Bagaimana islam memandang haters, ekspresi kebencian dan bully di internet. Lalu. sebagai muslim bagaimana menyikapinya? Makna haters lazimnya dipahami sebagai sebuah ekspresi kebencian seseorang terhadap pihak-pihak tertentu di ruang publik terutama di media sosial seperti twiter, fesbuk, wasap, dan ruang publik lainnya. Bentuk ekspresinya pun beragam, mulai dari gambar, tulisan, atau video.
Umumnya ekspresi itu memuat kata-kata pedas, kasar, dan menyakitkan. Tetapi bisa juga menggunakan bahasa halus yang menyindir dan menohok mulai dari yang masuk akal, tidak masuk akal, dengan alasan kuat, hingga tanpa sebab apa pun.
Untuk melihat fenomena itu baiknya kita awali dengan kutipan Abu Sulaiman Al-Khatthabi dalam kitab Uzlah. Dalam karyanya itu ia mengatakan,
Kami menerima kabar dari Sulaiman, dari Al-Karrani, dari Abdullah bin Syabib, dari Zakariya bin Yahya Al-Minqari, dari Al-Ashma’i, dari Sufyan bin Uyainah. Suatu hari orang-orang bertanya kepada Abdullah bin ‘Urwah bin Zubair, “Mengapa kau tidak mengunjungi kota?” Abdullah bin ‘Urwah bin Zubair menjawab, “Di kota tiada yang tersisa selain manusia yang iri pada kebahagiaan orang lain dan gembira atas kesengsaraan orang lain.”
Bagi Islam ekspresi kebencian jelas merupakan sebuah kejahatan yang sepatutnya dijauhi oleh seorang muslim. Karena ekspresi kebencian itu merupakan akhlak tercela. Imam Al-Mawardi dalam kitab Adabud Dunia wad Din menjelaskan,
Allah berfirman, “Dari kejahatan orang dengki ketika mendengki,” (Al-Falaq 5). Cukup jelas bagimu bahwa dengki adalah sebuah kejahatan. Rasulullah SAW bersabda, “Penyakit umat-umat sebelum kamu tengah merayap menjangkitimu, penyakit benci dan dengki. Dua penyakit itu menggunduli agamamu, bukan rambutmu. Demi Allah yang mana diriku berada dalam genggaman-Nya, kamu tidak beriman sempurna hingga kamu saling mencintai. Maukah kuberitahukan satu hal yang bila kamu lakukan, kamu akan saling mencintai? Tebarkan salam di antaramu.” Di sini Rasulullah SAW menerangkan perihal dengki. Saling mencintai dapat menghilangkan kedengkian. Menebar salam dapat menumbuhkan rasa cinta. Dengan demikian, salam memupus rasa dengki.
Karena sebuah kejahatan Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir Ba’alawi dalam kitab Is’adur Rafiq wa Bughyatut Tashdiq fi Syarhi Sullamit Taufiq ila Mahabbatillah alat Tahqiq menyebutnya sebagai maksiat. Berikut ini uraiannya,
Salah satu maksiat mulut adalah ghibah. Diam atas ghibah menandai senang terhadap ghibah atau menyetujuinya. Definisi ghibah sebagaimana disarikan dari hadits dan uraian para ulama adalah kamu menceritakan perihal tertentu dari saudaramu yang muslim atau nonmuslim baik masih hidup maupun sudah wafat di hadapan seseorang. Sementara yang bersangkutan tidak menyukai ceritamu apa pun perihal dirinya baik di hadapan maupun di luar kehadirannya.
Dalam ghibah ini kamu bisa jadi menceritakan fisik, nasab, atau selain keduanya yang tidak ia sukai apapun itu, perilaku, pengamalan agama, aktivitas duniawi, pakaian, rumah, kendaraan, anak, istri, pembantunya, atau cerita lain-lain yang ia tidak sukai bila cerita itu sampai kepadanya. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, “Ceritamu perihal saudaramu apa pun itu adalah ghibah. Sedangkan ceritamu perihal saudaramu yang tidak ada pada dirinya adalah sebuah dusta besar.”
Lalu apa sanksi yang patut diterima oleh pelakunya? Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengutip sebuah hadits yang kemudian disyarahkan oleh Sayid Muhammad bin Muhammad Al-Huseini Az-Zabidi dalam Ithafus Sadatil Muttaqin.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Surga haram dimasuki oleh mereka yang buruk.” Mereka adalah orang yang berbicara atau berperilaku buruk. Mereka tidak akan masuk surga bersama rombongan pertama. Mereka tidak akan masuk surga sebelum disiksa dan disucikan oleh api neraka kecuali orang-orang yang dimaafkan Allah.
Berdasarkan uraian dari pelbagai keterangan di atas ekspresi kebencian jelas merupakan akhlak tercela yang harus dijauhi oleh seorang beragama yang baik terlepas kebencian ditujukan untuk kepada saudara muslim maupun saudara nonmuslim.
Di samping itu ekspresi kebencian dapat mengantarkan pelakunya ke dalam nasib yang sangat malang di akhirat kelak. Apalagi hukum di Indonesia juga sudah mengatur masalah ini melalui dakwaan pencemaran nama baik seperti Undang-Undang ITE. Karenanya kita sedapat mungkin menjaga kesantunan berkomunikasi di ruang publik agar selamat di dunia lebih-lebih di akhirat. Wallahu a’lam