Cadar, Antara Identitas dan Stigma

Cadar, Antara Identitas dan Stigma

Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, penerimaan terhadap jilbab dan cadar membutuhkan proses yang panjang. Mengingat bahwa keduanya bukan budaya Indonesia.

Cadar, Antara Identitas dan Stigma

Sejarah telah menyimpan begitu banyak catatan tentang diskriminasi jilbab di berbagai pelosok dunia. Terlebih di Barat, jilbab seolah menjadi moster mengerikan yang harus dienyahkan dari kehidupan sosial, budaya atau pun politik. Sehingga tak heran, pembatasan dan pelarangan terhadap jilbab dituangkan dalam ranah peraturan perundang – undangan negara.

Peraturan yang melarang pemakaian burqa secara nasional di seluruh wilayah  Belanda, ditetapkan pada Desember 2006. Mulai Juni 2006, larangan pemakaian jilbab juga mulai meluas hingga di Jerman, 8 dari 16 negara bagian di negeri itu menerapkan larangan pemakaian jilbab di sekolah – sekolah umum Jerman. Bahkan, larangan terhadap penggunaan busana yang memuliakan kaum muslimah tidak hanya terjadi dinegara – negara Barat saja. Republik Tunisia, sebuah negara Arab  Muslim yang terletak di Afrika Utara juga melarang hal itu.

Indonesia sendiri termasuk salah satu negara muslim terbesar di dunia, namun fenomena berjilbab dan bercadar baru mulai mendapatkan perhatian masyarakat beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah orde baru yang sempat melakukan pelarangan menggunakan jilbab di sekolah maupun di ruang kerja. Pasca reformasi, jilbab mulai mendapatkan kebebasannya sebagai identitas perempuan muslim, meskipun masih ada kontroversi mengenai pemaknaan penggunaan jilbab.

Cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab. Pengguna cadar menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata mereka saja, bahkan telapak tangan pun harus ditutupi. Dalam studi Tafsir, dalil-dalil yang mengatur wajib atau tidaknya menggunakan cadar masih diperdebatkan.

Namun satu hal yang pasti, penggunaan cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar daripada menggunakan hijab. Hal ini karena persoalan stigma yang dilekatkan pada perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental (ekstrim kanan) yang erat kaitannya dengan terorisme.

Dari perkembangan budaya, jilbab memiliki potensi diterima oleh sebagian masyarakat. Sayangnya tidak demikian dengan penggunaan cadar. Apalagi pasca aksi terorisme, perempuan bercadar memiliki keterbatasan baru, artinya perempuan bercadar mengalami diskriminasi ganda.

Telah lama perempuan berkutat pada permasalahan posisi sosial berhadapan dengan laki-laki. Perempuan dalam banyak penelitian selalu menjadi kaum subordinat, baik dengan atau tanpa kesadaran. Eksistensi perempuan merupakan justifikasi minimal dari penjajahan kultural seumur hidup oleh kapitalisme-patriarki. Perempuan seolah ditakdirkan untuk dijajah, dimarjinalisasi dan didiskriminasi, hanya karena dia seorang perempuan.

Penggunaan jilbab dan cadar dianggap budaya Arab yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan iklim tropis. Penggunaan jilbab dan cadar dilihat sebagai bentuk fanatisme sempit yang mengganggu kehidupan bernegara yang mengakui keberagaman.

Jilbab dan cadar menjadi identitas perempuan muslim di era modern sekarang ini. Apalagi di tambah perkembangan pesat politik muslim kelas menengah. Menurut Wasisto dalam Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia bahwa kelas menengah Muslim Indonesia sedang membangun identitas baru dalam beragama. Berjilbab adalah persoalan baru, meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, penerimaan terhadap jilbab dan cadar membutuhkan proses yang panjang. Mengingat bahwa keduanya bukan budaya Indonesia.

Bagi sebagian umat muslim khususnya muslimah, bercadar adalah konsekuensi logis dari proses pembelajaran lebih intens mengenai hakikat perempuan. Permasalahannya cadar seringkali diasosiasikan dengan atribut organisasi Islam yang fanatik, fundamentalis, dan ekstrim kanan. Hal ini lebih kuat melekat manakala pemberitaan di media massa memberikan label baru bagi perempuan bercadar yakni, istri teroris atau saudara teroris.

Sehingga pandangan media inilah yang mendominasi cara pandang masyarakat terhadap cadar. Pada proses ini peresmian cadar belum sepenuhnya diterima oleh masyarkat Indonesia secara umum, karena pemahaman akan cadar masih berjarak dengan budaya Indonesia.

Dalam hal ini cadar masih tergolong dalam barang asing yang menakutkan. Namun bagi ‘akhwat-akhwat’ bercadar, menggunakan cadar tidak hanya sekedar konsep perlindungan perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, melainkan juga budaya takwa yang di implementasikan dalam kehidupan sehari – hari. dengan menggunakan cadar, para akhwat merasa lebih tentram dan menambah keimanan terhadap Allah Swt. Hal ini yang terkadang tidak dirasakan oleh orang yang tidak bercadar atau yang orang-orang yang tidak mau menerima cadar.

Wallahu a’lam bisshowab.

 

Arief Azizy – Pegiat Literasi Pramoedya Ananta Toer Blora dan Mahasiswa Psikologi UIN SUKA Yogyakarta.