Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, banyak umat muslim yang semakin meningkatkan ibadahnya guna meraih keistimewaan lailatul qadar, dari mulai memperbanyak shalat sunnah, berdzikir, membaca al-Qur’an, bersedekah, hingga beritikaf, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan lailatul qadar dengan iman dan mengharap (pahala) maka akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari)
Namun sayangnya, perempuan haid dan nifas terhalang dari beberapa ibadah, seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan i’tikaf, padahal ibadah-ibadah tersebut dapat mengantarkan seorang muslim menuju keutamaan lailatul qadar. Lalu apakah perempuan haid dan nifas juga dapat meraih keutamaan lailatul qadar?
Dalam kitab Lathaaiful Maa’rif karya Ibni Rajab, disebutkan bahwa Juwaibir bertanya kepada adh-Dhahak mengenai hal ini,
قال جويبر: قلت للضحاك: أرأيت النفساء والحائض والمسافر والنائم لهم في ليلة القدر نصيب؟ قال: نعم كل من تقبل الله عمله سيعطيه نصيبه من ليلة القدر
“Juwair berkata, aku bertanya pada adh-Dhahhak “Bagaimana pendapatmu mengenai perempuan nifas, haid, musafir (orang yang bepergian) dan orang yang tidur, apakah mereka bisa memperoleh bagian dari lailatul qadar?” Ia menjawab “Ya, setiap orang yang Allah terima amalnya akan diberikan bagiannya dari lailatul qadar.”
Jadi seorang perempuan yang haid dan nifas bisa mendapatkan keutamaan lailatul qadar apabila ia menghidupkan malamnya dengan ibadah, tentu saja dengan ibadah yang tetap diperbolehkan bagi perempuan haid, seperti dzikir, berdoa, bersedekah, mendengarkan al-Qur’an, menyiapkan makan sahur bagi yang berpuasa dan lain sebagainya.
Perempuan yang haid dan nifas juga hendaknya memperbanyak berdoa, meminta kebaikan di dunia dan akhirat, serta memperbanyak istighfar, memohon ampunan kepada Allah SWT, Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW “Ya Rasulallah, Bagaimana menurutmu jika saya berada pada malam lailatul qadar, apa yang harus saya ucapkan?” Rasulullah SAW menjawab: “Hendaklah kamu mengucapkan:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni
“Ya Allah Engkau adalah Maha Pengampun, Engkau suka mengampuni, maka ampunilah saya” (HR Ibnu Majah)
Perempuan yang haid dan nifas tetap dapat meraih kebaikan lailatul qadar. Pasalnya, ia meninggalkan puasa dan shalat sebagai bentuk taat kepada Allah SWT, bukan karena lalai atau mengingkari perintah Allah. Karena tidak semua orang dapat meraih keutamaan lailatul qadar. Ada orang-orang yang diharamkan dari kebaikannya. Imam an-Nasai meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda
فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Di bulan itu (Ramadhan) ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan mendapat kebaikannya, maka sungguh ia tidak mendapatkannya (HR an-Nasai)
Al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’aat al-mafaatih syarh misykaat al-Mashaabih mengatakan, orang yang diharamkan dari kebaikan lailatul qadar adalah mereka yang tidak mengisi malam-malamnya dengan ibadah.
Adapun maksud dari “diharamkan dari kebaikan” adalah tidak mendapatkan pahala yang sempurna atau ampunan yang menyeluruh sebagaimana didapatkan orang yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan ibadah.
Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang menghidupkan malam lialatul qadar dengan ibadah dan kebaikan, serta meraih keutamaan dan kebaikan malam yang lebih baik dari seribu bulan ini.
Wallahu a’lam bisshawab