New Normal: Aku Sekolah Kembali, Dengan Menahan Pengapnya Masker

New Normal: Aku Sekolah Kembali, Dengan Menahan Pengapnya Masker

Berbeda. Mungkin hanya itu yang bisa menggambarkan sekolah saat ini. Pembelajaran yang dulu menahan kantuk, kini menahan pengapnya masker.

New Normal: Aku Sekolah Kembali, Dengan Menahan Pengapnya Masker
Foto: Tribunnews

Sekolah adalah tonggak pendidikan. Tak hanya intelektual, sekolah mendidik kita tentang pendidikan moral serta spiritual. Pembiasaan-pembiasaan yang membangun karakter sudah terpadu didalamnya. Terlebih di lingkungan pondok pesantren, yang selama 24 jam menegakkan ajaran moral, akhlak serta spiritual. Tak ada yang terlalu menyita perhatian ketika semua berjalan sebagaimana mestinya. Antrian mandi dan makan, disiplin tata tertib, setoran hapalan serta senda gurau bersama teman.

Banyak hal yang menarik ketika pendidikan dilakukan di Pondok Pesantren, karena setiap kegiatannya memiliki unsur pendidikan. Seperti semboyan di pondok modern, yaitu:

كُلُّ مَا تَرَاهُ وَ تَسْمَعُهُ وَ تَفْعَلُهُ لِلتَّرْبِيَةِ

“Segala apa yang kau lihat, kau dengar dan kau lakukan semata-mata untuk pendidikan”.

Bagaimana kita dilatih kesabaran dan toleransi ketika antrian makan dan mandi, bagaimana kita dididik untuk patuh pada peraturan agar hidup teratur, mengatur waktu untuk hapalan disela padatnya kegiatan serta membiasakan mempererat tali silaturahmi dengan gurauan.

Begitupun di sekolah, sekolah tak kalah penting dalam mendidik karakter anak. Tepat waktu dalam belajar, etika interaksi bersama guru, orientasi ke jenjang pendidikan berikutnya, semua kita dapat dari sekolah.

Sejatinya pendidikan pesantren dan sekolah memanglah selaras dan saling melengkapi satu sama lain terhadap persiapan dunia dan akhirat. Dari sudut pandangku, pendidikan pesantren dan sekolah seperti dua keping mata uang, yang tidak bisa dipisahkan dan setiap anak perlu keduanya.

Tapi kita ketahui, masa depan memang misteri. Ketika semua orang sibuk memenuhi kebutuhannya, saat anak-anak sedang bersenang-senang dengan goresan tinta diatas kertasnya. Seketika dalam waktu yang singkat, wabah yang sebelumnya tak dihiraukan kian lama kian menjadi pandemi yang mengkhawatirkan.

Pertimbangan tiga mata neraca antara pendidikan, ekonomi dan kesehatan kian tak tertangani dan semakin rumit, terlebih dibidang pendidikan. Pembentukan karakter penerus bangsa dan kesehatannya lebih diutamakan. Salah satu solusi dibidang pendidikan yaitu pembelajaran jarak jauh dengan segala pertimbangannya yang menuai pro-kontra.

Memang kesehatan adalah hal yang paling penting saat pandemi ini. Namun sekolah bukanlah sekedar perihal akademik, namun ada pendidikan moral dan hal lainnya disana. Dengan pembelajaran jarak jauh, pendidikan tersebut secara tidak langsung terpotong olehnya.

Para penerus bangsa yang tidak menemukan pembentukan karakternya mengakibatkan etika dan moral yang kurang. Terlebih dalam pembelajaran jarak jauh, anak dipaksa untuk memenuhi komponen pendukung pembelajaran seperti gawai, akses internet, dan lain sebagainya. Indonesia yang masih menghadapi masalah ketimpangan sosial yang menjadikan tidak ratanya kekayaan di Indonesia. Artinya, kita tidak bisa memaksakan pembelajaran jarak jauh kepada anak yang “kurang mampu”.

Tak hanya itu, walaupun fasilitas pendukung memadai, hal tersebut tidak menjamin pemahaman anak dalam pembelajaran. Jadi, banyak orang tua yang mempertanyakan tentang keefektifan pembelajaran jarak jauh. Karena percuma saja, pembelajaran dilaksanakan tapi tidak ada satupun nilai-nilai yang bisa diambil. Namun memang pembelajaran jarak jauh memiliki nilai positif dalam hal menjaga kesehatan serta memutus rantai penyebaran wabah, juga melatih anak dalam penguasaan teknologi.

Beberapa bulan yang lalu, berita adaptasi kebiasaan baru sedikit membuat hati lega, terlebih rencana kembali ke pesantren yang menuai suka cita. Namun ekspetasi kembali ke kehidupan berwarna di asrama kini sirna. Protokol kesehatan yang ketat memaksa kita untuk berjarak. Komunikasi yang terhambat karena masker yang terikat. Terkadang sedih memang, canda tawa tersembunyi di balik masker, juga kian terbatas dibalik protokol kesehatan.

Berbeda. Mungkin hanya itu yang bisa menggambarkan suasana saat ini. “Pembelajaran yang dulu menahan kantuk, kini menahan pengapnya masker”. Dahulu, senangnya ketika bisa merasakan hangatnya bercengkrama bersama guru. Kini salaman pun ditegur. Banyak hal yang berubah, tapi dalam kacamataku ini semua adalah usaha bersama untuk memutus rantai penyebaran wabah.

Tak ada gunanya memang saling menyalahkan di masa seperti ini. Membandingkan baik buruk pun nggak berfaedah. Yang terpenting saat ini adalah saling mendukung dengan melakukan semua usaha untuk memenuhi tugas peran yang kita perankan, dalam mengatasi pandemi ini.

 

Tulisan ini adalah hasil karya dari peserta penerima beasiswa mentoring pada program Peaceful Digital Storytelling, pelatihan kampanye cerita baik dan positif bagi siswa SMA yang didukung oleh US Embassy dan Wahid Foundation.