Kesalehan Algoritma Sebagai Obat Efek Negatif dari FoMO

Kesalehan Algoritma Sebagai Obat Efek Negatif dari FoMO

Di tengah perasaan FoMO (Fear of Missing Out) yang menghinggapi pengguna media sosial, kesalehan algoritma dapat menjadi obat penawar bagi efek negatif dari fenomena tersebut.

Kesalehan Algoritma Sebagai Obat Efek Negatif dari FoMO
Media sosial memudahkan setiap orang untuk berinteraksi.

Perasaan FoMO atau Fear of Missing Out sering menghinggapi para pengguna media sosial. Hal itu tidak sepenuhnya negatif, juga belum cukup untuk bisa dinilai positif. Semua itu tergantung kepada masing-masing pengguna. Dan salah satu hal yang bisa menjadi bekal untuk menghadapi efek negatif dari FoMO adalah kesalehan algoritma.

Tidak dapat dipungkiri, dewasa ini media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan manusia modern khususnya di Indonesia. Hal tersebut selaras dengan laporan terakhir Datareportal yang berjudul “Digital 2022: Indonesia”, menyebutkan ada 191,4 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2022. Artinya, pengguna media sosial di Indonesia meningkat sebesar 21 juta atau kurang lebih 12,6 persen dibandingkan dengan tahun 2021.

Media sosial telah memberikan implikasi secara komprehensif dalam kehidupan manusia modern, baik itu dari segi maslahat maupun mudharat. Ia bisa menjadi obat yang menyembuhkan. Sebaliknya, ia juga bisa menjadi virus yang malah menyebarkan penyakit.

Ada sebuah istilah yang ramai diperbincangkan dan memiliki keterkaitan dengan anak muda, yaitu istilah FoMO. Istilah itu merupakan akronim dari Fear of Missing Out, yakni sebuah istilah yang mengacu pada kondisi psikologis seseorang. Media sosial merupakan aktor utama dari FoMO ini. Akibatnya pun cukup serius, antara lain gangguan mental, depresi, cemas, hingga timbul rasa tidak percaya diri.

Pada pengertian lebih lanjut, beberapa penelitian yang dilakukan para akademisi menyatakan, FoMO merupakan perasaan takut tertinggal akan sesuatu (tren) atau informasi yang tersebar di media sosial. Pendapat lain mengungkapkan, FoMO adalah sebuah keinginan untuk terus terhubung dengan segala hal yang dilakukan oleh orang lain (circle of friends).

Seseorang yang FoMO cenderung takut ketika mendapati orang lain memiliki pengalaman berharga yang lebih baik darinya. Selain itu, perasaan mudah marah, takut, khawatir akan kegagalan, dapat memburuk ketika seseorang masuk ke media sosial. (Zhuofan, Fernando., 2020)

Mengatasi Perasaan FoMO

Jika FoMO merupakan sebuah efek negatif dari media sosial yang bisa menjadi penyakit, maka obat yang menjadi penawar dari penyakit tersebut adalah kesalehan algoritma. Kesalehan ini berbeda dengan kesalehan ritual sebagai kewajiban manusia untuk menghamba kepada Tuhan. Ataupun kesalehan sosial yang berupa menjaga hubungan baik dalam bergaul dengan sesama manusia.

Kesalehan algoritma ini dapat diartikan sebagai sikap individu yang berhubungan langsung dengan ruang digital, termasuk media sosial. Istilah ini mungkin bukanlah istilah yang baru. Apalagi, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, seorang dai muda, telah menuliskannya pada satu bagian khusus dalam bukunya yang berjudul “Seni Merayu Tuhan”.

Pada dasarnya sebagai pengguna media sosial yang setiap hari membutuhkan informasi dan komunikasi. Kemungkinan besar kita akan berada dalam suatu echo chamber (ruang gema). Menurut beberapa penelitian yang ada, echo chamber ini akan terbentuk sesuai dengan ketertarikan dari setiap pengguna media sosial terhadap suatu hal.

Syukur-syukur kalau kita berada dalam echo chamber yang positif, tentu banyak kebermanfaatan yang bisa kita dapatkan. Namun, akan menjadi problematik ketika kita terkurung dalam echo chamber yang negatif. Memang, untuk meninggalkan media sosial sepenuhnya bukanlah perkara yang mudah terlepas dari kebutuhan informasi dan komunikasi. Akan tetapi, kita sendiri yang bisa mengatur media sosial masing-masing agar tidak toxic.

Menumbuhkan Kesalehan Algoritma

Menjadi pengguna media sosial yang memiliki kesalehan algoritma sangatlah esensial. Untuk mencapainya, tentu ada hal-hal yang perlu dilakukan.

Pertama, mengikuti akun-akun media sosial yang menyajikan informasi yang positif. Misalnya, akun media keislaman yang menyajikan konten keislaman moderat dan toleran; atau akun pribadi tokoh atau influencer yang edukatif dan inspiratif. Sehingga, di samping mencari hiburan, kita juga bisa memperkaya wawasan dan mendapatkan perspektif baru.

Kedua, menjadikan linimasa media sosial sebagai ladang pembelajaran yang interaktif. Caranya bisa dengan mengikuti akun-akun pembelajaran, seperti akun lembaga kursus bahasa asing; akun yang mengupdate informasi seputar seminar, beasiswa, serta pelatihan atau bootcamp yang dapat mengasah skill. Dengan itu, kita akan fokus terhadap pencapaian diri sendiri dan mengurangi rasa insecurity.

Dapat dikatakan bahwa linimasa media sosial setiap orang bisa merepresentasikan sikap dan pola pikir masing-masing. Oleh karena itu, hal yang bisa dilakukan adalah tetap menggunakan media sosial untuk meraup berbagai kesalehan dan kebaikan yang ada di dalamnya. Sehingga, banyak manfaat yang bisa diambil darinya.

Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam bukunya menuliskan:

“Kita membentuk algoritma akun kita sendiri secara saleh atau baik. Sehingga, kita bisa mencapai kesalehan algoritma. Bukan hanya kesalehan ritual dan sosial, melainkan juga kesalehan media sosial.”