Cerita Kami Bertahan dan Menghadapi Pandemi di Kampung Inggris Pare

Cerita Kami Bertahan dan Menghadapi Pandemi di Kampung Inggris Pare

Ini ceritaku yang hidup di kota kecil di Pare dan mengajar bahasa Inggris. Cerita sederhana bagaimana kami bertahan di tangah pandemi yang tidak pasti

Cerita Kami Bertahan dan Menghadapi Pandemi di Kampung Inggris Pare

Kampung  Inggris sudah mulai aktif banyak lembaga yang buka dengan embel-embel “menerapkan protokol kesehatan”, roda perekonomian sudah normal kembali walaupun tidak seperti dulu.

Sebagai seorang tutor di salah satu lembaga Kampung Inggris Pare, membuat saya selalu bertemu orang baru dari berbagai macam daerah setiap dua  minggu. Kadang pertemuan tersebut menimbulkan keresahan. Lah gimana tidak resah, setiap orang dihimbau untuk menghindari kerumuman atau membatasi interaksi, sedangkan saya selalu menghadiri pertemuan untuk mengajar. Lantas bagaimana perasaan dan pengalaman menjalani aktivitas new normal di tengah pasien virus corona yang terus bertambah?

Sejak kasus pertama di Indonesia diumumkan awal Maret 2020, Jumlah kasus terkonfirmasi positif corona virus COVID-19 bertambah 9.640 kasus pada Minggu (11/1/2021). Total positif menjadi  828.026, sembuh 681.024. Total kematian akibat penyakit ini terus bermunculan, hingga pada saat ini menembus angka  24.129 orang. Yah, mereka bukan hanya sekedar data statistik, tapi lebih dari itu.

******

Pagi itu suasana kelas tampak sepi, beberapa  yang hadir mengatakan bahwa banyak yang flu, demam, dan sakit tenggorokan. Pikiran saya sudah melayang kemana-mana, karena beberapa yang sakit berasal dari camp saya. Hampir 24 jam/hari selalu bertemu mereka di camp atau di kelas. Di sela-sela mengajar, tiba-tiba suara saya menjadi parau. Buru-buru saya kenakan masker yang selalu saya buka ketika sedang mengajar. Angel wis angel (susah pokoknya), mengajar sambil mengenakan masker, selain susah mengambil nafas, wajah gobyos keringat, luur.

Kurang lebih sudah 5 hari saya batuk, demam, dan merasa kelelahan, pun pada hari yang sama belum ada tanda yang akan segera pulih. Malam hari saya gelisah, tidak bisa tidur, dan menghubungi teman-teman dekat untuk menanyakan rapid test antigen. Panik memang menghambat kemampuan berpikir logis lalu mendorong tindakan secara spontan. Contohnya saja, di tengah pandemi seperti sekarang,  flu, atau demam sudah parno terpapar corona dan buru-buru ingin rapid. Padahal untuk mengetahui corona atau tidak harus dilakukan pemeriksaan fisik, setelah itu jika dibutuhkan akan diperiksa laboraturium berdasarkan pertimbangan.

****

Pandemi membuat kita saling menjaga dan mengkhawatirkan satu sama lain. Kebiasan yang saya dan teman-teman lakukan adalah menanyakan kabar, dan mengupdate kabar virus corona. Setalah sakit saya mendapat banyak pesan untuk tetap waspada, salah satu yang selalu diingat adalah “Jangan pernah punya persepsi bahwa temanmu itu baik-baik saja. Itu bahaya.”

Jadi sebelum sakit akibat kelelahan dan cuaca buruk, saya tidak pernah menggunakan masker jika bertemu dengan orang yang saya anggap sehat. Padahal bisa jadi yang terlihat baik-baik saja justru dapat menularkan virus, apabila jika tidak dicegahnya dengan menggunakan masker. Wong batuk biasa saja ketika salah satunya tidak menggunakan masker, bisa ikut tertular.

Pesan lain yang tak kalah penting adalah “Jangan hanya menggunakan masker saat naik sepeda atau dalam perjalanan saja. Yang paling penting adalah saat bertemu banyak orang.”

New normal membuat orang diwajibkan bermasker, ya memang bermasker sih, tapi bukan berarti kewajiban itu hanya saat perjalanan atau bersepeda saja. Lah justru kalau bersepada jarang berkontak dengan orang, yang lebih penting saat jumpa atau mengobrol. Itulah gambaran dunia permaskeran di Pare, saya pikir aturan-aturan yang diterapkan di Pare sudah bagus, seperti jam malam, kartu tanda siswa Kampung Inggris, masuk Kampung Inggris harus rapid tes. Namun apakah aturan tersebut sejalan dengan kesadaran kita untuk menerapkan protokol kesehatan?

Jika mencintai adalah kata kerja, maka perlu adanya suatu tindakan, salah satu yang dapat dilakukan pada saat pandemi adalah berbaik hati pada diri sendiri dan orang lain seperti yang disampaikan World Health Organization (WHO).

Kalau konteks pembicaraannya di Kampung Inggris Pare berbaik hatinya bukan hanya bermasker saat bersepeda namun saat bertemu orang-orang di sekitar. Untuk mengurangi perasaan was-was, gelisah, takut olahraga dan tetap terhubung dengan orang terdekat adalah solusi yang tepat.

*Artikel ini hasil kerja sama Islami.co dengan Yayasan Paramadina Guyub-UNDP*