Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Apa dan Bagaimana?

Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Apa dan Bagaimana?

Bagaimana Gus Dur melihat eksistensi hukum islam di Indonesia?

Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Apa dan Bagaimana?
Hukum Cambuk yang diterapkan di Aceh sebagai salah satu bagian dari Formalisasi Islam

Hukum Islam dikenal dengan nama fiqh (secara bahasa berarti: memahami) sering juga disebut syari’ah (maknanya: hasil perbuatan). Penamaan dengan istilah Fiqih ini menunjukkan totalitas luas-lingkupnya kehidupan, sehingga penerapannya dalam segenap aspek kehidupan itu, harus dianggap sebagai upaya pemahaman terhadap hukum islam itu sendiri.

Untuk itu, apa yang secara sederhana disebut sebagai dengan “hukum Islam”, sebenarnya lebih tepat dinamai sebagai tata kehidupan dalam Islam. Menurut Gus Dur, karena kedudukannya yang sedemikian memusat, hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi ia menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud.

Secara kedudukan, hukum Islam berasal dari Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama. Posisi ini mengharuskan  masyarakat yang menganut agama tersebut untuk tunduk patuh terhadap peraturan dan tata-cara yang terdapat dalam sumber utamanya.

Hukum Islam, selain berisikan tentang tata cara ritual keagamaan, juga meliputi tata cara berkehidupan sosial dan berperilaku. Tapi, semua itu terlihat seperti proyeksi teoritis belaka.

Di mas perkembangan selanjutnya, hukum Islam hadir berbentuk ijma’ dan qiyas sebagai cara ulama dan para penentu kebijakan serta sandaran para penganut agamanya agar tetap patuh. Namun, lagi-lagi hal tersebut dianggap tidak dapat menampung permasalahan yang sedemikian kompleks, meskipun hukum Islam itu sendiri telah ditopang dengan kehadiran ushul fiqh sebagai tata-cara penyelesaian terhadap problematika syariah.

Di Indonesia sendiri, selain sebagai pencipta tata-nilai yang mengatur kehidupan para pemeluknya, peran hukum Islam di masyarakat dikerucutkan pada lini hukum privat. Mulanya hukum Islam hadir dengan aturan keperdataan tentang perkawinan dan warisan. Setelah  keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maka memperjelas posisi hukum Islam pada hukum nasional. Pasal 4 ayat 2 UU tersebut  dikatakan bahwa : Kekuasan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (1) Peradilan Umum, (2) Peradilan Agama,dan (3)Peradilan Militer. Kemudian disusul dengan hadirnya UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada UU Peradilan Agama dikatakan bahwa Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) Perkawinan; (b) Waris; (c) Wasiat; (d) Hibah; (e) Wakaf; (f) Zakat; (g) Infaq; dan (h) Shadaqah.

Dengan adanya perluasan fungsi dan dilembagakannya zakat,infaq, shadaqah, wakaf, dan hibah (lembaga ziswaf) di masyarakat telah menjadikan peranan hukum Islam cukup besar dalam kehidupan berbangsa. Namun disayangkan peranan tersebut dianggap masih bersifat statis. Fungsi kelembagaan ini dipandang hanya untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam.

Begitu pula ketika hadirnya UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan  bahwa wewenang  Peradilan Agama  juga meliputi  penyelenggaraan perkara-perkara ekonomi syari’ah. Unsur riba pada bank konvensional yang dipandang tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an serta kaidah yang menyatakan bahwa “Menghilangkan kemudharatan (misalnya, dalam hal ini bunga bank) itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan” diharapkan dapat menggempur kekeliruan umat Islam selama ini terhadap bunga bank.

Meskipun kehadiran undang-undang ini disambut baik oleh  umat Islam Indonesia dan juga dianggap berperan  sebagai  alat penahan  lajunya proses sekulerisasi kehidupan , tapi UU ini dapat pula dicurigai sebagai upaya syari’atisasi  yang memisahkan jurang antara umat muslim dan non-muslim. Bahkan bagi masyarakat muslim sendiripun yang tidak menggunakan produk syari’ah (dalam perkembangannya sekarang ini lembaga keuangan syariah, travel syariah,hotel syari’ah, dan segala jenis yang berlabel syariah) terkesan diragukan kesyari’ahannya.

Namun di sisi lain, pada praktiknya tidak dapat dipungkiri pula bahwa hukum islam yang mengatur dalam bidang ekonomi syariah, khususnya perbankan Syariah telah  menyentuh pangsa pasar 5.3% terhadap seluruh aset perbankan nasional. Belum lagi pada aset Lembaga keuangan dan produk syari’ah lainnya.

Dengan keadaan sedemikian kompleks, agar menjadi lebih ideal, untuk itu, menurut Gusdur cara memperoleh relevansi hukum Islam harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya. Watak dinamis ini hanya dapat dimiliki, jika hukum Islam meletakkan titik erat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa Indonesia seutuhnya dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi di masa kini.