“Jika suatu amal tidak dilandasi keikhlasan, maka tidak akan bermanfaat kecuali kegelapan di dalam hati. Barang siapa yang berserah diri pada Allah, maka Allah akan memihak kepadanya.” (KH. M. Hasyim Asy’ari – kitab Al-Tanbihat Al-Wajibat, hal. 59-60 dalam Masyamul Huda, hal. 185).
Siapa dari kita yang tidak mengenal sang hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari? Sekurang-kurangnya kita semua mengenal beliau sebagai sang pendiri organisasi keagaamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Riwayatnya dapat kita baca melalui berbagai sumber tertulis, salah satunya adalah buku berjudul Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri pesantren Tebu Ireng yang Mengakhiri Era Kejayaan kebo Ireng dan Kebo Kicak anggitan Masyamul Huda.
Buku yang kuperoleh sebagai buah tangan dari seorang kawan di Jombang yang memiliki toko buku bernama RPDH Bookstore ini merupakan sebuah catatan sejarah yang mengisahkan tentang latar belakang pendirian Pondok Pesantren Tebu Ireng. Buku ini ditulis dengan gaya novel yang membuat pembaca mudah mengikuti alur ceritanya bahkan turut merasakan atmosfer yang terjadi pada setiap kejadian yang diceritakan.
Buku setebal 268 halaman ini memulai ceritanya dengan keadaan kawasan Cukir lima tahun setelah berdirinya sebuah pabrik gula Cukir milik Pemerintah Kolonial Belanda pada 1884. Cukir berasal dari Bahasa Belanda, Suiker Fabric yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia artinya Pabrik Gula. Karena tidak familiar dengan Suiker, lidah pribumi biasa menyebutnya dengan kata Cukir.
Cerita ini disampaikan dengan memakai sudut pandang Kyai Sakiban. Maka tak heran jika buku yang terbit pada tahun 2014 ini pun mengisahkan tentang perjalanan kehidupan Kyai Sakiban juga. Kyai Sakiban melihat bahwa semenjak ada aktivitas Pabik Cukir banyak perubahan terjadi di kawasan tersebut, di mana lebih banyak dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitarnya dibanding positifnya.
Selain perubahan terjadi pada penggunaan lahan sawah yang secara luas diubah sebagai kebun tebu dan masyarakat yang terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik dengan upah kecil, keberadaan Pabrik Cukir juga turut membawa budaya kekerasan dan prostitusi di sekitarnya. Pemerintah Belanda sengaja memelihara para preman untuk menjaga keamanan Pabrik Cukir dan membangun tempat hiburan yang meresahkan warga sekitarnya. Kawasan pelacuran dan gerombolan preman tersebut menamai diri mereka Kebo Ireng (Kubangan Hitam/Maksiat). Sedangkan pemimpinnya, Joko Tulus, disebut Kebo Kicak.
Awalnya, perlawanan nyata terhadap Kebo Ireng dan Kebo Kicak dilakukan oleh Surontanu dan teman- temannya dari Pondok Pesantren Sumoyono. Kyai Sakiban tidak menyetujui rencana perlawanan Surontanu yang dilakukan tanpa kepercayaan dari masyarakat dan mendahulukan emosi serta kekerasan. Akibatnya jelas, perlawanan itu mudah dilumpuhkan dan kekuasaan pemerintah Belanda menjadi semakin kuat.
Meskipun Joko Tulus dan Surontanu menghilang kala mereka adu pedang, kekuasaan Joko Tulus tetap bisa dilanjutkan oleh seorang dukun bernama Wiro. Namun demikian, Kyai Sakiban yang mendapat informasi dari orang dekatnya memahami bahwasanya otak utama dari kelompok Kebo Ireng tidak pada Wiro, melainkan Sartini, pesinden yang juga menjadi mucikari bagi para perempuan penghibur di Kawasan Kebo Ireng.
Meskipun Kyai Sakiban jelas menolak keberadaan Kebo Ireng, namun ia merasa tak mampu melakukannya sendiri. Ia mengharapkan akan ada seseorang yang cukup ekonomi dan ilmu yang rela berjuang untuk melawan segala kemungkaran yang terjadi di daerahnya. Di saat itulah berdasarkan inisiatif Alwi yang masih kerabat dekat dengan Kyai Asy’ari di Dusun Keras, Kyai Sakiban menemukan orang tersebut. Ia adalah Muhammad Hasyim, putra Kyai Asy’ari yang baru saja pulang dari pengembaraan ilmu agama di Mekkah.
Barulah setengah halaman terakhir buku ini bercerita tentang awal mula pendirian Pondok Pesantren Tebu Ireng dan perjuangannya dalam melawan Kebo Ireng. Pada awal pertemuannya dengan Hasyim, ia mendengarkan dengan seksama Kiai Hasyim menyampaikan,
Pembangunan pusat Pendidikan yang ideal adalah pesantren yang mampu meletakkan pondasi dengan membangun etika bagi setiap santri. Sehingga ilmu yang diperoleh di dalam pesantren nantinya bisa dipakai sebagai bekal menuju kehidupan yang lebih baik. Setiap santri yang nantinya terjun ke masyarakat harus bisa menjadi guru yang memimpin. Sebelum menjadi guru, maka seorang santri harus memiliki pondasi kuat dalam berperilaku dan beretika agar bisa menjadi suri tauladan (hal. 172-173).
Pembangunan pondok pun dilakukan di atas prinsip persaudaraan, kebersamaan, dan kemandirian dengan tujuan mencapai akhlak mulia. Pemilihan lokasi yang dekat dengan pabrik, membuat keberadaan pondok cukup efektif untuk menjadi pengalih perhatian masyarakat.
Dengan kecerdikan dan kesabarannya, kelompok Hasyim akhirnya mengalahkan Kebo Ireng melalui sebuah pertandingan adu kekuatan yang dilakukan dengan sportif, sehingga tidak akan menimbulkan keonaran yang dapat menjadi dasar pemerintah Belanda untuk menangkap orang-orang yang dianggap musuhnya. Setelah kekalahan pemimpinnya, Kawasan Kebo Ireng semakin sepi dan akhirnya tergantikan oleh keberadaan Pesantren Tebu Ireng.
Serangkaian cerita mengenai sejarah pendirian Tebu Ireng ini menginspirasi kita bahwa melawan kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kekerasan semata. Sebaliknya, ia harus dihadapi dengan ketenangan dan kesabaran. Bukan berarti diam, tapi menunggu saat yang tepat untuk benar-benar membuat perlawanan tersebut efektif. Saat yang tepat itu adalah ketika kepercayaan dan dukungan dari banyak orang telah diperoleh. Selain itu, kekuatan ekonomi serta keilmuan juga turut menjadi prasyarat berhasilnya sebuah perlawanan.