Hari Raya dan Perang Badar

Hari Raya dan Perang Badar

Hari Raya dan Perang Badar

“…Seperti pasukan muslimin yang tidak punya alasan untuk meragukan kebesaran-Mu atas kemenangan di Perang Badar, malam ini dengan meyakini kebesaran-Mu pula kami berkumandang; Allahu Akbar…

Tahun ke-2 Hijriah, puasa Ramadaan untuk pertama kalinya dijalani umat Islam (al-Baqarah: 183-185), sekaligus untuk pertama kalinya pula Idul Fitri dirayakan.

Momentum perdana ini bertepatan dengan peristiwa Badar, di mana kaum muslimin untuk pertama kalinya juga meraih kemenangan perang skala besar.

Peristiwa Badar, Husein Haikal dalam buku Hayatu Muhammad, mengatakan bahwa sejak awal Nabi Muhammad saw tidak pernah menginginkan peperangan: “kami tidak diperintahkan untuk itu”.

Aksi monopoli pasar dan blokade aktivitas dagang oleh kaum Quraisy Mekah terhadap muslim Madinah lah yang memicu konfrontasi itu tumbuh berkembang.

Pada hari ke-8 Ramadan, pasukan Abu Jahal keluar Mekah, ditambah kafilah Abu Sufyan dari Syam membawa pasukan jumlah besar, sekitar 1000 tentara dengan kelengkapan peralatan perang.

Dari arah Madinah, Nabi membawa 300 shahabat menyambut tantangan itu menuju Badar.

Sampailah di lembah Badar. Dalam buku Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources karya Martin Lings, disebutkan bahwa di tempat inilah pada pagi 17 Ramadaan kedua pasukan ini saling berhadapan.

Nabi tampil di depan mengatur barisan, didampingi Hamzah, Umar, Ali, dan ‘Ubaidah.

300 lawan 1000, tentu ini akan menjadi perang yang tidak mudah. Abu Bakar bisa menangkap ekspresi kecemasan itu dari raut wajah dan degup jantung para shahabat.

Tak ada yang mampu menepiskan gelombang kecemasan itu. Hingga turun ayat Alqur’an yang menenangkan, yaitu tentang kekuatan moril yang tumbuh dari teguhnya iman (al-Anfal: 12, 17, 65, 66)

Husein Haekal memberikan tafsir kontekstual sebagai ilustrasi membacai kembali kesan historis mengenai Perang Badar ini:

“Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Berkat iman yang teguh keadaan muslimin bertambah kuat. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.”

Pihak muslimin hanya butuh beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari mengakhiri perang, ringkas Karen Amstrong dalam karya antropologisnya Muhammad: Biography of the Prophet. Dilihat dari jumlah pasukan yang timpang, sungguh ini kemenangan yang menakjubkan.

Efek moral dari kemenangan Badar ini pun terasa cukup besar, sehingga Nabi dan kaum muslimin yang selama ini menjadi sasaran cemoohan, berbalik mendapat kepercayaan diri dan kehormatan dari berbagai kalangan.

Perayaan Idul Fitri sejatinya, asal-muasalnya tidak lahir dari latar historis kemenangan Badar. Dalam ‘Ensiklopedi Islam’ disebutkan, bahwa jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Arab sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan, keduanya berasal dari zaman Persia Kuno.

Biasanya, mereka merayakan kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Seiring turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriah itulah, turun kemudian hadits Nabi:

“Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”

Di Idul Fitri pertama inilah kaum muslimin merayakan dua kemenangan perdana, yaitu pencapain ritual puasa Ramadlan dan keberhasilan di Perang Badar. Narasi antar kedua peristiwa ini menjadi relasi yang tak terpisahkan dalam memaknai kemenangan; dari perspektif spiritual, juga sosial.

Selamat meraih kemenangan. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin (Moammar Elba)