Umat Islam dari dulu selalu diuji dalam urusan politik untuk mendapatkan kekuasaan, serta semua mengeklaim paling pantas dan paling berhak dalam menduduki jabatan seorang pemimpin. Ketika Nabi Muhammad meninggal dunia, sahabat anshor berkumpul di Bani Saidah untuk membai’at Saad bin Ubadah.
Mendengar kabar ini, Abu Bakar dan Umar bin Khattab langsung mendatangi tempat itu, untuk menjaga persatuan antara sahabat Anshor dan Muhajirin, walau di sana terjadi debat kusir yang sangat sengit tentang siapa yang berhak menjadi pemimpin Negara Pasca wafatnya Nabi Muhammad. Akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah.
Pada hakikatnya, di dalam diri manusia sudah terbiasa berpolitik, ia selalu berusaha mengatur siasat, adu strategi dalam menghadapi pengaruh Nafsu, godaan Syaitan, maupun bisikan dari luar, maka Akal manusia sebagai penentu kemenangan atau kekalahan yang ia akan rasakan. Bila Nafsunya kalah, maka ia akan menang, serta akan beruntung dunia sampai akhirat. Hal itu gambaran kecil dalam dirinya sebagai individu bagian dari masyarakat, yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Sering terjadi perselisihan, pertengkaran bahkan kerusuhan di masyarakat, disebabkan gara-gara beda pilihan, beda partai, beda golongan, bahkan saling bunuh-membunuh akibat imbas uforia politik musiman, yang sangat diuntungkan adalah para elite politik, ketika terpilih menjadi pemimpin, atau anggota Dewan , mereka tidak akan ingat akan para pendukungnya.
Maka yang sangat dirugikan adalah para pendukung ditingkatan bawah, banyak dari mereka menjadi renggang dalam hubungan keluarga, dengan tetangga, bahkan kepada orang yang mereka sayangi, dan hormati menjadi kurang harmonis lagi. Padahal Allah menjadikan manusia, ada yang laki-laki dan perempuan untuk saling kenal mengenal agar terjalin dalam satu ikatan persaudaraan, maupun hubungan sesama manusia. Hal ini sesuai dengan penjelasan Al Qur’an yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dalam ayat ini Allah memberi kabar kepada manusia bahwa dirinya berasal dari Nabi Adam, kemudian Allah menciptakan pasangannya, yang dari mereka tercipta bangsa-bangsa dan berbagai suku, tak ada yang perlu dibanggakan secara materi, yang dilihat Allah hanya ketakwaan sesorang, yaitu berupa ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.
Sedangkan menurut Imam al-Razi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa tujuan dari saling kenal mengenal adalah agar saling membantu antar sesama manusia, bukan untuk berbangga dengan nasab, atau untuk permusuhan.
Dari penjelasan diatas, terdapat anjuran untuk saling menyapa, kenal-mengenal agar terjadi hubungan yang harmonis, serta menjauhkan keretakan disebabkan perbedaan dalam urusan politik, atau kepentingan sesaat, yang memicu konflik horisontal, bahkan seringkali nyawa pun melayang.
Maka dari itu, manusia jangan sampai merasa paling benar, lebih baik dari orang lain, atau merasa paling hebat sehingga menghalalkan segala cara demi memuaskan ambisi pribadinya dengan mengorbankan banyak orang yang tak berdosa, serta mereka akan merasakan nestapa yang berkepanjangan.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan agar manusia jangan sampai membenci seseorang dengan dasar hawa nafsu sesaat, tetapi harus dilihat dari perilakunya, sesuai dengan ajaran Agama atau tidak, sehingga manusia tak mudah ditumpangi kepentingan sesaat.