Ada beberapa hadits sahih yang digunakan sebagai dasar kenajisan anjing atau air liurnya, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kita, apabila ada bejana atau perabot kita yang terkena jilatan anjing, agar dicuci tujuh kali; satu kali diantaranya dicampur dengan pasir atau tanah.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mughaffal r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. memerintahkan membunuh anjing kemudian bertanya, ‘ada apa dengan mereka dan dengan anjing?’. Kemudian beliau memberi pengecualian pada anjing pemburu dan anjing penjaga kambing lalu bersabda, ‘Apabila ada anjing menjilat ke dalam bejana, maka basuhlah tujuh kali, dan campurlah basuhan yang kedua dengan tanah.’ menurut riwayat Yahya bin Sa’id bahwa Rasulullah Saw. memberi pengecualian pada anjing-anjing yang dipergunakan untuk menjaga kambing, untuk berburu dan untuk menjaga tanaman.” (H.R. Muslim).
Dari sini tampak betapa berat najis air liur anjing yang di kalangan orang-orang fikih disebut najis mughallazhah. Biasanya mencuci barang yang terkena najis cukup sekali. Ini sampai tujuh kali dan menggunakan tanah atau pasir segala.
Dan dari sini pula timbul beberapa pendapat dan pemikiran berkenaan dengan binatang yang satu ini. Dari segi kenajisannya, ada yang berpendapat , ya air liurnya saja yang najis, tapi ada juga yang mengatakan bahwa yang najis itu seluruh tubuhnya. Juga ada yang berfikir, apakah beratnya “najis anjing” yang seperti itu bukan berarti agar kita menjauhkan anjing dari rumah kita, agar kita tidak terlalu repot dengan selalu menjaga barang-barang dan perabotan kita dari jilatannya.
Terlepas dari itu, berdasarkan hadits-hadits Nabi, para ulama sepakat bahwa memelihara anjing tanpa adanya hajat, hukumnya haram.
Apabila ada hajat; seperti untuk keperluan berburu, menjaga tanaman atau ternak, hukumnya mubah (boleh). (baca misalnya, Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, X/236). Juga ulama sepakat, menyatakan haram hukumnya memelihara anjing sekedar sebagai kesenangan. (Baca Ensiklopedi Ijmak halaman 50).
Sebagai pelengkap, di samping hadits tentang “ketidaksudian” malaikat memasuki rumah yang ada anjingnya, saya nukilkan sebuah hadits sahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Shahabat Abu Hurairah r.a.
“Barang siapa memelihara anjing, bukan anjing untuk berburu, bukan anjing penjaga ternak, dan bukan anjing penjaga kebun; maka sungguh pahala orang itu setiap harinya berkurang dua qirath.” (H.R. Muslim).
Qirath adalah ukuran pahala yang hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui hakikatnya. Tapi sekedar untuk mendekatkan pemahaman, barangkali bisa kita terjemahkan dengan karat.
Waba’du; yang barangkali berlebihan, adalah sikap sementara kita yang tampak begitu membenci kepada anjing semata-mata karena anjing. Sehingga sering terjadi nggak ada hujan nggak ada angin, anjing sedang tidur pun dilempari batu. Kalau pun anjing itu najis dan karenanya tidak boleh dipelihara sekedar untuk kesenangan, apakah itu berarti ia mesti kita benci dan kita musuhi? kan enggak?!
Sumber: Fikih Keseharian Gus Mus, hal 251-253, Khalista, Surabaya, 2015.