Karnaval TK Probolinggo dan Dakwah Rasulullah: Kajian Psikologi Politik

Karnaval TK Probolinggo dan Dakwah Rasulullah: Kajian Psikologi Politik

Kasus pawai yang katanya meniru Rasulullah dan memakai senjata, lalu bagaimana sih sejatinya menanamkan cinta Rasulullah?

Karnaval TK Probolinggo dan Dakwah Rasulullah: Kajian Psikologi Politik

Sabtu (18/08) belasan anak mengenakan kostum hijab dan cadar hitam, serta membawa replika senjata dan pedang. Fenomena ini terjadi dalam kegiatan Pawai Budaya PAUD dan TK di Probolinggo, Jawa Timur. Hal yang menarik, belasan anak tersebut berasal dari kontingen TK Kartika V Probolinggo yang berada di bawah naungan Komando Distrik Militer 0820 Probolinggo. Kondisi ini pun kemudian menarik perhatian sehingga menjadi viral. Pihak sekolah pun memberikan penjelasan bahwa pawai tersebut mengambil tema “perjuangan Rasulullah” serta memanfaatkan bahan dan alat yang ada. Pihak Komando Distrik Militer 0820 Probolinggo juga menekankan tidak ada unsur radikalisme. Tapi, jika dipahami lebih lanjut, zaman Rasulullah belum ada senjata modern. Kalaupun ingin mencontoh perjuangan Rasulullah, mengapa terpaku pada perjuangan perlawanan fisik yang tidak terlepas dari konteks budaya dan zaman.

Rasulullah pun berjuang juga dengaan cara lain, misalkan dengan cara bersikap lemah lembut dan santun sebagai gambaran dari Islam, berjuang dengan ilmu, dan berjuang dengan mempersatukan umat yang berselisih. Senjata justru digunakan oleh sebagian penganut Islam yang memahami Islam secara radikal sehingga cenderung menyalahkan dan menyakiti siapapun yang berbeda dengannya.

Beberapa waktu lalu, juga pernah terjadi materi-materi yang memuat unsur permusuhan dan kebencian serta mencoba menghilangkan jati diri bangsa di beberapa buku mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, misalkan menganggap ziarah ke makam Wali Songo sama halnya berbuat syirik dan menyembah berhala. Fenomena ini pun juga menuai protes. Meski berakhir dengan permohonan maaf, tetapi fenomena-fenomena semacam ini tidak membuat pelakunya diberikan sanksi dan memiliki potensi berulang. Padahal, kejadian ini sudah seharusnya menjadikan peringatan, bahwa bangsa Indonesia sedang terancam oleh fenomena yang memuat unsur dan simbol kekerasan. Ironisnya lagi, semuanya terjadi di tahapan perkembangan anak-anak dan remaja.

Dalam kajian psikologi perkembangan, tahapan perkembangan anak-anak masih dalam taraf perkembangan kognisi, moral, dan bahasa. Artinya, anak-anak masih belum memiliki gambaran dunia sepenuhnya, sehingga apapun yang terjadi di lingkungan terdekatnya akan diproses dan berpotensi menjadi pondasi berpikir, bermoral, dan berbahasa. Maka dari itu, jika sejak dini anak-anak sudah diajarkan dengan simbol kekerasan dan permusuhan, maka kemungkinan besar akan menjadi pribadi yang keras, tertutup, dan menganggap yang berbeda dengannya sebagai musuh.

Fenomena yang memuat simbol perlawanan umat Islam ini tidak terlepas dari kondisi stagnansi umat karena hegemoni Barat, konflik di berbagai negara Timur Tengah, dan kondisi sosial politik di Indonesia. Pihak-pihak yang mengajarkan simbol-simbol perlawanan kepada anak-anak berdalih bahwa sikap itu merupakan sikap mengajarkan dakwah kepada anak-anak agar menjadi generasi yang menjunjung tinggi dakwah. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa pola dakwah bukan hanya dengan simbol perlawanan, tetapi bisa juga dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang menjunjung tinggi ilmu dan akhlak.

Perlu diingat bahwa Islam berjaya bukan semata-mata karena perang dan ekspansi wilayah. Islam pernah berjaya justru lebih besar karena banyak melahirkan ilmuwan dan penemu. Fakta ini yang seharusnya dipahami oleh pihak yang ingin mengajarkan semangat dakwah kepada anak-anaknya. Adapun mengajarkan ketegasan dalam berdakwah, juga tidak harus dengan simbol-simbol yang mengandung unsur perlawanan fisik. Hal yang harus dipahami juga bahwa model gerakan dakwah selalu terikat pada konteks waktu dan tempat. Artinya, penggunaan senjata, pedang, dan perang dalam Islam tidak dapat diterapkan di setiap waktu maupun tempat.

Di sisi lain, fenomena-fenomena tersebut seringkali mengandung keanehan yang lain, misalkan beralasan bahwa fenomena tersebut suatu ketidaksengajaan, memanfaatan barang yang ada, dan terjadi di institusi di bawah naungan pemerintah. Alasan semacam ini sangat irasional. Mustahil ada unsur ketidaksengajaan, karena setiap perilaku pasti berdasarkan hasil dari proses berpikir.

Hanya saja, sayangnya proses berpikir para oknum penyebab fenomena ini bersifat egois dengan mengedepankan persepsinya sendiri tentang berdakwah. Ditambah lagi, kurang adanya pengawasan pihak-pihak terkait dan pihak eksternal agar konten-konten dan simbol-simbol permusuhan tidak lagi masuk ke dalam sektor pendidikan anak. Di sinilah negara dan masyarakat berperan. Negara yang diwakili oleh kementerian dan bagian di dalamnya, hendaknya memberikan pengawasan yang ketat terhadap setiap pihak yang ada dalam bidang pendidikan. Jangan sampai ada lagi buku yang mengajarkan kebencian, jangan sampai ada lagi kegiatan yang mengandung unsur perlawanan dan permusuhan.

Selain itu, orang tua sebagai significant person harus membekali dirinya dengan pengetahuan keagamaan yang holistik dan komprehensif, bukan sepotong-potong dan “mempelajari bagian agama yang terlihat menarik”. Secara psikologis, tema perlawanan lebih menggairahkan seseorang untuk mempelajarinya daripada tema akhlak dan ilmu. Ironisnya, banyak orang tua awam yang lebih memilih tema perlawanan ini daripada tema akhlak dan ilmu. Ditambah lagi, konteks yang dipelajarinya hanya konteks saat ini, padahal dinamika agama tidak pernah terputus.

Pada akhirnya, memberikan pemahaman keagamaan yang parsial dan cenderung menutup pikiran. Padahal, sekali lagi dijelaskan bahwa kejayaan peradaban Islam lebih disebabkan karena gencarnya upaya Islam dalam memajukan ilmu agama dan ilmu dunia.