Fenomena #War Takjil: Mulai dari Toleransi hingga Berpuasa ala Kelas Menengah di Media Sosial

Fenomena #War Takjil: Mulai dari Toleransi hingga Berpuasa ala Kelas Menengah di Media Sosial

Beberapa hari ini, perbincangan dan konten terkait #WarTakjil melonjak tajam. Berburu takjil atau menu berbuka puasa yang dijual dari siang hingga waktu berbuka mulai menjadi tren di masyarakat. Istilah “Nonis (Non-Islam)” menjadi viral karena dianggap telah melakukan start lebih awal ketimbang masyarakat Muslim yang sedang berpuasa.

Fenomena #War Takjil: Mulai dari Toleransi hingga Berpuasa ala Kelas Menengah di Media Sosial
ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/ama/18.

Makanan, minuman, dan puasa saling bertaut. Menahan lapar dan haus adalah standar dasar orang berpuasa. Menariknya, menu sahur atau berbuka puasa adalah perbincangan paling umum di tengah orang berpuasa, bahkan sedari pagi. Walaupun banyak pendakwah berdawuh bahwa  puasa di bulan Ramadan tak sekedar menahan rasa lapar dan haus belaka.

Beberapa hari ini, perbincangan dan konten terkait #WarTakjil melonjak tajam. Berburu takjil atau menu berbuka puasa yang dijual dari siang hingga waktu berbuka mulai menjadi tren di masyarakat. Istilah “Nonis (Non-Islam)” menjadi viral karena dianggap telah melakukan start lebih awal ketimbang masyarakat Muslim yang sedang berpuasa.

Kondisi ini disebutkan berdampak pada banyak menu berbuka puasa lebih dahulu habis, sebelum masyarakat Muslim yang berpuasa datang ke tempat jualan takjil. Perbincangan #WarTakjil malah ditanggapi dengan gembira dan saling melempar guyonan, baik di kalangan muslim dan non Muslim. Bahkan, beberapa pendeta pun ikut berkomentar dalam khutbah mereka.

“Untukmu Agamamu, Takjil adalah hak segala agama” adalah slogan paling populer di tengah perbincangan terkait #WarTakjil. Aksi “balasan” pun mulai dibuat dengan “Aksi memborong telur sebelum perayaan Paskah, sehingga harus diganti dengan Kinderjoy,” dan beberapa guyonan yang membuat kebahagiaan di tengah bulan puasa tahun seakan lebih massif.

Dari #WarTakjil ada dua fakta yang saling bertaut dan menjelaskan satu sama lain, yakni keberislaman kelas menengah atau masyarakat kota dan narasi toleransi didedahkan didalamnya. Mari kita ulik bersama.

***

Kehidupan kota, modernisme, dan kapitalisme telah mengubah kehidupan kita. Keberislaman pun turut beradaptasi, bernegosiasi, hingga tarik-menarik didalamnya. Rasanya hampir tak ada sisi agama yang bersisian dengan modernisme atau kapitalisme. Kelas menengah dan masyarakat kota adalah aktor utama dalam fenomena ini.

Ritual atau keberagamaan tak lagi sekedar ajaran atau urusan ibadah di satu agama. Pergeseran takjil dari menu kudapan untuk menu berbuka puasa adalah buktinya. Berbuka puasa tentu ibadah atau bagian dari ritual puasa. Namun, hari ini, takjil yang dijual para pedagang sebagai bagian dari berbuka puasa, telah menjadi perbincangan media sosial dan aksi berburu beragam kudapan tersebut.

Di titik inilah #WarTakjil menjadi isu kelas elit. Perburuan seakan memuaskan hasrat yang tersembunyi di benak sebagian besar manusia. Tak terkecuali takjil atau menu berbuka puasa. Manusia modern telah menjadikan kekuatan ekonomi yang dimiliki sebagai senjata dalam perburuan. Tak berbeda dengan manusia purba yang mulai belajar berburu, bukan sekedar untuk makanan sehari.

Sebagian besar konten #WarTakjil berisikan kegiatan para karyawan swasta atau perusahaan besar. Jam dan kesibukan kerja membuat para budak korporat (sebutan populer para pekerja swasta) tidak memiliki waktu untuk memasak atau mengonsumsi bahan makanan yang bisa diolah di rumah. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan di tempat kerja dan perjalanan. sebagian mereka tidak sempat berbuka bersama dengan keluarga di rumah.

Pilihan para pekerja tersebut adalah membeli. Sebagian besar mereka memang memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli takjil dan beragam menu makanan dan minuman. Walaupun, banyak kelompok masyarakat kota lain yang juga merasakan apa yang dirasakan kalangan budak korporat  tersebut, yakni dipaksa bernegosiasi dalam berbuka puasa.

Kehidupan di kota telah mengubah cara pandang hingga ekspresi keberagamaan mereka, termasuk berbuka puasa. Oleh sebab itu, konten-konten berburu menu buka puasa mulai populer. Media sosial jelas turut mempopulerkannya.

Di sisi lain, berbuka puasa di rakyat jelata, masyarakat miskin kota, hingga para buruh lepas biasa juga “dirayakan” dengan gaya berbeda. Kemampuan ekonomi untuk berbuka di restoran atau membeli beragam menu berbuka jelas terbatas, kalau tidak dibilang tertutup rapat.

Menu berbuka puasa biasanya sangat bergantung dengan penghasilan harian mereka, dengan menu makanan sederhana di rumah dan sesekali juga ditambah dengan hasil kumpulan takjil gratisan. Tak berbeda jauh di kalangan mahasiswa perantau. Bagi mahasiswa, menu-menu takjil dan berbuka di sebuah masjid bisa jadi perbincangan di kolom chat atau diskusi di luar ruang kuliah.

Di tengah kegembiraan bulan Puasa ini, kita juga dihadapkan fakta kondisi di Palestina semakin memprihatinkan. Di awal Ramadan kemarin, video yang merekam seorang anak sedang memunguti bahan makanan yang tercecer di tanah sempat viral di media sosial dan media massa. Pemandangan ini memancing empati, simpati, hingga emosi ke pihak Israel, yang selama ini mengepung wilayah Gaza. Anak kecil itu contoh kebengisan mereka.

Fenomen #WarTakjil mungkin terkesan tidak simpatik. Kondisi di Palestina hingga pemandangan berbuka puasa di masyarakat miskin jelas membuat Ramadan tahun ini tidak bisa disambut dalam kebahagiaan sempurna. Ketimpangan dan ketidakadilan adalah wajah dunia.

Semoga kebahagiaan dalam guyonan #WarTakjil yang didedahkan dalam beragam bentuk, bisa menyembuhkan luka dalam hati kita dan memberikan semangat persatuan dalam melawan ketidakadilan yang dirasakan saudara kita dalam kemanusiaan.

***

Cara kita menertawakan perbedaan agama dengan #WarTakjil adalah langkah kreatif sekaligus populis. Perbedaan politik, agama, hingga kesenjangan antar kelas yang sengaja dipelihara oleh elit hingga hari ini, bisa ditertawakan dan diruntuhkan sekat-sekatnya. Kita perlu mengapresiasi ini.

Fenomena #WarTakjil ini bisa dikategorikan sebagai aksi politik konsumerisme. Di mana konsumen menggunakan pasar sebagai arena politik untuk mengubah praktik-praktik institusional atau pasar yang dianggap tidak etis, tidak ramah lingkungan, atau tidak sesuai dengan etika, atau tidak sesuai dengan politik’ atau untuk memberi imbalan kepada perusahaan atas praktik-praktik yang menguntungkan.

#WarTakjil adalah aksi politik populis di ranah agama. Toleransi bisa dinarasikan di arena politik agama dalam bingkai kebersamaan, bahkan tanpa harus ada campur tangan elit, apalagi Negara.

Ia hadir dalam suasana gembira dan tulus. Kegembiraan #WarTakjil bisa jadi kesempatan kita. Terlebih hari ini, kita menghadapi narasi pembungkaman politis berkedok penjejalan narasi politik santuy dan gembira. Demokrasi yang sehat dan kokoh mulai digoyang-goyang dengan menghadap-hadapkan rakyat dengan siapapun yang kritis atas kondisi politik hari ini.

Namun, sebagaimana disebutkan di atas, #WarTakjil adalah wacana elit atau kelas sosial tertentu, dalam hal ini kelas menengah. Walhasil, toleransi di dalam #WarTakjil jelas bertautan dengan wacana elit. Toleransi berbalut konsumerisme. Namun, inilah keberagamaan kita hari ini. Begitu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin