Perbedaan (Ulama tentang Corona) adalah Rahmat? Nanti Dulu..

Perbedaan (Ulama tentang Corona) adalah Rahmat? Nanti Dulu..

Unsur “rahmat” di dalam ikhtilaf ulama ini sudah batal demi fakta bahwa wabah Corona sudah merenggut banyak korban jiwa.

Perbedaan (Ulama tentang Corona) adalah Rahmat? Nanti Dulu..

Hemat saya, demi kemanusiaan, para ulama selazimnya tidak ada ikhtilaf soal Corona. Saya mendukung cara pandang habib muda asal Abu Dhabi, Ali Zainal Abidin Al-Jufri, yang cara pandang itu dibuatnya menjadi judul magnum opus beliau: الإنسانية قبل التدين yakni “Kemanusiaan di atas ke(ber)agamaan.” (Anda bisa mengunduh buku beliau di tautan ini).

Sejurus kemudian, di dalam benak saya, saya ditarik pada kaidah fikih yang populer:

إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“Ketika halal-haram bercampur, maka sisi haramnya lebih diprioritaskan.”

Setamsil dengan kasus faktual Jumat kemarin: ibadah Jumat itu halal (wajib), sementara mati konyol karena nekat (dan potensi menjadi carrier Corona sebab berada dalam kerumunan acak yang tidak ketat SOP medis) itu haram.

Maka sudah benar ketika pemerintah mengambil langkah penanggulangan untuk mengalpakan seluruh kerumunan, hingga yang berhubungan dengan peribadatan semua agama (baik itu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Yang berhubungan dengan agama saja dialpakan, apalagi yang maksiat? Jauh lebih dialpakan, bukan?!!

Tidak usah jauh-jauh ke konspirasi global COVID-19 adalah upaya menjauhkan umat Muslim dari Islam, atau masjid dan musala. Tanpa ada COVID-19, pun, kalau dia orang fasik, ya, tetap malas beribadah.

Kawan saya, sekaligus mentor videografi/filmografi, yaitu Mas Goen (Anggun Adi), tadi pagi mengabarkan pamannya yang berstatus PDP COVID-19 meninggal dunia

Sekali lagi: meninggal dalam status PDP (Pasien Dalam Pengawasan), belum sampai positif Corona.

Seminggu silam, ada pula PDP yang sudah 9 hari di RS Kariadi Semarang, kemudian tepat di hari ke-10 diketahui positif Corona, dan selang beberapa jam pasien tersebut meninggal dunia.

Jadi, saya sangat menyayangkan jika atas dasar “perbedaan ulama adalah rahmat (اختلاف أمتي رحمة)” terdapat ulama yang memiliki pendapat yang mengandung bahaya di dalam urusan Corona (tidak berangkat pada manajemen risiko yang matang [apalagi berdasarkan zhann dan wasangka]). Sebab, unsur “rahmat” di dalam ikhtilaf ulama ini sudah batal demi fakta Corona sejak Januari hingga Maret 2020 kini.

Sekitar 1 dari setiap 6 orang yang terinfeksi COVID-19 sakit parah dan mengalami kesulitan bernapas. Ini artinya, ada 5 orang di antaranya yang tidak mengalami gejala tersebut (bahkan merasa dirinya sehat & tidak sakit apa-apa).

Sekitar 8 dari 10 orang yang terinfeksi COVID-19 tidak merasakan adanya gejala-gejala signifikan. Ini artinya, HANYA 2 orang di antaranya yang merasakan dampak infeksi COVID-19, dan 8 orang di antaranya merasa dirinya sehat dan, sekali lagi, tidak sakit apa-apa.

Memang benar 80% orang yang terinfeksi COVID-19 bisa pulih dengan sendirinya, disebab ketahanan tubuhnya yang bagus. Namun COVID-19 masih bisa bertahan di tubuhnya sampai lima hari dan bisa beredar kemana-mana tergantung seberapa jauh dia keluyuran selama lima hari itu.

Orang yang sudah terinfeksi COVID-19 dan pulih tidak berarti 100% dirinya kebal dari Corona. Tubuhnya secara alamiah bisa mengingat cara mengatasi COVID-19, tapi sistem kekebalan ini tidak berlangsung selamanya atau efisien 100%, serta dapat menurun dengan berjalannya waktu.

Intinya, Islam tidak menghalalkan praktik peruntungan atau judi. Apalagi perjudian yang melibatkan nyawa orang banyak. Bahkan orang yang sehat & kebal sekalipun bisa menyebarkan Corona, meski dia kebal & tidak bisa dibunuh Corona.

Orang-orang ini diistilahkan dengan “Carrier (pembawa)”; COVID-19 bisa menempel di tubuhnya, dan entah itu berada di mana. Bisa di pakaian atau alat-alat yang sudah dia sentuh.

Dalam kaidah fikih, kita juga sangat mengetahui bahwa:

للوسائل حكم المقاصد
Hukum bagi perantara (dalam konteks ini adalah carrier COVID-19) adalah maqshud (baca: COVID-19) itu sendiri.”

Maka atas dasar kemanusiaan, mohon maaf, memang saya tidak menyepakati pendapat ulama yang mengandung risiko. Dan menurut saya, memang tidak harus ada ikhtilaf dalam kasus ini.

Belum ada rapid test sampai ke kita, sehingga kita tidak tahu sejauh mana tubuh kita terinfeksi COVID-19, dan berapa persen potensi penyebaran COVID-19 oleh diri kita. Begitupun klasifikasi zona merah dan kuning masih tergolong bias karena belum ada tes massal.

Terakhir, saya hendak mengutip maqalah Syaikh Ibn Al-Qayyim:

فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد، وهي عدل كلها، ورحمة كلها، ومصالح كلها، وحكمة كلها; فكل مسألة خرجت عن العدل إلى الجور، وعن الرحمة إلى ضدها، وعن المصلحة إلى المفسدة، وعن الحكمة إلى البعث; فليست من الشريعة وإن أدخلت فيها بالتأويل; فالشريعة عدل الله بين عباده، ورحمته بين خلقه، وظله في أرضه، وحكمته الدالة عليه وعلى صدق رسوله صلى الله عليه وسلم أتم دلالة وأصدقها، وهي نوره الذي به أبصر المبصرون، وهداه الذي به اهتدى المهتدون، وشفاؤه التام الذي به دواء كل عليل

“Sesungguhnya, pondasi dan saka syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahan manusia baik di dunia dan akhirat…. Setiap perkara yang menggeser keadilan menjadi kebrengsekan, kasih sayang menjadi kebencian, kemasalahan menjadi kerusakan, maka dia bukanlah syariat…”

Melihat data COVID-19 seluruh dunia, semakin hari, orang yang mati terus bertambah. Dan soal kemasalahan, sebaiknya perhatian fikih berfokus pada kematian (bukan pada statistik yang kebal).

Baca juga: Brutalnya Netizen Menafsir Al-Quran dengan Cocoklogi Virus Corona