Bedah Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (2): Kurikulum Ramah Industri?

Bedah Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (2): Kurikulum Ramah Industri?

Bagaimana masa depan pendidikan kita?

Bedah Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (2): Kurikulum Ramah Industri?
Potret siswa sekolah.

Charles Dickens (1812-1870) melalui novelnya berjudul Oliver Twist menunjukan bahwa anak-anak pada masa periode awal Revolusi Industri Pertama hampir menghabiskan seluruh hidupnya untuk bekerja di pabrik yang kotor dan berasap. Novelnya terasa begitu nyata, ditopang oleh pengalaman Dickens sendiri yang sudah bekerja sejak usia 12 tahun. Namun menjelang akhir abad ke-19, kewajiban untuk bersekolah telah menyelamatkan anak-anak dari seluruh penjuru dunia dari kewajiban untuk bekerja. Kewajiban untuk mendapatkan akses pendidikan telah menyelamatkan anak-anak dari penjara industri.

Baca juga: Peta Jalan Pendidikan Indonesia (Bagian-1): Relativisme Global

Pendidikan saat itu dimaknai sebagai gerakan pembebasan. Wajar, generasi pertama pendidikan Hindia Belanda seperti Ki Hajar Dewantara masih mewarisi semangat tersebut sehingga ia tidak pernah memberikan jarak antara pendidikan dan kemerdekaan. Kelanjutannya kita sama-sama tahu, Ki Hajar, dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, dan tokoh nasional lainnya yang lebih muda dari bapak pendidikan itu membuktikan bahwa gagasan kemerdekaan mereka yang dihasilkan pendidikan membuahkan hasil; Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu hutang besar mereka terhadap pendidikan tidak main-main dibayar muka dengan menuliskan tinta emas dalam pasal 31 UUD 1945 (sebelum amandemen) yakni “Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.” Tentu menjadi kewajiban negara memberikan akses pengajaran kepada warga negara. Namun kewajiban bersekolah tidak lagi dengan maksud membebaskan atau memerdekakan.

Meskipun kini anak-anak sudah terlepas dari kewajiban bekerja, namun selama mereka bersekolah, semua materi pelajaran dan pengajaran diarahkan agar mereka terampil sebagai pekerja (baca:buruh). Jauh dari cita-cita pendiri bangsa, kita kembali ke kondisi revolusi industri pertama saat anak-anak dan pabrik tidak lagi berjarak, justru mereka diarahkan untuk siap berada didalamnya. Termasuk juga pendisiplinan dan ruang kelas yang lebih mirip pabrik.

Tidak mudah menemukan jawaban mengapa ruang kelas berbentuk kotak atau persegi panjang. Arsitektur ruang belajar bukan hanya mencerminkan nilai-nilai budaya, namun juga cerminan moda produksi suatu masyarakat. Walter Gropius, desainer arsitektur Bauhaus school di Weimar dianggap salah satu arsitektur pendidikan paling berpengaruh awal abad ke-20 karena konsepnya hampir ditiru oleh semua sekolah di dunia. Seperti gedung sekolah, bentuk kelas, bangku, aula, lantai, lorong dan lainnya.  Bahkan ia menyarankan agar filosofi sekolah harus bisa melatih pelajarnya bekerja bersama industri.

Selama revolusi Industri, ruang belajar tidak hanya berbentuk mirip ‘pabrik’ dengan baris dan kolom yang simetris, namun juga muncul nilai-nilai pabrik didalam sekolah yang sekarang seringkali dipermasalahkan kalangan pendidik, yakni standarisasi.

Sayangnya standarisasi ini akan dipatenkan dalam PJPI 2020-2035 dengan tetap mengacu hasil PISA, bahkan ditambahkan dengan TIMSS (matematika dan sains) dan PIRLS (literasi membaca). Menurut Pasi Sahlberg penulis buku Finnish Lesson: What Can The Wordl Learn from Educational Change in Finlandia, ketiga penilaian tersebut merupakan bagian dari Global Education Reform Movement (GERM) yang mempromosikan kompetisi pelajar global melalui testing dan mendorong privatisasi pendidikan. Dorongan privatisasi tersebut merupakan gerakan paling berbahaya dari kampanye semacam ini. Selain itu, regulasi di dalam pedidikan itu sendiri tidak hanya diharapkan agar menghasilkan tenaga kerja ‘terampil’ dan ‘kompetiti’, namun proses pembelajaran itu sendiri adalah bagian dari industri. Sistem pendidikan Nasional melalui Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 hendak mematenkannya.

Adaptasi sistem pendidikan negara-negara maju terhadap perubahan global tidak sepenuhnya menuntut mereka agar menyerahkan regulasi pendidikan terhadap Industri. Hanya Singapura yang tercatat melakukan kerjasama dengan industri, itupun terbatas dalam pendidikan vokasi dan kursus khusus Industri di level perguruan tinggi.

Di Tiongkok, perubahan hanya terjadi di level prasekolah. Yaitu hanya peningkatan metode pedagogi bermain anak. Dalam pendidikan Vokasi, justru lembaga vokasi Tiongkok didorong mengeluarkan sertifikat keterampilan ynang kompetitif. Berbeda dengan di Indonesia, BPS tahun 2018 mencatat bahwa pendidikan vokasi (SMK) menyumbangkan pengangguran sebanyak 11,24% berbeda dengan lulusan SMA yang menyumbangkan 7,95% penganggur. Fakta kualitas pendidikan vokasi di tanah air menunjukan jalan yang sangat jauh untuk pendidikan Vokasi tersebut dipercaya dunia industri untuk mengeluarkan sertifikat keterampilan sebagaimana Tiongkok.

Di Tingkat Perguruan Tinggi, Tiongkok tidak mengarahkan universitas untuk terampil di sektor industri. Ini perlu dicatat. Tiongkok justru melakukan internasionalisasi kampus secara besar-besaran. Diluar itu, negara-negara percontohan bagi Indonesia seperti Australia, Belanda, Kanada, Finlandia dan Jerman bahkan sama sekali tidak mengarahkan sistem pendidikan mereka pada keterampilan khusus industri di tingkat prasekolah hingga universitas.

Namun paparan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 justru menekankan aspek ‘kolaborasi dengan industri’ sebagai bagian pemecahan masalah besar Perguruan Tinggi–sementara negara-negara yang yang jadi perbandingan di atas sama sekali tidak melakukan kolaborasi dengan industri. Kecuali Singapura, itupun kerjasama dalam bentuk yang terbatas. Faktanya kontribusi dunia industri dan swasta di Indonesia terhadap pendidikan memang minim. Hal ini bukan berarti sistem pendidikan secara menyeluruh harus di arahkan pada Industri. Sebagai Contoh, Belanda dan Canada termasuk negara yang cukup tinggi mendapatkan biaya dari sektor swasta. Namun seperti sudah disebutkan sebelumnya, pendidikan disana sama sekali tidak diarahkan secara menyeluruh bagi kepentingan industri.

Kedudukan Industri juga diselipkan dalam konsep ‘Merdeka Belajar’. Konsep ini mengacu pada kompas OECD 2030 yang menekankan kolaborasi siswa dengan guru, orangtua sebaya, sekolah dan komunitas. Namun dirubah dalam PJPI 2020-2035 menjadi keluarga, guru, institusi, masyarakat dan dunia usaha/ industri. Artinya ada dorongan yang kuat untuk meninjeksi industri kedalam konsep merdeka belajar di dunia pendidikan secara vulgar. Hal ini sangat berbahaya karena peran komunitas yang mampu menjangkau peserta didik secara horizontal digantikan oleh dunia usaha/industri yang hubungan sosialnya lebih vertikal.

Namun perlu diapresiasi, perubahan kebijakanan pada pendidikan vokasi, fleksibilitas antara Vokasi dan Universitas, Marketplace BOS dan penekanan industri di level Perguruan Tinggi cukup baik dari perspektif pembangunan manusia yang linear. Hal ini bukan tanpa kelemahan.

Percepatan akselerasi Industri dalam dunia pendidikan tidak hanya mengarahkan lulusannya pada pada keterampilan tenaga kerja industri namun melakukan industrialisasi didalam pendidikan itu sendiri. Walhasil terjadi ‘kelebihan produksi’ di dalam dunia pendidikan sendiri–yang artinya prinsip pasar (yang telah lama terjadi) diperkuat oleh kebijakan negara melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini akan menimbulkan masalah yang selalu dikeluhkan oleh para pengusaha kecil menengah (UKM) digital di Indonesia, yakni monopoli flatform-flatform besar yang selalu berhasil menjadi lampiran kebajikan negara.

Jika itu terjadi di industri digital, maka bukan tidak mungkin monopoli semacam itu akan terjadi di dunia pendidikan dan kolaborasi seimbang antar student agen dan co-agen justru tidak akan pernah terjadi. Keadaan tersebut hanya membuat jaringan Co-agen tertentu menguasai akses kebijakan negara, memonopolinya dan membawa kita kembali ke belakang untuk mengulang tradisi lama dalam kementrian Pendidikan; mengganti kurikulum lagi setiap pergantian politik, meratapi data pengangguran terdidik yang terus meningkat sementara industri yang disembah telah terus merusak ekologi dan sistem sosial masyarakat Indonesia.