Jauh sebelum kita familiar dengan Tombo Ati dalam bentuk lagu pop, resep obat hati yang masyhur ini sudah dirumuskan oleh para Ulama terdahulu. Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Mandzumat Hidayat al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ yang kemudian diberi syarah oleh Syaikh Bakri al-Makki bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi dengan judul Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya, mengatakan:
وَدَوَاءُ قَلْبٍ خَمْسَةٌ فَتِلَاوَةٌ # بِتَدَبُّرِ المعنَى وَلِلْبَطْنِ الخَلاَ
وَقِيَامُ لَيْلٍ وَالتَّضَرُّعُ بِالسَّحَر # وَمُجَالَسَاتُ الصَّالِحِيْنَ الفُضَلَا
“Obat Hati ada lima, yakni membaca al-Qur’an dengan mentadabburi maknanya, menahan lapar, salat malam, merendahkan diri di hadapan Allah saat waktu Sahar (sepertiga malam terkahir), dan berkumpul dengan orang-orang shalih yang memiliki banyak keutamaan”
Meski pada dasarnya tidak menekankan secara spesifik untuk hanya dilakukan saat bulan Ramadhan, namun lima amalan pada syair di atas cukup relevan dan cenderung tidak berat untuk dilakukan saat Ramadhan, yang diantaranya karena adanya dorongan ruhaniyyah.
Sebab pada bulan suci Ramadhan, pada umumnya seseorang cenderung akan lebih terdorong untuk meningkatkan kualitas ibadahnya dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, kendati perintah untuk selalu bertaqwa kepada Allah serta meningkatkan kualitasnya tak mengenal tempat dan waktu. Namun begitulah kira-kira yang selama ini sebagian besar dari kita mengalaminya.
Apa yang disampaikan Syaikh Zainuddin di atas sebenarnya terinspirasi dari ungkapan Syaikh Ibrahim bin Ahmad Abu Ishaq al-Khawwash, seorang Ulama sufi yang memiliki banyak karamah. Namun, beliau kemudian menggubahnya sehingga menjadi dua bait syair yang mudah diingat. Demikian keterangan dalam kitab tersebut.
Lima perkara tersebut dapat kita amalkan saat bulan Ramadhan, sekaligus dapat menjadi resep obat hati agar kita terhindar dari sifat kerasnya hati (qaswatul qalb).
Yang pertama adalah membaca al-Quran. Tentu tidak hanya membaca secara lisan saja, tetapi disertai dengan memahami maknanya. Prof. M. Quraish Shihab berulang kali menyampaikan, membaca satu-dua ayat al-Quran yang disertai dengan pemahaman mendalam (dan berusaha mengamalkannya) jauh lebih baik daripada membaca sepuluh ayat tetapi hanya sekedar membaca saja tanpa disertai pemahaman.
Meski demikian, Allah tetap akan memberi pahala hamba-Nya yang membaca al-Quran walaupun ia tak memahami apa makna yang dibacanya. Namun apabila disertai dengan pemahaman yang baik, tentu akan lebih utama.
Kedua adalah mengosongkan perut, yang berarti menahan lapar atau berpuasa. Dalam waktu yang bersamaan kita berada dalam bulan Ramadhan, yang di dalamnya kita diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Tak hanya dimaknai sekedar menahan lapar saja, akan tetapi menjaga makan saat berbuka untuk tidak makan secara berlebihan.
Selain itu, Syaikh Wahbah al-Zuhaily menjelaskan dalam tafsir Al-Munir, bahwa puasa dapat menyucikan jiwa, mengekang nafsu dari berbagai dorongan melakukan perbuatan buruk, serta melatih kesabaran. Sebagaimana sabda Rasul, bahwa puasa adalah separuh dari kesabaran (al-Shaum nishf al-Shabr).
Sementara perkara yang ketiga dan keempat dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, yaitu mendirikan shalat malam dan dilanjutkan dengan tadharru’ bi al-sahar, yakni merendahkan diri ‘di hadapan’ Allah pada sepertiga malam terakhir (waktu Sahar).
Sepertiga akhir malam disebut dengan waktu Sahr سحر (seakar kata dengan sihir yang berarti menipu/memperdaya mata yang melihatnya) karena waktu itu adalah beralihnya atau hilangnya gelap malam dan awal munculnya fajar (cahaya pagi). Sebab pada titik ini terjadi pergeseran waktu yang sangat samar sehingga dapat mengecoh atau memperdaya siapapun yang tidak jeli melihatnya. Tak heran apabila seseorang mengira waktu masih malam namun ternyata fajar sudah menyingsing.
Begitupun dengan istilah makan sahur. Ia dinamakan demikian karena dilakukan saat waktu Sahar.
Baca juga: Keistimewaan Waktu Sahur dan Rahasianya yang Belum Banyak Diketahui
Yang terakhir adalah bermujalasah atau berkumpul dengan orang-orang shalih. Tak dipungkiri bahwa manusia akan dipengaruhi karakternya dengan siapa ia bergaul atau berkumpul. Maka berkumpul dengan para shalihin adalah salah satu dari cara untuk memperbaiki diri.
Kata al-Fudhala yang berarti ‘orang salih yang memiliki banyak keutamaan’ pada akhir bait di atas merupakan pesan utama dari hal ini, bahwa dengan sering berkumpul bersama mereka maka kita dapat memperoleh hikmah dan kebaikan dari apa yang mereka sampaikan.
Namun di tengah pandemi yang sedang melanda sehingga dilarang untuk mengadakan perkumpulan, maka mencari hikmah dan kebaikan di media sosial dengan mengakses serta mengikuti kajian keislaman yang rahmatan lil ‘alamin dapat kita jadikan sebagai gantinya. Karena tujuan akhir dari obat hati ini supaya manusia mampu memperbaiki diri dan hati. Diri dan hati yang baik sangat dipengaruhi termasuk dari sumber informasi-informasi yang kita akses setiap harinya.
Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan dan kemudahan untuk menjalani obat hati ini. Wallahu a’lam bisshawab. [rf]