Bolehkah Perempuan dan Laki-laki Ngopi Semeja?

Bolehkah Perempuan dan Laki-laki Ngopi Semeja?

Bolehkah Perempuan dan Laki-laki Ngopi Semeja?
Ilustrasi: www.triptrus.com

Baru-baru ini ramai pemberitaan tentang selebaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bireun, Aceh tentang standarisasi warung kopi / cafe dan restoran sesuai syariat Islam. Ada 14 point yang disebutkan disitu, yang diantaranya menyerukan agar pengelola wajib menghormati waktu shalat dan pembatasan terhadap perempuan agar tidak dilayani apabila meminta layanan diatas pukul 21.00 dan apabila bersama dengan lelaki lain kecuali bila bersama dengan mahramnya. Tulisan kali ini akan mencoba mengungkap apakah benar syariat islam menyatakan bahwa perempuan harus bersama dengan mahramnya apabila ia makan di warung kopi, cafe, ataupun restoran.

Secara kultur, masyarakat Aceh memang suka sekali minum kopi. Daerah mereka pun dikenal sebagai penghasil biji kopi yang berkualitas, seperti kopi Gayo yang reputasinya sudah go-internasional. Bagi masyarakat Aceh, minum kopi di kedai kopi merupakan ajang silaturrahim antar sesama warga yang bisa meningkatkan keakraban. Umumnya, mereka betah berjam-jam nongkrong di kedai kopi yang lokasinya bertebaran di seantero Aceh.

Selain dikenal dengan kedai kopinya, Aceh pun dikenal dengan pemberlakuan syariat Islam, meskipun belum secara menyeluruh. Mereka memberlakukan hukum cambuk pada orang yang kedapatan berjudi, namun tidak memberlakukan hukum potong tangan dan dimiskinkan bagi pelaku tindak korupsi.

Pemberlakuan syariat islam ini tentu saja membuka banyak sekali ruang bagi proses legislasi hukum islam ke dalam hukum provinsi. Standarisasi kedai kopi hanyalah salah satu diantaranya. Pemegang kebijakan, dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Bireun berargumen bahwa standarisasi ini adalah upaya untuk menegakkan syariat Islam yang melarang perempuan keluar tidak bersama mahram mereka.

Meskipun demikian, benarkah bahwa perempuan dilarang makan atau minum semeja dengan lawan jenis yang bukan mahramnya? Imam Malik dalam kitab al-Muwatta menyatakan:

قَالَ يَحْيَى سُئِلَ مَالِكٌ هَلْ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ غَيْرِ ذِى مَحْرَمٍ مِنْهَا أَوْ مَعَ غُلاَمِهَا فَقَالَ مَالِكٌ لَيْسَ بِذَلِكَ بَأْسٌ إِذَا كَانَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ مَا يُعْرَفُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَأْكُلَ مَعَهُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ وَقَدْ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ زَوْجِهَا وَمَعَ غَيْرِهِ مِمَّنْ يُؤَاكِلُهُ أَوْ مَعَ أَخِيهَا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ وَيُكْرَهُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَخْلُوَ مَعَ الرَّجُلِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا حُرْمَةٌ

Artinya: “Yahya berkata: “Imam Malik ditanya: bolehkah seorang perempuan makan bersama seorang laki-laki yang bukan mahram? atau dengan budak laki-lakinya?” Imam Malik menjawab: “Tidak apa-apa, jika dilakukan sebagaimana biasa umumnya dikenal orang-orang tentang: perempuan makan bersama laki-laki. Perempuan terkadang makan bersama suaminya, atau orang lain yang biasa mengajaknya makan bersama, atau saudaranya, seperti  itu. Yang dimakruhkan itu, jika perempuan menyendiri ke tempat sepi hanya berdua dengan laki-laki yang bukan mahram”.

Dari pernyataan Imam Malik diatas, bisa kita pahami bahwa minum atau makan dalam satu meja antara perempuan dengan lelaki yang bukan mahramnya bukanlah hal yang dilarang jika itu dilakukan di tempat umum seperti di kedai kopi, restoran dan lainnya. Yang menjadi masalah adalah apabila hal itu dilakukan di tempat yang sepi. Sehingga logikanya, yang diharamkan adalah khalwat (menyendiri, atau mojok) dengan lawan jenis yang bukan mahram. Larangan sejatinya bukanlah pada makan ataupun minum bersama.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.