Gerakan Al-Mahdiyah Sudan: Dari Tarekat Menjadi Sebuah Gerakan Perlawanan Penjajah

Gerakan Al-Mahdiyah Sudan: Dari Tarekat Menjadi Sebuah Gerakan Perlawanan Penjajah

Gerakan Al-Mahdiyah Sudan: Dari Tarekat Menjadi Sebuah Gerakan Perlawanan Penjajah

Tarekat-tarekat yang tumbuh subur ketika Dinasti Funj berkuasa di Sudan telah melahirkan banyak gerakan tasawuf dan juga gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Turco-Mesir ketika berkuasa di Sudan. Salah satu gerakan yang mempunyai peran penting dalam melawan penjajahan Turco-Mesir (Mesir-Inggris) di Sudan adalah gerakan al-Mahdiyah.

Nama Al-Mahdiyah sendiri disematkan kepada pemimpinnya yang bernama Muhammad Ahmad bin Abdullah yang lahir pada 12 Agustus 1844 dan meninggal 22 Juni 1885 di Omdurman Sudan. Bagi orang Sudan, Muhammad Ahmad atau Al-Mahdi merupakan bapak bangsa Sudan. Dia dikenal sebagai pendiri negara Islam Sudan yang kekuasaannya membentang dari Laut Merah hingga Afrika Tengah.

Al-Mahdi adalah putra seorang pembuat kapal dari Distrik Dongola, Nubia atau saat ini berada di Sudan Utara yang dekat dengan Mesir. Pasca Kabarnya, setelah kelahiran Muhammad Ahmad, keluarganya pindah ke selatan yaitu di Karari, sebuah desa di dekat sungai Nil yang ada di Khartoum.

Di masa mudanya, Al-Mahdi belajar agama dari dasar sampai tafsir mistis Islam. Nama Mahdi sendiri mempunyai makna orang yang ditunggu kedatangannya untuk membangkitkan umat di Sudan yang pada saat itu Sudan berada dalam masa jajahan, dan banyak menguasai hampir semua Sudan.

Dalam perjalanan hidupnya, sosok Muhammad Ahmad bergabung dengan ordo Sammaniyyah dan tumbuh sepenuhnya menjadi dewasa dalam lingkungan keagamaan di Sudan. Tarekat Sammaniyah sendiri sebelumnya juga mempunyai hubungan kerjasama dengan pemerintahan Mesir yang berkuasa di Sudan. Setengah abad berkuasa di Sudan, penjajahan Turco-Mesir telah membangkitkan perlawanan bangsa Sudan.

Selain itu, Ahmad muda juga mulai mengumpulkan para pengikutnya sendiri dan kemudian pada tahun 1870 hijrah bersama-sama ke pertapaan di Pulau Aba di Nil Putih. Ketaatan yang kuat dan wataknya yang sangat emosional membawa Al-Mahdi dalam konflik dengan syekhnya (guru), yang dia tegur karena masalah keduniawian. Syekh yang putus asa dengan Muhammad Ahmad akhirnya mengusirnya dari lingkaran murid-muridnya, hingga akhirnya Muhammad Ahmad bergabung dengan persaudaraan Syekh saingan dalam satu naungan yang sama yaitu Sammaniyah.

Pada bulan Maret 1881, Muhammad Ahmad mengatakan kepada para pengikut terdekatnya, bahwa Allah telah menunjuknya untuk memurnikan Islam dan menghancurkan semua pemerintah yang mencemarkan Islam. Pada 29 Juni, dia secara terbuka menyatakan Al-Mahdi sebagai gelar sosialnya. Harapannya, dengan gelar tersebut, al-Mahdi laiknya “mesianis” yang muncul untuk mengembalikan kejayaan Islam. Di tahun yang sama, dia mendirikan negara Islam di Khartoum dengan corak sufistik.

Tantangan pun muncul dari gubernur Mesir waktu itu yang berkuasa di Sudan. Namun, di awal mereka tidak mempunyai keinginan untuk melawan Al-Mahdi. Ini dimungkinkan karena Al-Mahdi dan gerakannya hanya dianggap sebagai seorang darwis semata, dan dianggap tidak membahayakan. Demikian dikatakan oleh Ali A Mukti dalam tulisannya yang berujudl Pemberontakan Ahma Urabi dan Perjuangan Konstitusi di Mesir dan Gerakan Imam Mahdi di Sudan.

Meski begitu, Al-Mahdi pada akhirnya tetap melakukan perlawanan dengan gerakannya Al-Mahdiyah yang dilatar belakangi oleh kondisi Sudan yang pada pada saat itu memiliki ketergantungan sangat kuat pada Mesir.

Untuk diketahui, Sudan pada saat itu adalah bagian provinsi dari Kekaisaran Ottoman Turki yang berinduk di Mesir. Namun, Turki masih diperintah oleh kelas penguasa multirasial yang sama, termasuk Mesir. Baik dalam kekuasaan politik, pendidikan, dan gaya hidup, kehidupan para penguasa dianggap sangat kontras dengan keadaan rakyat Sudan saat itu.

Meskipun banyak alasan fundamental dalam melihat hubungan diagonal antara ras dan aspek politis, seperti keuntungan sebagai bangsa Arab dan mayoritas orang Sudan yang berasal dari ras kulit hitam Afrika, dan rata-rata orang Sudan yang kurang beruntung. Situasi tersebut tentu berbahaya secara politis, karena orang-orang yang merasa tidak puas datang dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari para pembayar pajak yang tertekan oleh ketidakadilan, kemudian seringnya pencambukan yang mereka alami ketika lambat dalam pembayaran. Perdagangan budak, jamaah yang saleh tersinggung oleh kehadiran orang Eropa non-Muslim sebagai gubernur provinsi dan kecanduan alkohol.  Para petani yang hidup di tepi sungai Nil dipaksa untuk menarik kapal-kapal pemerintah, anggota suku yang suka berperang, lelah dengan tahun-tahun panjang perdamaian yang ditegakkan, memanjakan untuk bertempur. Semua itu menjadi sebuah kesamaan dan tatanan yang mapan dalam melawan penjajahan.

Kehadiran Al-Mahdi kemudian mengubah ketidakpuasan tersebut menjadi gerakan solid yang kemudian menjadi kekuatan setara militer dan berpotensi mengalahkan tirani pada saat itu. Secara bertahap, selama tahun 1880 dan minggu-minggu pertama tahun 1881, Al-Mahdi meyakinkan para pengikutnya dan umat di Sudan bahwa kekuasaan Mesir telah berada pada fase kritis. Karena mereka telah mengabaikan ajaran Islam. Menurutnya, Khedive yang merupakan raja muda Mesir pada saat itu adalah boneka, dan tidak layak untuk memerintah Muslim. Doktrin teologis dan politis dari Al-Mahdi dan gerakannya kemudian eksis di antara pendukung-pendukungnya hingga terus bertambah, yang dikenal dengan istilah “orang-orang Ansar.”

Secara umum, gerakan Al-Mahdi berawal dari protes sosial yang meluas di kalangan penduduk Sudan terhadap kebijakan opresif penguasa Turco-Mesir. Ditambah adanya dukungan dari kepercayaan mesianis yang populer di antara berbagai sekte keagamaan Sudan saat itu. Al-Mahdipun memimpin perang melawan pemerintahan militer Ottoman-Mesir, dan mencapai kemenangan luar biasa atas Inggris dan kemudian menciptakan negara Islam yang luas membentang dari Laut Merah ke Afrika Tengah dan mendirikan sebuah gerakan yang tetap berpengaruh di Sudan.

Kemenangan puncak Al-Mahdi adalah penangkapan Khartoum yang terjadi pada 26 Januari 1885, setelah sebelumnya berhasil membunuh Mayor Jenderal Charles George Gordon yang melawan perintah al-Mahdi pada 2 Januari 1885. Sebelumnya, gerakan al-Mahdiyah juga berhasil menghancurkan 10.000 tentara Mesir yang berada di bawah kolonial Inggris tepatnya pada 5 November 1883.

Dan, setelah banyak warga Khartoum terbantai, Al-Mahdi masuk dengan penuh kemenangan ke kota yang dilanda perang dan memimpin shalat di masjid utama. Bahkan, dia juga membuat kelonggaran atas kelemahan militer Mesir, yang selama tahun-tahun penting 1881 dan 1882 dihancurkan oleh pemberontakan nasionalis Aḥmad ʿUrabi Pasha.

Gerakan Al-Mahdiyah sendiri merupakan gerakan keagamaan-politik untuk kebangkitan, dan reformasi Islam di akhir abad ke-19 dengan tujuan untuk memulihkan situasi Sudan saat itu agar kembali berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, dan teokrasi Islam yang berlaku pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Rupanya, hal tersebut berhasil dilakukan oleh gerakan Al-Mahdiyyah, bahkan mampu membuat sebuah negara Islam di Sudan dan sekitarnya.

Di masa ini, Al-Mahdi juga berusaha untuk menerapkan hukum Islam dalam praktek hukum negara Sudan. Hingga akhirnya, setelah Muhammad Ahmad meninggal pada 22 Juni 1885, kepemimpinan dipegang oleh wakilnya yaitu Abdallahi ibn Muhammad. Dia pun mengambil alih administrasi negara Mahdist yang baru lahir.

Setelah kematian Ahmad, Abdallahi memerintah sebagai Khalifah. Namun, Al-Mahdi telah menciptakan salah satu dari beberapa negara Afrika abad ke-19 untuk mengalahkan kekuatan kolonial asing, pemerintahan otokratis Khalifa, serta kekuatan militer Inggris.

Bagi masyarakat Sudan, Al-Mahdi adalah sosok yang dihormati, mempunyai banyak jasa dalam melawan penjajahan. Sehingga keturunan langsung Al-Mahdi yaitu Sadiq al-Mahdi, pernah dua kali menjadi perdana menteri Sudan (1966–1967 dan 1986–1989) dan menjalankan kebijakan demokratisasi sebagaimana dikatakan oleh Peter Malcolm Holt dalam The Mahdist State in The Sudan, 1881-1898.