Cadar Bukan Agama, Perlu Sikap Jernih untuk Menyikapinya

Cadar Bukan Agama, Perlu Sikap Jernih untuk Menyikapinya

Cadar boleh saja, tapi yang lebih penting tidak mematikan akal sehat

Cadar Bukan Agama, Perlu Sikap Jernih untuk Menyikapinya

Ketika Rektor UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan surat pembinaan untuk mahasiswi bercadar, respon warganet sangat luar biasa. Apalagi setelah dipelintir sedemikian rupa oleh salah satu media nasional.

Perdebatan berkisar dua hal: bercadar sebagai ketaatan terhadap ajaran agama dan hak asasi menjalankan agama.

Saya ingin melihatnya secara antropologis-sosiologis saja, agar perdebatannya menjadi lebih berwarna dan tidak emosional.

Pakaian, pada awalnya, adalah kreativitas untuk menyikapi problem alam yg dihadapi oleh individu atau komunitas. Mereka menciptakan pakaian sebagai respon atas kondisi alam. Oleh karenanya, bentuk-bentuk pakaian beragam, sesuai kondisi alam yg dihadapi masing-masing individu atau kelompok.

Mereka yg hidup dengan empat musim tentu akan memiliki 4 model pakaian: musim panas, dingin, semi, dan gugur. Jika musim dingin misalnya, pakaian yg diciptakan tidak hanya menutup seluruh tubuh, tapi juga sangat ketat sehingga tidak ada angin yg bisa masuk.

Pengalaman di Belanda, saya sempat mimisian karena “sok pede” tidak menutup hidung” pada suhu dibawah minus 4 derajat.Pun demikian mereka yang hidup di gurun pasir, akan menciptakan dan memiliki model pakaian khas gurun pasir, seperti jubah dengan cadarnya.

Jubah merupakan pakaian yg dibuat sebagai respon atas cuaca panas yg kering sehingga pakaian longgar akan sangat menolong. Sedangkan cadar digunakan untuk melindungi hidung dari butiran pasir yang dibawa angin, khususnya ketika bepergian menaiki onta dan kuda.

Cadar bukan hanya untuk untuk perempuan, tapi juga untuk laki-laki.

Dalam perkembangannya, pakaian menjadi identitas kelompok, etnis, agama, dan politik. _Dan bahkan menjadi alat penguasaan laki-laki terhadap tubuh perempuan_

Celakanya, ketika pakaian yg merupakan kreativitas sebuah masyarakat dengan konteks tertentu dibawa ke konteks yang berbeda sehingga menimbulkan reduksi dan perkembangan makna yang bisa saja malampaui fungsi awal penciptaannya.

Jubah misalnya, yang di daerah asalnya merupakan pakaian sehari-hari yg digunakan ke pasar, menonton, bekerja bangunan (sebagaimana saya saksikan di mekkah dan madinah), dan lain-lain, ketika tiba di indonesia dinaik kalaskan menjadi simbol kesalehan.

Padahal, indonesia sendiri memiliki model pakaian yang tidak saja jauh lebih indah dari pada pakai impor terebut, tetapi juga lebih fungsional.

Bayangkan saja jika Anda mengolah sawah sambil berjubah dan bercadar?

Hal tersebut terjadi karena realitas, pengalaman, dan norma-norma yang pada awalnya hal yang profan ditafsirkan secara agamis (Waardenburg, 1986). Tentu saja tidak masalah selama tidak mematikan akal sehat.