“Kegiatan ini kami desain dalam kombinasi ibadah dan tur,” kata lelaki paruh baya yang menjadi ketua pelaksana program ini. Ia bicara di depan 250-an peserta umrah dari sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.
Ketika pejabat di Kementerian Urusan Islam dan Dakwah Arab Saudi ini memulai pidato sambutan, gunung-gunung di Taif sudah tak kelihatan. Udara dingin mulai turun.
Acara malam itu digelar di Taifsama, sebuah lokasi rekreasi di punggung gunung Taif. Dibuka pertama kali oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada 2000 dan terus berbenah hingga sekarang. Tempat saya duduk berada di lokasi kolam renang, dekat sebuah gedung pertemuan dan pintu masuk.
Bergerak ke atas, pengunjung akan menemui ruang loket yang akan menjajakan berbagai fasilitas. Telefric atau kereta gantung salah satunya.
Di papan pengumuman, harga permainan itu dipatok 100 riyal, sekitar Rp 400 ribu. Toboggan, mobil-mobilan berel, seharga 46 riyal atau Rp 148 ribu. Seluruh fasilitas itu digratiskan untuk para peserta Undangan Umrah Raja Salman.
Saya mencoba telefric yang bisa mengangkut 6-7 orang. Menuju pucuk gunung tertinggi, kaki saya mulai gemetar.
Saya agak takut ketinggian. Saya lihat jalan berkelok-kelok, bebatuan, pohon-pohon pendek yang menempel di badan-badan gunung, dan villa-villa. Ini kawasan wisata di Mekkah seperti Puncak Bogor.
Di pucuk gunung, Telefric berhenti. Orang-orang mengantri. Penumpang yang bersama saya keluar.
Saya mengikutinya. Tapi, petugas yang berjaga meminta saya kembali turun ke tempat semula. Ia mengenali saya sebagai salah seorang peserta program dari kartu identitas yang saya kalungi di leher.
Saya tak sempat menikmati Toboggan yang akan merayap di rel yang menempel di punggung gunung. Hari menjelang Magrib.
Kami tiba di Taifsama melewati Padang Arafah dan Jabal Rahmah. Tujuh bus yang berjalan beriringan berhenti sejenak untuk menikmati dua tempat bersejarah itu. Karena tak sedang musim haji, Padang Arafah kesepian.
Sejauh mata memandang hanya ada tenda-tenda putih tak berpenghuni. Ada papan bertuliskan batas Padang Arafah di beberapa tempat. “Orang sering tidak perhatikan batas Padang Arafah. Makanya Pemerintah Saudi membuat papan pengumuman,” kata pendamping kami. Sebelumnya kami juga melewati Universitas Ummul Qura.
Acara yang disebut malam kebudayaan itu, diisi sejumlah testimoni dari sejumlah negara: Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Taiwan, dan Kamboja.
Umumnya mereka mengucapkan terima kasih atas penyelenggaraan ini. Dimana-mana tamu yang diundang dan difasilitasi memang sudah seharusnya berterima kasih. Pantas-pantasnya begitu.
Acara malam itu ditutup dengan makan malam bersama di ruang besar dekat acara. Saya dan sejumlah teman duduk di meja bulat berbalut kain putih. Usai makan beberapa meninggalkan meja. Tersisa kursi-kursi kosong yang belakangan diisi panitia. Mereka makan sambil bercakap dengan bahasa ibu mereka.
Saya memberanikan diri bertanya pada seorang disamping kanan berbasa-basi. Di mana ia tinggal, siapa pemilik lokasi ini raja atau perusahaan umum, dari mana air bersih di lokasi ini didapat.
Dengan bahasa Arab yang masih diingat, saya mencoba saja sebisanya. Mencoba tak ada salahnya bukan?
Peserta Indonesia lain berinisiasi mengambil gambar bersama saat kami makan. Lalu kami berfoto bersama sebelum pulang.
Makkah, 28 November 2024