Setelah menyampaikan pengalaman Isra’ dan Miraj, Nabi Muhammad makin dibenci kaum Quraisy. Kepercayaan sebagian pengikutnya jadi melemah. Bahkan ditinggalkan beberapa pengikutnya.
Rasanya tak ada lagi harapan bagi Muhammad akan mendapat dukungan kabilah-kabilah di jazirah Arab. Apalagi setelah Tsaqif dan Ta’if menolaknya dengan cara tidak baik. Kabilah-kabilah Kinda, Kilab, Bani ‘Amir dan Bani Hanifa semua menolak ketika ia datang mengenalkan diri kepada mereka pada musim ziarah. Muhammad kian dikucilkan di tengah-tengah keluarga besarnya. Kedengkian Quraisy makin bertambah besar.
Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwa dan mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bagi Muhammad, kepercayaan terhadap kebenaran yang datang dari Tuhan lebih luhur dibanding segalanya.
Orang dengan mental-jiwa biasa mungkin akan menjadi lemah saat dihadapkan pada situasi terpuruk dan tekanan. Namun bagi yang berjiwa luar biasa, hal itu justru akan makin memperkuat kepercayaannya.
Sebelum isra’ mi’raj yang membawa perintah menjalankan shalat lima waktu itu, Nabi telah melampaui tantangan dan ancaman. Terusir dari kampungnya, kaum muslimin lari dari Mekah dan bertahan di celah-selah gunung. Tidak bergaul dengan orang-orang kecuali dalam bulan-bulan suci untuk berziarah. Ditambah wafatnya Abu thalib dan Khadijah menyebabkan gangguan Quraisy kepada Muhammad semakin kuat.
Bukanlah Nabi kalau tidak memiliki keteguhan hati. Sosok manusia yang memiliki daya tahan dan daya lenting (resilience) yang kuat ketika didera situasi terpuruk. Inilah pelajaran perlunya mengembangkan mental dan jiwa elastis: lentur, kenyal, dan tidak mudah patah apalagi hancur.
Bagaimana cara menumbuhkan jiwa (mental) elastis seperti yang diteladankan oleh Nabi?
Pertama, selalu terhubung dengan hati dan perasaan. Dengarkan kata hatimu di tengah berkecamuknya perasaanmu. Orang yang dirundung gelisah tingkat tinggi, atau banyak yang dipikirkan, cenderung berjuang mengatasi pikiran. Orang dengan jiwa elastis terkoneksi dengan perasaan dan mawas diri, yang memberikan lebih banyak pengendalian. Tentu disertai keterhubungan hati dan kepasrahan kepada Allah swt.
Kedua, tidak menuruti suara-suara negatif di kepalanya. Jiwa elastis mampu mengatasi keburukan dan menemukan apa penyebabnya. Alih-alih memasukkan keburukan tersebut ke dalam hati, ia mampu merubahnya menjadi niat baik. Manusia elastis selalu optimis dan percaya diri pada kekuatan dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah.
Dalam menghadapi masalah atau krisis, seorang bermental elastis akan berusaha positif, terbuka dan mau menemukan solusi. Mereka tidak akan tinggal diam dengan persoalan tetapi melangkah ke depan untuk menyelesaikannya.
Ketiga, elastis berarti menumbuhkan daya lenting dari kesulitan dan tantangan hidup. Cukup dengan melihat orang bisa melakukan sesuatu, berarti ia juga bisa melakukannya. Orang dengan daya lenting yang tangguh tidak akan membiarkan hidupnya tertekan oleh situasi keterpurukan.
Keempat, tidak ingin mengendalikan segalanya. Orang elastis merasa nyaman dengan tidak mengontrol segala sesuatu yang di luar kendalinya. Mereka paham bagaimana cara hadir di tengah situasi eksternal; mereka paham bahwa hal yang hanya bisa ia lakukan adalah dengan fokus pada spektrum kendalinya: perilaku, perasaan, dan sikap pribadi.
Kebiasaan ini tidak mudah ditanamkan, tapi jika Anda menjadikannya sebagai cara mengatur perasaan (emosi), maka akan sangat membantu membangun kekuatan dan kemantapan dalam melewati situasi buruk yang Anda hadapi.
Bagi orang berbermental elastis, seperti baginda Nabi, tidak mengenal istilah permusuhan. Bahkan orang yang telah memperlakukan permusuhan di hadapannya, dianggap seolah-olah seperti teman setia. Hal ini seperti digambarkan oleh Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
Badai kedengkian tidak sampai menggoyahkan hati Muhammad. Bahkan setelah isra’ mi’raj, ia tetap tinggal di Mekkah selama beberapa tahun. Tidak peduli harta Khadijah dan hartanya telah habis, keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya.
Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekkah, ia pun muai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah mau menerima ajakanya, atau akan mengusirnya secara kasar. Tetapi semua itu tidak mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan datangnya hari esok.
Optimisme pun mulai menyambut keberhasilan. Setelah isra Mi’raj, ketika mampu mengatasi keterpurukan, tidak lama kemudian tanda kemenangan berhembus dari Yatsrib (Madinah). Titik balik perjalanan yang menandai kegemilangan Nabi dalam menyampaikan risalah di negeri tempat Ayahandanya dimakamkan itu.