Sejarah Awal Perkembangan Tasawuf di Wilayah Maghribi

Sejarah Awal Perkembangan Tasawuf di Wilayah Maghribi

Perkembangan tasawuf di wilayah Maghribi memiliki karakteristik yang berbeda dengan perkembangan di wilayah Jazirah Arab.

Sejarah Awal Perkembangan Tasawuf di Wilayah Maghribi
Ilustrasi seorang syekh sufi yang mengajari para muridnya.

Sejak berkembang dari praktek zuhud menjadi suatu tradisi keilmuan yang berdiri sendiri pada abad ke-3 hijriah, tasawuf terus berkembang dan menyebar ke berbagai penjuru seiring dengan perkembangan wilayah Islam. Tulisan ini akan membahas sejarah awal perkembangan tasawuf di wilayah Maghribi.

Istilah Maghribi merujuk kepada wilayah Afrika Utara bagian barat yang membentang dari Libya di timur hingga Maroko di barat, termasuk Aljazair dan Tunisia. Bagian selatan dibatasi oleh pegunungan Atlas, sedangkan bagian utara berbatasan dengan Laut Tengah.

Sebagai pengingat, dakwah Islam telah masuk ke wilayah Maghribi sejak masa Khalifah Utsman bin Affan, tepatnya di Tripoli, Libya. Satu pendapat mengatakan bahwa pendudukan Tripoli dilakukan sebagai upaya menjaga keamanan wilayah Islam di Mesir dari Bangsa Romawi (Byzantium). Wilayah Afrika Utara, sebelum kedatangan Islam, merupakan wilayah kekuasaan Romawi.

Kembali ke pembahasan sejarah awal perkembangan Tasawuf. Menurut Syekh Abdullah bin Abdul Qadir at-Tulaidi dalam al-Muthrib bi Masyahiri Awliya` al-Maghrib, perkembangan tasawuf di wilayah Maghrib dimulai sejak awal abad ke-5 hijriah. Pada saat itu, Maghribi berada di bawah kekuasaan Dinasti Murabithun.

Sebagaimana perkembangan Tasawuf di Jazirah Arab, perkembangan Tasawuf di wilayah Maghribi pada mulanya juga berbentuk praktek-praktek ibadah, zuhud, dan mujahadah. Praktek-praktek yang dijalankan tidak ada yang bertentangan dengan syariat. Karena itu, tidak dijumpai pertentangan antara para sufi dengan fuqaha` (ahli fikih).

Memasuki pertengahan abad ke-5, karya-karya Tasawuf mulai berdatangan dan menghiasi khazanah keilmuan Islam di wilayah Maghribi. Salah satu tokoh yang membawa karya Tasawuf tersebut adalah Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Sa’dun asal Tunisia, tepatnya setelah beliau pulang dari pengembaraan ilmu di Mekkah.

Namun, hubungan harmonis antara para sufi dan fuqaha` tidak bertahan lama. Puncaknya terjadi pada akhir abad ke-5, tepatnya ketika kitab Ihya` Ulumiddin karya Imam Abu Hamid al-Ghazali dilarang untuk disebarkan. Para fuqaha` mengeluarkan fatwa larangan membaca kitab tersebut, bahkan juga fatwa anjuran untuk membakarnya.

Di tengah kondisi seperti itu, ternyata ada seorang sufi yang masih bertahan pada pendiriannya untuk tetap mempelajari kitab Ihya`, beliau adalah Abu al-Fadhl bin an-Nahwi. Disebutkan bahwa beliau terus-menerus menyendiri demi bisa membaca kitab tersebut, khusunya pada bulan Ramadhan.

Abu al-Fadhl sendiri mengisahkan pengalamannya tersebut dengan mengatakan, “Aku menyukai fakta bahwa diriku tidak melihat sesuatu apapun sepanjang usiaku kecuali kitab ini.” Disebutkan pula bahwa beliau menuliskan ulang kitab itu hingga 30 juz.

Di antara tokoh-tokoh sufi pada masa awal perkembangannya di Maghribi adalah Syekh Abu al-‘Abbas bin al-‘Arif as-Shonhaji. Beliau hidup pada masa pemerintahan Yusuf bin Tasyfin dan penerusnya, Ali bin Yusuf. At-Tulaidi tidak menyebutkan tahun kelahiran Ibn al-’Arif, hanya tahun wafatnya yang disebutkan, yakni pada tahun 536 H. Menilik tahun wafatnya, dapat diperkirakan bahwa Ibn al-‘Arif hidup hampir se-zaman Imam Abu Hamid al-Ghazali yang wafat pada tahun 505 H.

Adapun tokoh sufi yang masyhur dari wilayah Maghribi adalah Imam Abu al-Hasan as-Syadzili. Beliau dilahirkan di sebuah daerah yang bernama Ghumaroh, tepatnya pada tahun 593 H (ada yang menyebut tahun 571 H, juga 573 H). Sedangkan tahun wafatnya adalah 656 H. Tarekat Syadziliyah, yang dinisbatkan kepada namanya, merupakan salah satu tarekat yang berkembang luas di Indonesia.

Demikianlah sejarah awal perkembangan Tasawuf di wilayah Maghribi. Menurut J.S. Trimingham dalam The Sufi Orders in Islam, Maghribi merupakan salah satu dari tiga pusat Tasawuf dilihat dari perkembangan tarekat. Dua lainnya adalah Mesopotamia dan Khurasan.

Trimingham menilai sufi yang berasal dari wilayah Maghribi tidak terlalu berkontribusi pada masa formatif Tasawuf, atau masa penyusunan ajaran-ajaran Tasawuf. Barulah sejak tarekat mulai berkembang, sufi dari wilayah ini berkontribusi lebih. Baik dengan mewariskan pemikiran maupun ajaran tarekat yang bertahan hingga sekarang. Perkembangannya juga terkait erat dengan perkembangan Tasawuf di wilayah Mesir. [NH]