Hukum Menyebarkan Hoax dan Tweet War Saat Puasa

Hukum Menyebarkan Hoax dan Tweet War Saat Puasa

Hukum Menyebarkan Hoax dan Tweet War Saat Puasa

Memberikan informasi palsu atau hoax dan menyebarkannya pada saat berpuasa dapat menghilangkan pahala puasa dan bertentangan dengan tujuannya yang hendak digapai, yakni menjadi orang yang bertakwa. Pemberitaan palsu dalam diskursus hukum Islam masuk kategori berbohong (al-kadzib) atau dalam istilah al-Quran disebut “rafats”.

Pakar hukum Islam sepakat, meski berbohong tidak membatalkan puasa, namun dapat menggugurkan pahalanya. Berbeda dengan mayoritas ulama, menurut ‘Abdurrahman Al-Auza‘i (w. 157 H), salah satu pengikut tabi‘in dan ulama besar Syam pada masanya berpendapat bahwa berbohong, menggunjing, mencaci maki dan mengadu domba dapat membatalkan puasa. Apabila seseorang melakukan salah satu darinya maka puasanya batal dan wajib diqadla pada bulan lainnya.

Pendapat al-Auza‘i berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw yang berupa:

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْكَذِبُ وَالنَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ

“Ada 5 hal yang membatalkan puasa, yaitu 1) menggunjing, 2) mengadu domba, 3) berbohong, 4) melihat atau berkhayal disertai libido, dan 5) sumpah palsu.”

“Batal puasa” dalam hadis di atas bagi para ulama yang menyatakan berbohong tidak membatalkan puasa ditafsirkan sebagai “batal pahalanya” (suquth ats-tsawab) dan sebagai larangan keras melakukannya. (Al-Mawardi, 1999: III, 464-465).

Adapun tweet war yang kerap dilakukan dengan caci maki, mengumpat, menghina dan perkataan buruk lainnya juga memiliki hukum sebagaimana di atas, dapat membatalkan puasa menurut Al-Auza‘i dan tidak membatalkan menurut para pakar fikih lainnya. Kendati demikian, semua ulama sepakat bahwa tindakan tersebut dapat menghilangkan pahala puasa, sehingga meski puasanya tidak batal namun sia-sia, hanya mendapatkan lapar dan dahaga sebagaimana disinggung dalam hadis Nabi Muhammad Saw: “Banyak orang berpuasa, namun hanya mendapatkan lapar dan haus” (Rubba sha`imin hadzdzuhu min shaumihi al-ju‘u wa al-‘athasyu).

Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i (w. 204 H), pendiri madzhab Syafi‘i mengatakan:

وَأُحِبُّ لِلصَّائِمِ أَنْ يُنَزِّهَ صِيَامَهُ عَنِ اللَّغَطِ الْقَبِيْحِ، وَالْمُشَاتَمَةِ وَإِنْ شُوْتِمَ أَنْ يَقُوْلَ إِنِّيْ صَائِمٌ لِلْخَبَرِ فِيْ ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

“Saya senang orang yang berpuasa membersihkan puasanya dari perkataan buruk dan caci maki. Jika ia dicaci maki atau dihina maka jawablah saya sedang berpuasa karena ada hadis Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan tentang hal itu.” (Al-Mawardi, 1999: III, 464).

Penjelasan di atas mengantarkan pada pemahaman bahwa ahli fikih meski dalam diskursus keislaman kerap diidentikkan dengan persoalan lahiriyah dengan kaidahnya “nahnu nahkumu bi adz-dzawahir (kami menghukumi hal yang tampak)”, namun dalam persoalan puasa ini membuktikan bahwa ulama fikih juga sangat memperhatikan aspek batiniyahnya serta tujuan-tujuan dari ibadah yang tidak hanya terikat oleh syarat-syarat formal.