang ibu.

Pendapat kedua tadi mempunyai konsekuensi, yaitu jika keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dianggap sama, maka ketika keduanya memberi perintah yang berlawanan, lantas perintah siapa yang wajib ditaati?

Jika perintah keduanya sama-sama dalam hal kebaikan, menurut Imam Laits ibn Sa’ad perintah ibu wajib didahulukan, dengan perbandingan ¾ kebaikan milik ibu, ⅓ kebaikan milik ayah. Namun, jika salah satu dari keduanya memerintahkan dalam hal yang keburukan, sedangkan yang lain memerintahkan dalam hal kebaikan. Maka wajib bagi anak untuk taat pada perintah dalam hal kebaikan.

Akhir kata, meskipun hadist di atas menggambarkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak kita taati, hal itu tidak bisa dijadikan dalih untuk kita tidak taat kepada ayah. Yang paling baik adalah kita sebisa mungkin berusaha taat kepada keduanya. (AN)