Bagaimana Islam Memaknai Kebahagiaan?

Bagaimana Islam Memaknai Kebahagiaan?

Bagaimana Islam Memaknai Kebahagiaan?

Bagaimana hidup di tengah kebisingan, kebencian dan fitnah era media sosial ini? Bagaimana mendapatkan oase dan menyesap kebahagiaan di tengah perjalanan panjang kehidupan? Komaruddin Hidayat, melalui buku ‘Psikologi Kebahagiaan’ menuliskan renungan jernih tentang kehidupan, tentang tantangan mencari kebahagiaan.

Komaruddin Hidayat mengungkap betapa hidup ini merupakan perjalanan panjang. Dalam setiap perjalanan panjang, tentu saja ada yang dikorbankan, ada yang didapatkan. Ada yang dibuang, ada yang diambil kembali. “Karena hidup adalah sebuah ziarah atau perjalanan, pilihan terbaiknya mari kita rayakan bersama agar terasa mengasyikkan, damai dan jangan lupa mewariskan tanaman kebajikan untuk kita panen. Baik, di hari tua maupun setelah mati,” ungkapnya.

Al-Qur’an tegas sekali memperingatkan, janganlah manusia merusak bumi yang begitu indah, dan berbaik hatilah pada manusia. Bumi, dalam analisa Komaruddin, dengan kebaikannya melayani semua yang diperlukan manusia untuk merayakan kehidupan, sampai-sampai bumi dijuluki sebagai sosok ibu. Ibu tidak pernah berhenti mengasihi, melindungi, mencintai manusia (hal. 178).

Spiritual Happines

Menurut Komaruddin, salah satu kebahagiaan yang menjadi kunci ketenangan manusia adalah spiritual happiness (kebahagiaan spiritual). Dalam buku ini, Komaruddin mengungkap bahwa kebahagiaan spiritual memiliki banyak pintu, tetapi nilainya paling tinggi. Dengan kapasitas intelektualnya, manusia bisa saja memperbanyak kerja kemanusiaan sebagai rasa syukur kepada Allah. Dengan menghayati rasa syukur atas segenap keagungan dan anugrah Allah, maka manusia akan bersujud dengan lebih khusyu’.

Salah satu bentuk ekspresi spiritual happines, adalah bersujud dan menyebarkan salam bagi semua makhluk Tuhan sebagaimana secara karikatural dibahasakan dengan adegan shalat bagi seorang muslim. Dalam pembahasan Komaruddin Hidayat, shalat menjadi perlambang bagi rasa syukur manusia, sebagai hamba. “Adegan shalat dimulai dengan takbir, mengangkat tangan sambil mengucap Allahu Akbar, takbir, mengangkat tangan sambil mengucapkan Allahu Akbar, lalu ketika sujud merendahkan kepala dan wajah dengan mencium tanah, serta diakhiri dengan salam ke kanan dan kiri,” (hal. 107).

Ritual shalat mencerminkan perjalanan manusia, bagaimana sebagai makhluk, manusia tidak boleh merasa sombong. Sujud menjadi simbol bagaimana manusia harus mencium tanah, merunduk dengan kerendahan hati dan mengungkap kebesaran Tuhan. Komaruddin, mengingatkan bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya, tidak boleh merasa sombong sedikitpun. Demikian ungkapan ayat al-Qur’an: Sungguh ketika insan (manusia) merasa dirinya kaya, mereka lalu bersikap sombong dan melampaui batas (QS Al-Bayyinah, 96: 6-7).

Dalam ungkapan Komaruddin, kata manusia memiliki akar yang sama dengan ‘insan’, sehingga dalam al-Qur’an, kata insan diterjemahkan sebagai manusia. Dengan kekuatan akal pikirannya, manusia modern merasa telah mampu membuat loncatan sejarah dan peradaban sehingga mereka tidak lagi memerlukan Tuhan (hal. 30). Manusia inilah yang menjadi pemimpin di dunia (khalifah fil-ardh). Menurutnya, ada unsur yang khas dimiliki manusia yang tidak terdapat dalam makrokosmos, yaitu daya ruhani atau spiritualitas. Ada lima garis besar eksistensi manusia. Yakni, jasadi, nabati, hewani, insani dan ruhani (rabbani). Kelima eksistensi inilah, yang merangkai segenap kisah dan perjalanan hidup manusia, dari unsur fisik hingga spiritual, dari dimensi dzahir hingga batin.

Dalam buku ini, Komaruddin Hidayat dengan jernih menyampaikan refleksinya tentang kehidupan manusia, tentang kebahagiaan, kecemasan, dan bahkan kematian. Hidup ini selalu dinamis, dengan pertanyaan-pertanyaan, selalu dengan misteri yang tidak bisa dijawab dengan akal dan nalar manusia. Semesta yang diciptakan Tuhan, selalu lebih luas, mendalam dan misterius daripada pikiran rasional manusia. Nalar manusia tidak mampu menjawab tentang misteri-misteri yang ada di dunia. “Semesta ini selalu bergerak. Hati dan  pikiran tidak pernah diam. Dalam ketidaktahuan inilah, manusia berusaha mencari jawaban,”. Inilah perjalanan panjang manusia untuk menemukan kebahagiaan, menyerap makna terdalam kehidupan [].

 

Info Buku

Prof. Komaruddin Hidayat |Psikologi Kebahagiaan, Merawat Bahagia Tiada Akhir

Noura Books| Desember 2015

ISBN: 978-602-385-026-6

 

*Munawir Aziz, bergiat di Gerakan Islam Cinta (@munawiraziz)