Kebebasan beragama merupakan persoalan pelik di kalangan umat Islam. Pasalnya, kebebasan beragama dikhawatirkan akan melegalkan seseorang untuk murtad dari Islam. Apakah posisi Pancasila sudah sesuai dengan Islam? Dan sebenarnya bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut.
Kekhawatiran di atas bagi kelompok tertentu alih-alih menerima kebebasan beragama justru malah memaksa orang lain untuk masuk agama Islam. Kebebasan beragama yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk bersifat inklusif atas agama orang lain, seolah-olah menjadi momok yang menakutkan bagi kepercayaannya sendiri.
Keberagamaan seperti ini bisa kita gambarkan sebagai sesuatu berasal dan berangkat dari problem diri. Karena kebebasan dan keberagamaan orang lain kerap dijadikan pembenaran terhadap ketidak penerimaan terhadap perbedaan. Dalam psikoanalisis ini disebut hasrat dan fantasi yang tidak tersalurkan. Pandangan psikoanalisis ini merujuk kepada Odipus Complex. Seorang anak berusaha melihat sang bapak sebagai orang yang ditiru, akan tetapi hasrat tersebut tidak terpenuhi, karena selalu adanya “nilai lebih”. Kekosongan tersebut kembali kepada subjek (individu) lalu menjadi sebuah upaya untuk “menyingkirkan” orang tuanya.
Dalam Islam sendiri tidak ada pengekangan untuk terkait persoalan kebebasan beragama. Problemnya, seringkali kebebasan beragama dianggap sebagai persoalan kebebasan seluas-luasnya. Karena pemahaman keliru tersebut, kebebasan diartikan sebagai kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Pandangan ini tentu tidak tepat. Karena konsep kebebasan dalam sejarah pemikiran Islam sejatinya merupakan adalah bagian dari dinamika pemikiran Islam itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, pandangan mengenai kebebasan dianut oleh kelompok mu’tazilah. Kebebasan ini berangkat dari konsep free will seorang manusia. Dalam pandangan Mu’tazilah, kebebasan merupakan hak basyari bagi setiap orang. Hanya saja kebebasan tersebut tidak bersifat absolut, kebebasan tetap dibatasi dengan tanggung jawab individunya.
Karena Kebebasan tidak terkonstitusikan oleh tanggung jawab. Kebebasan menjadi dan berarti negatif. Artinya kebebasan orang beragama orang masih diyakini seakan mengancam keyakinan indivdu. Di sinilah, bagaimana makna kebebasan bekerja dengan pengalihan doktrin beragama. Selalu dibedakan dalam arti makna lain. Hal ini kemudian yang dicoba tafsirkan dalam melihat kebebasan beragama bagi orang lain. Bahwa setiap orang bebas untuk menentukan pilihan hidupnya bahkan untuk memilih agamanya. Sebenarnya bagaimana pandangan al-Quran sendiri terkait hal tersebut?
“Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas kebenaran” (QS. 2:256 )
Ibnu ‘Asyur (1973) menjelaskan bahwa ayat QS. 2:256 sebagai ketentuan tidak bolehnya memaksa seseorang untuk masuk agama Islam. Pandangan ini dijelaskan secara cermat oleh Ibnu ‘Asyur.
Ibnu ‘Asyur berkata dalam kitab al-Tahrir wa al-Tanwir:
وَنَفْيُ الْإِكْرَاهِ خَبَرٌ فِي مَعْنَى النَّهْيِ، وَالْمُرَادُ نَفْيُ أَسْبَابِ الْإِكْرَاهِ فِي حُكْمِ الْإِسْلَامِ، أَيْ لَا تُكْرِهُوا أَحَدًا عَلَى اتِّبَاعِ الْإِسْلَامِ قَسْرًا،…..وَهِيَ دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى إِبْطَالِ الْإِكْرَاهِ عَلَى الدِّينِ بِسَائِرِ أَنْوَاعِهِ، لِأَنَّ أَمْرَ الْإِيمَانِ يَجْرِي على الِاسْتِدْلَال، والتمكين مِنَ النَّظَرِ، وَبِالِاخْتِيَارِ.
“Tidak Bolehnya Pemaksaan mesti diartikan sebagai larangan. Artinya penolakan terhadap seluruh faktor yang memaksa dalam hukum Islam. Dengan kata lain, ia menyiratkan jangan kamu paksa siapapun untuk mengikuti (masuk) Islam. Ini adalah dalil paling jelas tidak sahnya memaksa masuk dalam agama dengan segala bentuk macamnya. Karena persoalan keimanan itu didasarkan kepada pengambilan argument, dan lahir dari paradigma dan pilihannya.” (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrirwa al-Tanwir, Dar Tunisiah, II, 42)
Ibnu ‘Asyur juga menambahkan bahwa dakwah Islam tidak boleh dilandaskan pada paksaan (al-jabar) dan memaksa dan membenci (al-Ikroh). Bagi kelompok tertentu ini bertentangan dengan perintah untuk memerangi orang kafir. Pertentangan dengan hadis nabi Muhammad, “Umirtu an Uqatila an-Nas”. Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa hadis ini hanya dipraktekkan pada masa Nabi Muhammad Saw. ketika orang kafir Qurays gencar memerangi orang-orang Islam. Adapun dalam konteks perdamaian maka tidak boleh lagi memerangi orang kafir.
Taha Jabir al-Alwani dalam buku La Ikroha fi al-Din menafsirkan bahwa tidak bolehnya membunuh orang murtad seseorang muslim merupakan bagian dari ta’wil QS. 2: 256. Lanjutnya, tidak ada alasan apapun yang memboleh seseorang muslim membunuh orang murtad. Menurut al-Alwani bahwa perintah untuk membunuh orang murtad harus dilihat dari faktor yang mengiringinya (musahibat). Selama tidak ada faktor tersebut, maka pembunuhan dilarang.
Taha Jabir menjelaskan bahwa pembunuhan orang murtad dilegalkan jika ada upaya pembangkangan dari jamaah. Sebagaimana di hadis lain disebut dengan “wa faraqa al-Jama’ah”. Di sini jelas bahwa keluar dari Islam bukan faktor utama untuk membunuh orang murtad. Pandangan seperti ini sangat lumrah dikalangan oleh ahli ushul fikih.Taha Jabir juga memberi catatan bahwa seseorang yang murtad lebih baik untuk diperingatkan kembali taubat/ istitabah, tidak lebih. Hal ini sesuai dengan ayat wa innama ‘alaika al-Balagh.
Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa agama Islam sebagai agama yang mengekang seseorang dalam beragama. Karena agama pada dasarnya adalah soal keimanan. Dan keimanan hanya bisa ditentukan lewat hati, pengalaman dan pilihan seseorang.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila sebagai dasar bangsa Indonesia, ia lahir dari perjalanan panjang dan merupakan fakta historis dan sosiologis bagi keragaman masyarakatnya. Karena perbedaan latar belakang agama tersebutlah pancasila sudah sangat sesuai dengan pandangan Islam mengenai orang murtad.
Pada poin inilah, Pancasila menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap orang. Bukan karena Pancasila itu melebihi dan melampaui agama itu sendiri. Pandangan ini sejatinya tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asyur dan Taha Jabir di atas. Karena dalam Islam sendiri tidak adanya paksaan untuk masuk agama Islam.