Haji dan Nilai Kemanusiaan

Haji dan Nilai Kemanusiaan

Ibadah haji bernilai istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Kedudukannya begitu spesial dalam pandangan umat Islam sebagai penyempurna keislaman seseorang

Haji dan Nilai Kemanusiaan
Ilustrasi sejarah Islam.

“Labbaik Allaahumma Labbaik, Labbaika laa syariika laka labbaik, innal hamda wanni’mata laka wal mulk Laa syariika laka” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan milik-Mu semata-mata, tidak ada sekutu bagi-Mu).

Ibadah haji bernilai istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Kedudukannya begitu spesial dalam pandangan umat Islam sebagai penyempurna keislaman seseorang setelah melakukan syahadat, salat, zakat dan puasa. Rukun Islam ke lima atau yang terakhir ini mensyaratkan seorang Muslim untuk berperjalanan menuju Baitullah di Makkah yang dikehendaki oleh Allah menjadi simbol pusat umat manusia dalam menghamba hanya kepada satu kekuatan yang maha agung, Allah Al-Ahad. Meskipun ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, fenomena menarik yang perlu dicatat adalah bagaimana haji mampu menjadi gathering media bagi lebih dari empat juta Muslim setiap tahunnya, dari berbagai negara, etnis dan golongan. Mereka melepas identitas pribadinya untuk secara bersama-sama dan setara menjalankan syarat dan rukun haji.

Allah telah mensyariatkan haji semenjak Nabi Adam turun ke bumi. Berbagai riwayat menyebut bahwa Ka’bah telah didirikan para malaikat Allah kemudian Adam diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah tersebut. Nabi Adam melaksankan haji dengan berthawaf mengikuti malaikat. Para nabi setelah Adam juga menjalankan ibadah haji sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.

Nabi Ibrahim mendapat mandat dari Allah untuk menjalankan haji dengan terlebih dahulu membangun kembali Ka’bah, dikarenakan Ka’bah semasa Nabi Adam telah hilang diterjang banjir besar semasa Nabi Nuh. Maka pada sekitar tahun 1500 SM, dengan dibantu putranya, Ismail AS, Nabi Ibrahim membangun Ka’bah di atas bidang tanah yang menggunduk dekat sumur zam-zam. Letak bangunan Kab’ah persis dengan lokasi Ka’bah yang pernah didirikan Nabi Adam pada masa lalu. Bahan bangunan Ka’bah diambil dari bebatuan Bukit Hira, Bukit Qubays dan bukit-bukit di sekitarnya. Ukuran Ka’bah saat itu lebih kecil dari yang sekarang, hanya berukuran 12 x 10,5 x 15 meter, berbentuk persegi empat dengan dua pintu dan tanpa atap. Salah satu celah tembok Ka’bah diisi dengan batu hitam besar yang populer disebut Hajar Aswad.

Setelah Ka’bah selesai dibangun, Allah menyeru umat Ibrahim agar menunaikan ibadah Haji. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Alquran Surat Al-Hajj ayat 27 yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Mendapatkan perintah haji, Nabi Ibrahim AS meminta bimbingan kepada Allah tentang tata cara (manasik) melakukan ibadah yang diperintahkan tersebut. Allah pun membimbing Nabi Ibrahim untuk melakukan ibadah haji yang kemudian menjadi panduan atau manasik haji hingga sekarang, yang terangkum dalam rukun dan wajib haji. Rukun haji adalah kegiatan-kegiatan yang jika tidak dikerjakan maka menyebabkan hajinya menjadi tidak sah. Rukun haji yaitu Ihram, Wukuf di Arafah, Thawaf Ifadah, Sa’i, Tahallul, dan tertib (berurutan). Sementara wajib haji adalah kegiatan yang harus dilaksanakan dan jika ditinggalkan maka orang yang berhaji harus membayar denda. Yang termasuk wajib haji adalah niat ber-ihram, mabit (beramalam) di Muzdalifah dan Mina, melempar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah.

Menyelami rukun dan wajib haji, kita akan menemukan samudera pengetahuan tentang kesempurnaan Islam. Pertama, Ihram. Ritual ihram bermakna mengharamkan atau mensucikan. Maksudnya, dengan melakukan peribadatan ihram ini para jamaah haji berkewajiban mematuhi larangan-larangan selama beribadah haji, yang sesungguhnya aktivitas-aktivitas terlarang tersebut tidak terlarang pada waktu-waktu di luar haji. Melekatnya kewajiban menjauhi larangan haji tersebut disimbolkan dengan pakaian putih tanpa jahitan atau biasa disebut pakaian ihram yang melekat di tubuh para jamaah haji. Sisi simbolis ini menyiratkan pesan bahwa ketika manusia mengenakan pakaian ihram, mereka harus bersedia dengan ikhlas melepas belenggu identitas yang selama ini melekat di dirinya, seperti kekayaan, jabatan atau kelebihan prestige duniawi lainnya. Dengan berihram, manusia diminta untuk menanggalkan pakaian keduniawian serta menggantinya dengan pakaian putih yang menandakan bahwa di hadapan Allah semua hamba adalah setara. Di sinilah secara simbolik manusia, dalam hal ini para jamaah haji, mendaklarasikan persamaan hak dan kedudukan setiap manusia.

Kedua, Wukuf di Arafah. Wukuf secara umum artinya berdiam diri. Dalam rangkaian ibadah haji, istilah Wukuf menjadi bermakna khusus, yakni berdiam diri di Padang Arafah, 25 km timur kota Makkah. Menurut pendapat jumhur ulama, waktu melakukan Wukuf ialah semenjak tergelincir matahari pada hari kesembilan Dzulhijjah sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah. Padang Arafah adalah tempat Adam dan Hawa dahulu dipertemukan kembali setelah terpisah semenjak diturunkan oleh Allah SWT dari surga. Dengan disyariatkannya Wukuf di Arafah, secara tersirat Allah berpesan agar manusia bisa saling mengenal, berkumpul, dan hidup rukun sesama keturunan Adam untuk merefleksikan makna persaudaraan dalam Islam. Dalam rukun haji ini, jutaan manusia beragam etnis, bangsa, bahasa, tradisi, warna kulit dan aliran keagamaan secara bersama menghadap Allah, bermunajat kepada-Nya dan merenungkan keagungan-Nya. Hal ini menjadi pembelajaran yang berarti bagi umat manusia untuk selalu menyadari bahwa keragamaan dalam kehidupan dunia ini adalah sunnatullah. Allah memberitakan hal ini dalam QS. Al-Hujurat:13 yang artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi”.

Ketiga, bermalam di Muzdalifah dan Mina. Selepas Wukuf di Arafah, jamaah haji diwajibkan untuk menginap di Muzdalifah. Muzdalifah, adalah kota kecil atau gurun pasir yang tidak begitu luas di antara Arafah dan Mina. Mabit di Muzdalifah memberikan renungan agar manusia menginsafi diri dan menyadari kelemahannya di hadapan Allah. Setelah di Arafah, jamaah haji menimba ilmu agar hidup bersama dalam damai di tengah masyarakat yang plural, maka di Muzdalifah mereka berkesempatan meresapi dan mengkristalkan semangat kebersamaan tersebut ke dalam hati terdalam. Di gurun ini pulalah mereka mengumpulkan kerikil untuk melontar Jumrah di Mina nantinya. Kerikil yang mereka kumpulkan adalah simbol modal bagi manusia untuk melanjutkan kehidupan. Setelah dilemparkan pada saat Jumrah, kerikil-kerikil yang dikumpulkan di Muzdalifah itu menjadi simbol keburukan-keburukan yang ada dalam diri manusia yang harus senantiasa diupayakan agar terbuang dan tidak mengotori hati. Setelah bermalam di Muzdalifah, para jamaah haji menuju Mina untuk mabit di sana pada hari tasyrik, yaitu malam sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijjah. Mabit di Mina ini mengiringi pelaksanaan melontar Jumrah.

Keempat, melontar Jumrah. Salah satu rukun haji adalah diperintahkannya para jamaah melemparkan kerikil ke tiga Jamarat di Mina, masing-masing sebanyak tujuh kali. Aturannya, pada 10 Dzulhijjah jamaah haji melempar Jumrah Aqabah, tempatnya terletak di Bukit Aqabah, sebanyak 7 kali. Mengapa melempar Jumrah? Jumrah yang divisualisasikan dengan batu atau tugu diibaratkan setan yang harus selalu diusir agar tidak membisikkan keburukan kepada manusia. Dengan terusirnya setan, maka akan lahir pribadi Muslim yang saleh dan bertindak penuh kemaslahatan. Diharapkan, umat Muslim yang secara simbolis telah mengusir keburukan dari dalam dirinya melalui ibadah melempar Jumrah dapat menjadi pionir kemaslahatan sosial dalam membina kehidupan masyarakat yang penuh kemajemukan.

Kelima, Thawaf. Ibadah Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran, di mana tiga putaran pertama dilakukan dengan lari-lari kecil dan sisanya dilakukan dengan berjalan biasa. Para jamaah haji diharuskan memulai dan mengakhiri Thawaf di Hajar Aswad dengan menjadikan Ka’bah berada di sebelah kirinya. Rasulullah Muhammad SAW bahkan mensunnahkan umat Muslim untuk menyentuh atau mencium batu hitam tersebut. Thawaf mengilustrasikan tarian kosmos, seperti partikel elektron yang mengelilingi atom, seperti bumi dan planet lain mengelilingi sang surya, yang melambangkan ketundukan semua ciptaan Allah kepada-Nya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan” (QS. Ali Imran: 83). Di sisi lain, Thawaf bisa ditengarai sebagai wujud usaha manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan menuju satu titik di mana mereka akan  kembali. Thawaf menuntut keteguhan langkah dan kemantapan hati demi mencapai titik eksistensi, yaitu Allah SWT. Ini memberikan pelajaran bahwa segala apa yang dicitakan maupun yang sedang dijalani hanyalah untuk mecari jalan-Nya, karena kepada-Nya-lah manusia kembali.

Keenam, Sa’i. Rukun haji ini artinya usaha, yaitu dalam arti berjalan bolak-balik tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwa. Sa’i merupakan replikasi gerakan Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, yang berusaha mencari air untuk anaknya yang masih kecil, karena saat itu air susu sudah habis dan tidak ada air. Dengan meninggalkan Ismail, Siti Hajar menaiki Bukit Shafa untuk mencari air atau untuk menemukan pemukiman atau tenda kafilah yang bisa dimintai pertolongan. Usahanya nihil, air tidak didapat dan kafilah tidak dijumpainya. Siti Hajar kemudian menuruni bukit, lembah, dan mendaki Bukit Marwah. Hasilnya pun sama. Usaha dari Bukit Shafa ke Marwah oleh Siti Hajar dilakukan tujuh kali bolak-balik hingga Allah mengeluarkan air di tempat Ismail ditinggalkan, yang kemudian menjadi sumber mata air zam-zam yang mengalir sepanjang tahun. Perjuangan Siti Hajar inilah yang kemudian disyariatkan Allah dalam ibadah haji. Lalu apa hikmah dibalik Sa’i? Diharapkan, dengan melakukan dan meresapi Sa’i, manusia menyadari dan terbuka pikirannya bahwa sebuah kesuksesan tercapai tidak secara instan, tetapi dengan perjuangan, usaha dan kerja keras. Hal ini didasarkan atas firman Allah dalam Surat An-Najm ayat 39-40, “Bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya, dan bahwa usahanya akan segera terlihat nyata” (QS. An-Najm: 39-40).

Ketujuh, Tahallul atau mencukur rambut kepala. Rambut adalah hiasan kepala, sementara kepala bagaikan mahkota manusia. Mahkota berarti kewibawaan, tetapi mahkota juga bisa bermakna kesombongan diri manusia yang sering menempatkannya pada posisi lebih tinggi dibanding yang lainnya. Tahallul menjadi rukun dalam haji dimaksudkan agar manusia menanggalkan segala bentuk keangkuhan diri di hadapan Allah. Ini merupakan pesan nyata, bahwa manusia antara satu dan lainnya adalah sama, yang membedakannya di mata Allah adalah tingkat ketakwaannya. Banyaknya rambut yang tanggal dari kepala, mengilustrasikan seberapa banyak pula pundi-pundi keangkuhan rontok dari diri manusia menuju hati yang bersih. Tahallul mendidik para jamaah haji agar menurunkan egoisme, mengurangi prasangka dan kebencian kepada orang lain. Tahallul mengajarkan umat Muslim agar selalu merontokkan sifat-sifat kesombongan dalam diri.

Selain ketujuh simbol di atas, masih ada satu lagi nilai kemanusiaan haji di luar rukun dan wajib haji, yaitu ibadah kurban. Kurban secara harfiah adalah mendekatkan diri dengan Allah dengan menyembelih hewan ternak. Dalam bingkai kehidupan sosial, kurban bersifat simbolis dan berdimensi moral, yakni sebagai perwujudan cita-cita solidaritas sosial-ekonomi untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Ibadah kurban juga menjadi media penguji kedermawanan seorang Muslim dalam menyikapi kondisi kemiskinan dan ketidakmerataan ekonomi di masyarakatnya. Kurban menjadi lambang perjuangan memantik empati atas kondisi umat Muslim dan masyarakat sekitarnya.

Menilik pada kekuatan nilai universal dalam haji, maka tidak salah jika salah seorang ulama Islam ternama, Ali Syariati, menyebut ibadah haji secara keseluruhan merupakan bentuk demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam, dan juga ilustrasi pertunjukan akbar mengenai hakikat penciptaan, sejarah, ketauhidan, ideologi islam, dan ummah. Dalam simbol-simbol tersebut terdapat banyak kandungan nilai kemanusiaan yang universal.  Tidaklah berlebihan jika ibadah penyempurna Islam-nya setiap Muslim ini selalu ditunggu puluhan juta Muslim di dunia. Umat Muslim mendambakan untuk dapat berada di tanah suci Makkah Al-Mukarramah, di bawah sengatan terik gurun untuk  menyambut seruan Allah SWT. Di tanah suci, semuanya akan menjadi sama dan setara tanpa ada hal yang membedakan seseorang dengan lainnya kecuali tingkat ketakwaannya. Perbedaan ras, etnis, kewarganegaraan, bahasa dan perbedaan lainnya, seketika lebur dalam asas persamaan sebagai hamba Allah. Simbol-simbol dalam haji seperti sedang mendeklarasikan tentang pentingnya ukhuwah islamiyah dengan mengedapankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. (Diolah dari berbagai sumber).

*Dipublikasikan oleh www.lazuardibirru.org, pada 26 Oktober 2012