Kasus Perundungan Siswa: Apa yang Hilang dari Pendidikan Kita?

Kasus Perundungan Siswa: Apa yang Hilang dari Pendidikan Kita?

Kasus perundungan siswa masih saja terjadi. Siapa yang bertanggungjawab dan apa yang hilang dari pendidikan kita?

Kasus Perundungan Siswa: Apa yang Hilang dari Pendidikan Kita?
Foto: internetsehat

Beberapa waktu lalu kita dibuat terkejut dengan adanya kasus perundungan oleh siswa sekolah menengah pertama (SMP) terhadap siswa lainnya yang berlokasi di Cilacap. Dari video viral berdurasi sekitar empat menit, kita bisa menyaksikan sekelompok siswa yang masih berseragam SMP, mengepung seorang siswa yang menjadi sasaran perundungan. Tampak dua orang melakukan perundungan secara fisik, sedangkan siswa lainnya hanya diam tanpa bertindak. Tidak mendukung atau sekedar bersorak-sorai, tidak juga mencoba untuk melerai. Mereka hanya diam tampak biasa saja.

Kasus perundungan yang belum lama juga terjadi, datang dari Balikpapan. Pada kasus ini, parahnya, tindakan fisik dilakukan secara berkeroyok terhadap satu orang. Dalam video yang tersebar, terlihat beberapa siswa berseragam pramuka melakukan perundungan fisik terhadap seorang berbaju merah yang diperkirakan teman sebayanya.

Aksi kekerasan di kalangan pelajar itu bukan hanya terjadi sekali dua kali. Sudah terlalu sering kita menyaksikan aksi perundungan terjadi, baik secara verbal maupun fisik. Silakan saja cek di laman berita yang tersedia di internet. Entah aksi seperti itu dating dari lingkungan, pendidikan, keluarga atau apa, tapi seakan menjadi tren yang bermunculan. Sebab, aksi demikian masih dianggap sebagai kegagahan bagi kalangan pelajar, baik untuk memicu adrenalin atau untuk memunculkan sosok diri sebagai kesatria.

Memang, di usia SMP, sifat ingin menonjolkan kegagahan adalah hal yang alami. Setidaknya, argumen tersebut yang sepintas pernah saya pelajari dari seorang psikolog, sehingga bisa sedikit memaklumi kondisi jiwa seumuran siswa itu. Namun, tidak untuk memaklumi tindakan destruktif yang dilakukan. Satu hal yang pasti, ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di tanah air.

Satu hal yang saya beri tanda kutip, yaitu status “siswa” yang masih disandang oleh mereka pelaku aksi perundungan. Jika ditanya, siapa yang bertanggung jawab atas aksi negatif tersebut? Pemikiran saya sampai pada kesimpulan bahwa yang harus bertanggung jawab adalah orang tua, guru dan siswa itu sendiri. Alasannya sederhana, orang tua memiliki tanggung jawab mengawasi dan mendidik anak selama di rumah. Guru yang bertanggung jawab mengawasi dan mendidik siswa di sekolah, dan siswa itu sendiri sebagai individu.

Umumnya, usia siswa sekolah menengah sudah memasuki masa balig, yang dalam KBBI disebut cukup umur. Sedangkan secara syariat, balig berarti masa manusia sudah dibebani hukum-hukum syariat (taklif), dan mereka tergolong sudah mumayyiz (bisa membedakan hal yang baik dan yang buruk). Idealnya, aksi perundungan, yang merupakan perbuatan negatif nan merusak, harus sudah disadari seseorang yang sudah mumayyiz sebagai hal yang buruk dan tidak pantas.

Jawaban spontan tersebut mengingatkan saya pada perkataan almarhum KH. Abdul Aziz Mansur — adik dari KH. Anwar Mansur, pengasuh pondok pesantren Lirboyo — asal Pacul Gowang, Diwek, Jombang. Beliau mengatakan bahwa elemen suksesnya pendidikan seseorang itu ada tiga, yaitu: ridha guru, ridha orang tua dan ridha pelajar itu sendiri. Artinya, baik guru, orang tua maupun pelajar yang sedang menempuh pendidikan, masing-masing punya peran dan tanggung jawab di jalur tempuh masing-masing.

Kyai Abdul Aziz Mansur sendiri adalah putra kelima dari pasangan KH. Mansur Anwar asal Diwek dengan Ny. Hj. Salamah, keturunan KH. Abdul Karim Lirboyo, yang membuatnya dikenal sebagai kyai kharismatik dan dihormati.

Tentu “ridha” yang dikatakan oleh Kyai Abdul Aziz Mansur tidak bisa diukur dengan cara apapun, sebab aspek ridha bersifat intuitif. Namun, Jika disederhanakan, hal-hal yang bersifat dukungan dan tindakan positif untuk mensukseskan proses pendidikan, mungkin bisa dikatakan sebagai manifestasi dari keridhaan.

Semisal, orang tua tak henti mendoakan, memberikan motivasi dan kasih sayang, serta turut membekali pendidikan dalam lingkup esoteris, seperti akhlak yang merupakan kewajiban orang tua terhadap anak sesuai perintah Rasulullah SAW. Sementara guru berperan dalam memberikan usaha maksimal dalam mendidik, serta para pelajar itu sendiri yang diharapkan tekun dalam belajar dan senantiasa menjaga perilaku positif. Apakah lingkungan positif tersebut sudah tercipta dalam dunia pendidikan? Saya tidak akan mencoba mengeneralisir bahwa lingkungan positif tidak ada sama sekali dalam dunia pendidikan, sebab sampai saat ini pendidikan masih menjadi sarana meraih kesuksesan hidup yang efektif.

Benarkah Pendidikan Anak Hanya Tanggung Jawab Orang Tua? Ini Penjelasan Najeela Shihab

Akan tetapi realitanya, orang tua, guru, dan pelajar itu sendiri menghadapi kondisi yang tidak mudah. Orang tua harus disibukkan bekerja mencari nafkah, belum lagi dihantam dengan kenyataan masalah klasik ekonomi yang tak kunjung membaik dan kebutuhan sehari-hari (termasuk biaya pendidikan) yang makin mahal. Guru sendiri terus-terusan dibebani dengan sistem administrasi dan birokrasi yang njelimet sehingga tak jarang mengorbankan proses belajar kelas sehingga pelajar terbebani dengan tugas-tugas yang bejibun. Jika ada yang bertambah, tentu disisi lain ada yang berkurang. Dua sisi koin tersebut saya umpamakan bahwa orang tua dengan segala beban tanggungan ekonominya, beban administratif yang dipikul guru, serta dan beban tugas di Pundak pelajar adalah hal yang terus bertambah. Sedangkan lingkungan positif dalam pendidikan menjadi hal yang terus berkurang.

Hal lain yang sekian lama hilang dari pendidikan adalah tradisi pendidikan ala Al-Qur’an. Ada beragam lafadz Al-Qur’an yang maksudnya bersinggungan dengan proses pendidikan. Semisal, رَبَّانِيّٖنَ (pendidik), Prof. Quraish Shihab menafsirkan, bahwa segala perbuatan, langkah, niat dan ucapannya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan Allah SWT melalui wahyu. Ini mungkin sedikit berat, sebab guru sudah memiliki beban administratif dan beban mempersiapkan pelajaran.

Jika hal ini menjadi syarat ideal untuk menjadi seorang pendidik, pasti sedikit orang yang mau sukarela terjun ke dunia pendidikan sebagai guru. Kemudian تَدۡرُسُوۡنَ yang berkonotasi anjuran untuk melanggengkan proses belajar-mengajar yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Memang, dua poin tersebut ada di puncak gunung ideal dengan jalan terjal untuk dituju. Akan tetapi untuk terus-menerus berusaha, mencoba menapaki jalan demikian adalah satu hal yang baik. Setidaknya demikian yang bisa dilakukan untuk menjawab persoalan dari paragraf pertama di atas: siapa yang bertanggungjawab atas kasus perundungan di dunia pendidikan? [rf]