Fatwa yang Anti Islam

Fatwa yang Anti Islam

Bagaimana jadinya sebuah fatwa justru kehilangan esensi Islam

Fatwa yang Anti Islam
Mengapa sih, sebagian umat islam kok sering merasa tertindas di negeri muslim terbesar di dunia ini? Apa ini sekadar perasaan saja? AP/Achmad Ibrahim

Pada 1992, sebuah fatwa murtad ulama al-Azhar, Mesir telah merenggut nyawa penulis buku al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Tersembunyi), Farag Fauda. Dalam pandangan mereka dan masyarakat muslim Mesir pendukungnya, murtad (keluar dari Islam). Itu berarti kafir. Orang kafir, halal dibunuh. Akibatnya, seorang lelaki penjual ikan yang mendengar fatwa itu, memberondong Farag hingga tewas, persis di depan kantornya.

Dalam buku yang banyak dikecam itu, Farag berkeyakinan Islam adalah agama, bukan negara. Ia juga pesimis jika syariat Islam bisa diwujudkan dalam sebuah negara. Sebab, keadilan bisa terwujud bukan lantaran penerapan syariat Islam. Keadilan terwujud jika norma dan nilai-nilai universal Islam disepakati dan dihormati seluruh masyarakat.

Karena itu, sarjana ekonomi pertanian yang pernah mengajar di Universitas Ain Shams ini dituduh anti syariat Islam dan melecehkan Sahabat Nabi. Ringkasnya, ia dituduh “melecehkan” Islam. Ya.. “melecehkan” Islam sebagaimana dipahami para ulama al-Azhar dan sebagian umat Islam Mesir saat itu.

Apakah Farag “melecehkan” Islam? Entahlah, saya agak bingung menjawabnya. Benarkah Farag melecehkan Islam ataukah hanya tidak setuju dengan pendapat para ulama al-Azhar tentang Islam? Yang saya tahu, Farag dituduh melecehkan Islam, lantas mati terbunuh.

Tapi saya berkeyakinan, semangat orang-orang seperti Farag tak bisa surut lantaran fatwa murtad. Pun sebaliknya, fatwa murtad tak akan redup dengan semangat orang-orang yang dianggap melecehkan Islam.

Pada 1898, Qasim Amin, penulis  buku Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) divonis murtad dan Zindiq (orang yang berpandangan serba boleh dalam agama).  Bahkan, para ulama al-Azhar melarangnya memasuki istana al-Khuwaidi dan Istana Abidin (istana presiden Mesir) yang memang boleh dimasuki siapa saja.

Demikian juga dengan Thaha Husein (1926), Najib Mahfudz (1956), atau Nasr Hamid Abu Zaid (1996). Meski tak seberat yang dialami Farag, bagi orang-orang ini setidaknya fatwa sama saja dengan kematian. Sebab, fatwa telah mematikan kebebasan mereka untuk berbeda dalam memahami Islam. Tapi mungkin tidak, bagi yang setuju dengan adanya fatwa. Fatwa murtad adalah perlambang cahaya kehidupan Islam.

Jadi, mana yang benar? Sekali lagi, entahlah. Mungkin, hanya Allah yang tahu. Sebab hanya itu yang saya tahu. Saya hanya tahu, al-Qur’an sekedar mengatakan: kebenaran itu datang dari Tuhan (al-haq min rabbikum). Sementara sebuah Hadis cuma mengabari saya: fatwa semestinya diputuskan secara hati-hati dan tanpa gegabah. Bi annaka lâ tadrî atushîba hukma allah fîhim am la (Karena Anda tidak tahu apakah Anda benar-benar menghukumi mereka dengan hukum Allah atau tidak dalam urusan tersebut?)

Jadi, Atuzillahum ‘ala hukmika wahukmi ashhabika (Katakanlah bahwa kamu menghukumi mereka dengan hukum Anda dan hukum-hukum sahabat Anda). Begitulah bunyi Hadis, seperti  dikutip Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w.157 H), dalam kitab I’lâm al-Muwaqqi’în, Juz 3-4, ketika ia tengah merinci adab-adab seorang mufti.

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Syir’ah 57 dan diterbitkan ulang atas persetujuan penulis