Pada tahun ini hari raya Idul Fitri kemungkinan besar bertepatan dengan hari jumat, yakni pada hari itu umat Islam laki-laki diwajibkan menunaikan shalat jumat. Namun dalam literatur hadis, Rasulullah memberikan rukhsah sebagaimana dalam hadis riwayat Zaid bin Arqam ketika ia ditanya oleh Muawiyah.
قَالَ : أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَكَيْفَ صَنَعَ ؟ قَالَ : صَلَّى الْعِيدَ ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ ، فَلْيُصَلِّ.
“Muawiyah bertanya: apakah kamu pernah bersama menyaksikan Rasulullah ketika dua shalat id berkumpul dalam satu hari? Zaid menjawab: iya. Kemudian Muawiyah bertanya: bagaimana Nabi melakukan dua shalat itu? Zaid pun menjawab: Nabi melakukan shalat id kemudian memberikan keringan untuk shalat jumat. Kemudian Nabi berkata: Barang siapa yang ingin shalat maka shalatlah (shalat jumat).”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darami, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.
Lalu, apakah serta merta keringanan tersebut berlaku bagi semua orang? Apakah keringanan tersebut bebas dilakukan oleh umat muslim yang kebetulan melaksanakan hari raya pada hari jumat?
Pada masa Islam awal, pemeluk Islam tidak memiliki masjid sebanyak masjid yang ada sekarang. Pada masa itu, masjid hanya ada sedikit, bahkan hanya ada di Madinah. Sehingga umat Islam yang berada di pelosok harus susah payah menempuh perjalanan sulit kedua kalinya setelah pulang dari shalat id, melewati padang pasir dan lumayan jauh untuk kembali melakukan shalat jumat. Sehingga mereka diberi keringanan oleh Nabi agar tidak melakukan shalat jumat di masjid Madinah.
Memahami hadis di atas tidak bisa digeneralisir. Al-Marhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA. mengatakan bahwa memahami hadis seperti di atas juga diperlukan pendekatan pemahaman melalui geografi.
Dengan pendekatan geografi, kita bisa mengetahui bahwa faktor jauhnya tempat dan masaqqahnya perjalanan penduduk desa yang sangat jauh dari kota membuat Nabi memberikan keringanan untuk mereka.
Berbeda halnya dengan masyarakat kota yang jarak antara rumah dan masjid tidak seberapa jauh. Mereka tetap berkewajiban untuk melakukan shalat jumat walaupun telah melaksanakan shalat id di pagi harinya.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Imam as-Syafi’i yang dikutip oleh Imam as-Sya’rani dalam kitab al-Mizan. Imam as-Syafi’i mengatakan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi penduduk kota (yakni yang dekat dengan masjid) berkewajiban menjalankan shalat Jum’at dan tidak gugur kewajiban shalat jumatnya walaupun telah menjalankan shalat Id. Berbeda halnya dengan penduduk desa (yang jaraknya jauh dari masjid), kewajiban mereka dalam mengerjakan shalat Jum’at gugur, dan diperbolehkan untuk tidak Jum’atan.
Pendapat Imam as-Syafi’i ini didukung oleh pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Namun menurut Imam Ahmad, walaupun kewajiban shalat jumat mereka gugur, namun mereka harus tetap melaksanakan shalat dhuhur.
Wallahu A’lam