Hukum Menyegerakan Haji

Hukum Menyegerakan Haji

Haji memang sebuah kewajiban bagi orang yang sudah mampu. Lalu, jika sudah mampu, apakah wajib menyegerakan haji, atau boleh menunda?

Hukum Menyegerakan Haji

Haji adalah rukun islam yang kelima, ia wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang mampu. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Ali-Imron ayat 97:

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Dalam ilmu ushul fiqih dalam bab amr, kita akan mendapatkan kaidah cabang dari bab ini, yaitu: al-Ashlu fil amri la yaqtadhil faur (asal suatu perintah tidak menuntut kesegeraan), maka boleh mengakhirkan suatu perintah sekira tidak kebablasan untuk menjalankannya. Namun adakalanya asal suatu perintah membutuhkan kesegeraan al-Ashlu fil amri yaqtadhil faur.

Kemudian bagaimana dalam perintah berhaji bagi orang yang sudah mampu? Dalam hal ini ada dua pendapat sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fiqh Al-Ibadat yang disusun oleh Dr. Abdul Fattah. Pertama, ulama Syafiiyah berpendapat bahwa kewajiban haji bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan adalah boleh mengakhirkannya (ala tarakhi) sampai beberapa tahun kedepan.

Dalam pendapat ini mereka menggunakan dalil dari tindakan Nabi Saw, yakni disyariatkannya haji pada tahun ke-6 Hijriyyah dan baru mengerjakannya pada tahun 10 Hijriyyah. Meskipun demikian, tetap disunnahkan untuk menyegerakan jikalau mampu melaksanakannya supaya terbebas dari tanggungan kewajban.

Kedua, ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang sudah mampu melaksanakan haji maka wajib menyegerakannya. Pendapat mereka didasarkan pada hadis rasulullah Saw:

مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا

Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang cukup untuk dijadikan bekal ke Baitullah, namun dia tidak pergi haji, aku tidak peduli jika dia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani,” (HR Tirmizi).

Kesimpulannya adalah, bagi kita yang sudah mampu untuk melaksanakan haji maka lebih baik segera melaksanakannya, sebagaimana disunnahkan jika berpacu pada pendapat yang pertama dan diwajibkan jika berpegang pada pendapat yang kedua.

Wallahu A’lam