Dakwah Syekh Ali Jaber cukup diminati belakangan ini, kenapa bisa terjadi?
Saya mengenal nama Syekh Ali Jaber dari sebuah acara di stasiun televisi. Kebetulan saat itu saya sedang bertamu di rumah seorang teman dan di rumahnya sedang menayangkan sebuah acara yang diisi oleh Syekh.
Bagi generasi yang sudah jarang menonton televisi, saya punya keterbatasan untuk mengetahui nama-nama orang yang tampil di layar kaca. Terlebih untuk acara-acara keagamaan, saya punya pandangan yang cukup negatif. Pasalnya banyak sekali pengisi acara keagamaan di televisi yang tidak kompeten. Beberapa ustad tidak memiliki riwayat pendidikan keagamaan yang baik.
Di media sosial pun beberapa ustad seleb menunjukkan perangai yang kurang baik. Ada yang gampang misuh-misuh. Ada yang mengumbar kemewahan. Dan banyak hal yang membuat persepsi saya terhadap mereka jadi ramashok.
Saya menyimak tayangan itu bersama keluarga teman tersebut. Saat seorang anak kecil melafalkan bacaan Al-Quran yang merdu, tampak ibu dari teman saya begitu emosional. Matanya bekaca-kaca. Ia tampak terharu dengan apa yang sedang ditontonnya.
Di media sosial, potongan acara tersebut beberapa kali saya lihat di akun-akun keislaman. Salah satu adegan yang emosional adalah ketika Syekh mencium kening seorang hafiz (penghafal Al-Quran) cilik. Bagi seorang santri atau murid, tidak ada hal yang paling berkesan selain apresiasi dari sang guru, apalagi sampai diciumnya.
Dari situ saya bisa merasakan perbedaan Syekh Ali Jaber dengan ustad seleb yang menjamur beberapa tahun belakangan. Dari segi keilmuan, Syekh mendapatkan pendidikan yang ketat dari orang tuanya di Madinah. Dari sisi perilaku, ia tampak seperti ulama-ulama pada umumnya, bersikap sederhana dan memiliki kesopanan yang luar biasa.
Nama Syekh Ali Jaber kemudian ramai diperbincangkan saat ia mengalami penusukan di sebuah acara di Lampung. Seorang yang tidak dikenal tiba-tiba menyerang Syekh ketika sedang berbincang dengan gadis kecil yang ingin diapresiasi karena bacaan Al-Qurannya.
Saat pertama kali melihat berita di YouTube, saya mengelus dada. Mengapa orang sebaik Syekh sampai diserang demikian? Yang membuat lebih mengelus dada, komentar-komentar di YouTube mengaitkan peristiwa tersebut dengan kelompok atau gerakan politik tertentu, sampai membawa nama tokoh lain dan melakukan berbagai spekulasi.
Untungnya tak berselang lama Syekh mengeluarkan pernyataan yang membuat adem. Ia meminta untuk tidak mengaitkan kejadian itu dengan peristiwa apapun. Percayalah pada aparat yang menangani kasus tersebut. Statement tersebut kemudian ia tegaskan di Podcast Deddy Corbuzier.
Saya pun menonton tayangan ini dan menemukan hal menarik dari gagasan-gagasan yang disampaikan oleh Syekh.
Islam yang Tidak Menghakimi
Jangan pandangi perempuan yang belum berjilbab dengan tatapan yang buruk. “Barangkali dia punya dua rakaat tahajud di sisi Allah bisa terampuni seluruh dosanya. Kita tidak tahu apa urusan manusia dengn Allah.”
Pernyataan Syekh Ali Jaber di Podcast Deddy Corbuzier ini sangat menarik. Terlebih di situasi di mana ada banyak polisi moral berkeliaran yang justru membuat banyak orang merasa takut untuk belajar Islam.
Beberapa waktu lalu di Twitter ada kisah di mana seorang yang tidak berjilbab diikuti oleh seseorang ketika sedang berbelanja di minimarket. Saat sedang berhenti untuk mengambil barang, si penguntit tadi berada di sebelahnya, lalu memintanya untuk menutup aurat. Ia bahkan memberinya jilbab.
Di kisah yang lain, seseorang yang sudah mengenakan jilbab mengalami hal serupa. Ia didekati oleh orang dan dikatakan bahwa pakaiannya tidak sesuai dengan syariat. Indikatornya, jilbabnya tidak menjulur.
Apakah cara tersebut berhasil? Orang yang dikuntit justru merasa takut dan tersudut dengan perlakuan demikian. Ia bertanya-tanya, mengapa orang yang mengklaim mengajak kebaikan sampai berbuat terlalu jauh? Apakah agama melegalkan tindakan tersebut?
Tentu saja tidak. Nabi Muhammad berdakwah dengan cara yang sangat manusiawi. Nabi memahami betul bahwa perubahan manusia adalah wilayah preogratif Allah SWT. Makanya, ketika Abu Thalib, seorang paman yang sangat disayanginya, belum masuk Islam, Nabi Muhammad pun memasrahkan semuanya pada Allah.
Tugas seorang penyampai risalah hanyalah menyampaikan risalah. Begitu juga dengan pendakwah. Dakwah bukanlah tindakan memaksa orang lain menuruti standar kebenaran yang diyakininya. Dakwah bukan pula diawali dari anggapan merasa dirinya baik dan menganggap orang lain lebih buruk.
Jika pemahaman ini dimiliki oleh setiap orang yang ingin berdakwah, tentu kita tidak punya celah untuk menganggap orang lain lebih buruk. Sebagaimana Syekh Ali Jaber ungkapkan bahwa setiap manusia punya ‘rahasia’ dengan penciptanya. Sebagai manusia tugas kita untuk berbagi kebaikan tanpa pernah merendahkan orang lain.
Saya jadi ingat kisah yang sangat populer di kalangan pesantren. Kisah seorang pelacur yang sedang kehausan di padang pasir. Saat menemukan sedikit air, ia melihat seekor anjing yang juga kehausan. Si pelacur kemudian memberikan air tersebut kepada anjing. Akibatnya pelacur tersebut tidak bisa bertahan dan kemudian meninggal dunia. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa si pelacur masuk surga karena memberikan minumnya untuk seekor anjing.
Dari situ kita bisa belajar bahwa seburuk apapun manusia belum tentu buruk di mata Allah. Kebaikan dan keburukan seorang manusia ditentukan melalui satu detik terakhir hidupnya. Bisa jadi seseorang melakukan berjuta kebaikan dan kemudian wafat dalam keadaan buruk karena tidak mengingat Allah SWT. Sebaliknya, ada orang yang sepanjang hidupnya melakukan keburukan tetapi mati dalam keadaan husnul khotimah karena di detik akhir nafasnya ia menyebut nama Dzat Yang Maha Pengasih.
Kita sangat membutuhkan para pemuka agama yang tidak menghakimi sebagaimana ditunjukkan Syekh Ali Jaber. Semoga saja Syekh sehat selalu dan tak lelah menebar kebaikan. Amin… [DP]