Fenomena Pamer Isi ATM yang Telah Lama Dikritik Karl Marx dan Al-Quran

Fenomena Pamer Isi ATM yang Telah Lama Dikritik Karl Marx dan Al-Quran

Fenomena pamer isi ATM yang dilakukan oleh publik figure kita baru baru ini misalnya menjadi peneguhan atas warisan budaya masyarakat barat era Marx, yang bisa jadi lebih kotor dan amoral.

Fenomena Pamer Isi ATM yang Telah Lama Dikritik Karl Marx dan Al-Quran

Marx pernah begitu mendominasi dialektika pemikiran kritis di Barat. Teori kritisnya dikenal dengan nama Marxisme kritis atau Neo-Marxisme. Pandangan kritis Marx yang terangkum dalam magnum opusnya Das Kapital muncul sebagai bentuk kritik atas terjadinya konsentrasi modal di tangan kapitalis yang pada masa itu menyebabkan terjadinya cukup banyak efek domino turunan di rahim masyarakat seperti membengkaknya jumlah kaum proletar, penindasan yang terjadi di mana mana dan semakin melebarnya jurang antara pemilik modal dan kelas bawah.

Buah dari teori kritik Marx adalah lahirnya konsep fetisisme komoditi yang kemudian disusul dengan konsep rasionalisasi Weber. Tujuannya pada waktu itu adalah untuk membangkitkan keasadaran revolusioner emansipatoris di kalangan kaum proletar untuk menentang kaum borjuis.

Menariknya, Lukacs, pengagum Weber dan Marx mensintesiskan kedua konsep di atas dan mengembangkan konsep baru yang lebih segar yang ia sebut sebagai konsep reifikasi. Tak jauh dari dua pendahulunya, konsep reifikasi Lukacs hasil sintesa pemikiran Marx dan Weber ini adalah bentuk kritik lanjutan atas relasi yang terjadi antar manusia dimana dalam pandangan Lukacs hubungan manusia lebih tampak seperti hubungan antar benda.

Dalam pandangannya, manusia telah kehilangan sisi etika dan moral dalam bermanusia dan lebih mendasar lagi, telah kehilangan nilai-nilai dasar kemanusiaan mereka. Pandangan ini bukan tanpa alasan mengingat pada masa itu orang lebih mementingkan benefit atas relasi kemanusiaan yang mereka jalin ketimbang orientasi nilai atas konsep relasi antar manusia yang seutuhnya. Pendeknya, orang lebih tertarik menanyakan “benefit apa yang kita peroleh dari relasi ini” daripada menanyakan “bagaimana seharusnya kita menjalin relasi ini”.

Dalam dinamika masyarakat neo-modernisme yang disusul oleh gelombang revolusi digital dewasa ini, konsep reifikasi Lukacs di atas menarik untuk direvitalisasi, bukan pada tataran substansinya tetapi lebih pada konteks relevansinya. Sebagaimana kita amati bersama, setidaknya dalam kurun 5-7 tahun terakhir, perkembangan gadget dengan fitur andalannya foto ber-mega pixel tinggi dan didukung dengan berbagai platform media sosial yang tersedia dan menggelitik untuk selalu ditengok, dengan cepat telah merubah perilaku digital masyarakat.

Di satu sisi orang dengan mudah bisa memotret dan mengexplorasi objek apapun termasuk mengaktualisasi dirinya sendiri (self actualization) dan di saat yang sama media sosial juga memberikan ruang yang luas bagi pengguna untuk berelasi secara bebas dengan pengguna media sosial, di manapun berada, juga menyebarkan berbagai bentuk eksplorasi dan aktualisasi diri tersebut melalui akun medsosnya tanpa adanya filter berarti terhadap konten yang disebarkan.

Bisa dikatakan pergeseran tersebut sebagai disorientasi hubungan sosial masyarakat dari model relasi komunal yang lebih konservatif dalam hal jarak berubah menjadi relasi via media sosial yang lebih fluid dan cair dalam hal konten.

Maka, jika pada era Marx, Weber dan Lukacs, modal kapital menjadi penentu kelas seseorang, di samping juga menjadi otoritas objektif atas pengakuan dominasinya terhadap masyarakat kelas bawah, maka di era revolusi digital dewasa ini, modal kapital secara praktis digantikan oleh entitas yang lebih sederhana berupa jempol like, subscriber ataupun followers.

Artinya dalam konteks relasi media sosial, hubungan antar manusia tak bisa terlepas begitu saja dari tiga hal di atas, karena di samping sebagai salah satu penentu popularitas, di era media sosial ini tiga hal di atas juga menjadi salah satu indikasi pengakuan, public authority, dan bahkan pengaruh seseorang.

Sama seperti konsentrasi modal di tangan kapitalis era Marx yang berefek domino terhadap tatanan kelas sosial pada masyarakat, era digital ini juga memiliki residu turunan yang kurang lebih sama. Reifikasi relasi sosial antar masyarakat digital mengindikasikan bahwa pola relasi tersebut hanya sebatas pada hubungan benda dan hitungan semata. Intinya, apapun akan dilakukan oleh orang demi mengejar like, subscriber dan followers.

Expertise dan bahkan nilai kemanusiaan sekalipun di era digital dan media sosial ini sulit mengemuka tanpa ketiga makhluk di atas. Bahkan jika untuk mendapatkannya harus membuat konten video visual tipu, meme receh dan bahkan prank yang kelewat batas yang selain meninggalkan ekses negatif juga menjejali ‘dinding’ media sosial kita.

Meskipun harus jujur kita akui, banyak sisi positif media sosial misalnya sebagai sarana memberlakukan e-governence yang transparan, memobilisasi dukungan atau petisi online, melakukan creative assembling untuk pengembangan bisnis dan lain sebagainya, namun tak bisa terbantahkan pula, dugaan komersialisasi pada setiap isu digital akan selalu mengemuka.

Fenomena pamer isi ATM yang dilakukan oleh publik figure kita baru baru ini misalnya menjadi peneguhan atas warisan budaya masyarakat barat era Marx, Weber dan Lukacs dalam bentuk peradaban baru yang packagingnya lebih modern tetapi faktanya bisa jadi lebih kotor dan amoral. Mulai dari potongan capture dan caption di medsos yang tak sesuai fakta aslinya misalnya, atau unggahan video dan gambar settingan yang membuat gaduh publik sampai kasus rumah tangga yang bersifat private menjadi konsumsi publik.

Sebenarnya Al-Qur’an secara mendasar telah meletakkan dasar penting dalam konteks kehidupan relasional antar manusia. Yang paling sederhana dan familier di telinga kita misalnya dalam surat ad-dhuha ayat 11 (dan terhadap nikmat tuhanmu maka ceritakanlah).

Melalui surat ini Tuhan berfirman agar manusia menceritakan ni’mat yang telah diperolehnya. Thahir ibn ‘Atsur dalam tafsirnya at-Tahrir wat-tanwiir berpendapat bahwasannya diksi fahaddits (kabarkanlah) dalam ayat ini adalah peringatan keras dari Tuhan agar mengabarkan nikmat-Nya untuk tujuan mensyukurinya.

Celakanya sebagian orang secara serampangan menjadikan ayat ini sebagai legitimasi teologis religius atas kegiatan media sosialnya yang bisa kita perhatikan bersama, hal tersebut akhir akhir ini sudah pada taraf menggejala dan mewabahi semua lapisan masyarakat. Meskipun dalam hierarkhi psikologis Maslow hal tersebut merupakan bentuk aktualisasi diri, namun jika sudah bergeser pada bentuk kapitalisasi dan komerdialisasi digital, apa bedanya dengan objek kritik Marx, Weber dan Lukacs.

 

Penulis adalah dosen di IAIN Ponorogo dan peneliti di Lingkar Studi Islam Nusantara (LISANUNA). Penulis meminati kajian seputar Filsafat dan Studi Islam.