Kampanye Politik di Rumah Ibadah Kita

Kampanye Politik di Rumah Ibadah Kita

Ketika masjid dan rumah ibadah kita dimasuki kampanye politik

Kampanye Politik di Rumah Ibadah Kita

Di mana peran pemuka agama dalam perpolitikan Indonesia masa kini? Etiskah jika mereka menggunakan otoritas yang mereka miliki untuk mendulang suara untuk para politisi atau partai tertentu? Bolehkah para pemuka agama “bermain mata” dengan para politisi atau partai politik? Apakah politik identitas masih laku di masa mendatang?

Pertanyaan-pertanyaan di atas wajar jika muncul dari masyarakat di tengah tahun-tahun kontestasi seperti saat ini. Mereka ingin mendapat jawaban dan kepastian terkait dua tema yang amat sensitif: agama dan politik. Dua hal yang diyakini oleh sebagian orang tak perlu bersatu. Namun oleh sebagian yang lain dianggap sah-saha saja jika bersenyawa.

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, tidak satu dua pemuka agama yang terlibat dalam (kampanye) politik. Sosok pemuka agama yang disegani dianggap mampu untuk mengeruk suara. Dan pada akhirnya mengantar politisi atau partai yang ia dukung keluar jadi pemenang. Lebih-lebih jika pemuka agama ini amat sangat ditaati: ia bilang A, semua ikut A.

Meski demikian tak sedikit pula pemuka agama yang menghindari persentuhan dengan politik. Boleh jadi bukan karena anti terhadap politik namun lebih karena merasa akan lebih maslahat jika ia tak bersinggungan dengan politik. Boleh jadi karena politik dianggap mudah memecah belah. Atau mungkin karena memang benar-benar ingin fokus mengurus “umat”.

Manakala pemuka agama “menghindari politik” maka di masjid, gereja atau tempat ibadah lain yang ia pimpin, pembicaraan seputar politik ditabukan. Apa yang menjadi bahan kajian, diskusi, obrolan di tempat ibada hanya hal-hal normatif keagamaan. Andaikan memang ingin bicara politik (praktis) dilakukan di luar tempat ibadah. Alasannya mungkin sederhana belaka: kerukunan dan persatuan jamaah harus dinomorsatukan.

Literasi Politik     

Kalau lah ingin bersentuhan dengan politik, hendaknya pemuka agama memilih politik substansial. Alih-alih bicara dukung mendukung kandidat A atau partai B, sangat bijak apabila para pemuka agama bisa mengajak jamaahnya untuk menjadi pemilih rasional. Pemuka agama dapat pula memberikan literasi politik. Menurut Gun Gun Heryanto, literasi politik memiliki dua muatan pokok. Pertama, muatan partisipasi politik. Kedua, muatan pemahaman kritis warga negara atas hal-hal pokok terkait dengan politik.

Dua hal tersebut di atas, partisipasi dan pemahman kritis, adalah kunci utama. Dalam setiap peristiwa politik setiap warga negara hendaknya tidak menutup mata dan telinga. Mereka bisa terlibat atau setidaknya memiliki pengetahuan memadai dan kritisme. Agar masyarakat tidak mudah dibodohi dan hanya menjadi komoditas. Mereka perlu sadar hak dan peran masing-masing.

Kita, tentu saja, tidak menginginkan pemuka agama menjadi corong provokasi apalagi penyebar ujaran kebencian. Sangat ironis dan kontradiktif jika rumah ibadah justru beralih fungsi menjadi pabrik kebencian dan caci maki. Di mana pemuka agama malah menjadi aktor utamanya. Kita tahu, semua agama mengajarkan cinta kasih. Sehingga sudah semestinya rumah ibadah menjadi persemaian benih-benih cinta dan kasih sayang itu. Dan pemuka agama harus bisa memainkan perannya.

Apabila kita cermati Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 tahun 2015, sejatinya telah gamblang disebutkan larangan berkampanye di rumah ibadah. Pada Pasal 66 termaktub: (kampanye tidak boleh) menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Larangan lain yang juga tertulis di sana: (dilarang) menghina seseorang, agama, suku, ras golongan pasangan calon pemimpin daerah.  Tidak diperkenankan juga berkampanye dengan cara menghasut, memfitnah dan mengadu domba.

Aturan tersebut sebetulnya sudah sangat terang benderang. Pemuka agama yang berintegritas tentu tidak mengizinkan tempat ibadahnya digunakan untuk ajang kampanye. Mereka juga hendaknya terus mendorong berkembangnya politik bermartabat, tanpa hasutan, fitnah dan caci maki. Mereka yang “suaranya didengar” sudah sepantasnya mampu “membimbing” masyarakat.

 

Meski begitu, muncul wacana lain soal pelarangan kampanye di tempat ibadah. Larangan itu dianggap tak relevan lagi. Toh hari ini (atau sudah sejak dulu?) banyak yang tak segan-segan berkampanye di tempat ibadah. Dalam konteks lain, saya teringat esai M. Zainal Anwar di Solopos yang mendukung dihapusnya larangan politisi masuk kampus (tempat pendidikan). Menurutnya, biarkan saja politisi masuk, tapi ketika sudah di kampus harus mau mengikuti “aturan main kampus”. Tak perlu lagi kampus alergi politik.

Nah, apakah logika yang sama bisa diterapkan untuk larangan kampanye di rumah ibadah?

Apapun jawabannya, sebetulnya kita layak bersyukur melihat gelaran pilkada di sejumlah daerah hari ini. Situasi tampak kondusif dan jauh dari kegaduhan. Jika situasi ini terus bertahan, ketakutan akan pilpres 2019 yang amburadul akan tertepis. Bukankah sudah seharusnya politik itu menghadirkan kegembiraan, dan bukan permusuhan atau perpecahan? Bukankah sduah semestinya pemuka agama juga bertanggung jawab menciptakan susana yang sejuk dan aman?