Pembahasan tentang perempuan dalam kajian fikih, selalu berada dalam posisi yang marginal atau berbeda. Bahkan berbagai persyaratan khusus selalu diatributkan kepada perempuan dalam berbagai status legalnya, yang kemudian dikaitkan dengan kelemahan-kelemahan yang dianggap ada dalam diri perempuan, seperti kurang akal, kurang agama, pembuat fitnah dan lainnya.
Kecenderungan ini, pada gilirannya melahirkan sebuah inkonsistensi dalam kajian-kajian fikih perempuan. Misalnya tentang kualifikasi imam, bahwa sebagaimaa kita ketahui keempat imam mazhab fikih dalam Islam, sepakat menjadikan kualitas pemahaman agama dan Al-Qur’an sebagai kualifikasi substansial yang harus dipenuhi imam, baru kemudian beberapa kualifikasi lain seperti umur, posisi, akhlak, dan lain-lain.
Sementara itu, kualifikasi tentang jenis kelamin tidak disebutkan dalam persyaratan-persyaratan imam secara umum. Namun, di sisi lain, ketika muncul persoalan tentang boleh tidaknya perempuan menjadi imam, keempat ulama mazhab fikih menolaknya, walaupun ada beberapa pengikut di antara empat mazhab fikih yang membolehkan. Akan tetapi, penolakan ini tidak didasarkan pada apakah perempuan memenuhi kualifikasi yang ditetapkan mereka atau tidak, tapi lebih pada kelemahan-kelemahan yang dipandang inheren dalam perempuan, yang tidak memungkinkan menduduki posisi sebagai imam.
Hal lain yang menunjukkan inkonsistensi ulama fikih adalah sikap mereka terhadap hadis Ummu Waraqah, yaitu sebuah hadis yang menjelaskan tentang perempuan yang menjadi imam shalat, di mana diantara makmumnya ada laki-laki. Hadis tersebut dalam berbagai jalurnya telah memenuhi kualifikasi Hadis sahih. Oleh karenanya, dapat diterima sebagai hujjah atas kebolehan perempuan menjadi imam laki-laki.
Namun, sebagian ulama menolak Hadis ini sebagai dalil, dengan mengajukan Hadis lain yang melarang perempuan menjadi imam laki-laki. Sementara Hadis tersebut, oleh Imam Nawawi dinilai berkualitas da’if. Sebagian ulama yang lain mengakui keotentikan Hadis tersebut, namun mereka berupaya memberikan interpretasi dengan memberi batasan dan otoritas imam perempuan.
Kasus tentang boleh tidaknya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, adalah contoh kecil yang menimbulkan perdebatan panjang dikalangan ulama, dan sebagai upaya membuka pembahasan bagaimana fikih memandang perempuan. Kerangka berpikir yang melandasi pandangan para ulama, dalam kajian-kajian tentang fikih perempuan secara umum dan imam perempuan secara khusus, cenderung memposisikan perempuan sebagai ’yang lain’ (the other).
Sehingga perlakuan-perlakuan yang berbeda dan lain, selalu diterapkan dalam pembahasan-pembahasan perempuan dalam fikih. Hal ini juga ditegaskan secara jujur dan lugas oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatal-Mujtahid halaman 105, “Dalam tema ini, (perempuan sebagai imam bagi laki-laki) banyak sekali persoalan yang menyangkut sifat-sifat yang dipersyaratkan dalam diri seorang imam. Kami memilih tidak menguraikannya secara panjang lebar, karena (seolah-olah) diredam dalam wacana hukum syari’ah”. Konsekuensi lebih lanjut dari wacana pemikiran di atas, adalah tampilnya pemikiran-pemikiran Islam yang sesuai dengan ideologi mainstream para ulama yang mendukung kepentingan patriarkhis.
Sementara itu, pandangan minoritas, seperti kebolehan perempuan sebagai imam shalat yang dipegang Ibnu Jarir al-Thabari, Abi Tsaur, dan al-Mazini, tidak tampil ke permukaan. Bahkan hampir terkubur dalam pemikiran dan kesadaran kolektif umat Islam. Sehingga ketika persoalan ini dimunculkan kembali, maka kemapanan pemikiran Islam yang mainstream pun terusik. Sebagaimana ketika terjadi sebuah peristiwa Amina Wadud menjadi imam bagi jama’ah laki-laki. Banyak ulama yang bersifat reaksioner.
Jika dilihat kembali ke belakang, tentang sejarah pemikiran Islam yang sangat panjang. Sejatinya banyak menyembunyikan sisi lain pemikiran Islam yang tidak mainstream. Karena sebenarnya banyak juga pemikiran dan opini hukum Islam yang maju, namun tidak popular dan tidak muncul ke permukaan. Hal ini terjadi karena Islam yang diwariskan adalah Islam politik.
Sebagaimana kita ketahui, dalam sejarah panjang peradaban Islam selalu ada kekuasaan-kekuasaan politik yang memihak pandangan-pandangan tertentu dan melenyapkan pandangan lainnya. Sehingga pandangan-pandangan utama, yang tampil dan didukung penguasa (dinasti-dinasti) Islam yang berumur panjang, selalu tampil jelas dan memperlihatkan bentuk wacana yang patriarkhis.
Pemikiran yang bias gender, sesungguhnya tidak muncul sejak awal Islam karena misi Islam salah satunya juga mengangkat martabat perempuan. Dalam literatur-literaur klasik, paling tidak yang mayoritas, juga menyebutkan adanya relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Kenyataan tersebut berlangsung sampai masa Tabi’in. Mereka biasa dan dapat bergaul secara wajar dan ”bebas”.
Namun, pada kekuasaan Bani Umayyah tepatnya pada masa pemerintahan Al-Walid II (732-734 M). Hubungan laki-laki dan perempuan mulai dipisahkan. Laki-laki berada di tempat tersendiri dan perempuan tersendiri. Kebijakan tersebut, pada periode berikutnya ternyata kemudian menggiring pada terpinggirkannya perempuan dan keterkungkungannya.
Sedangkan madzhab-madzhab fikih seperti Malik bin Anas (716-795 M), Al-Syafi’i (767-820 M), Ibn Hanbal (780- 855 M) dan para pemikir hukum yang lain, kebanyakan lahir dan muncul pasca kebijakan tersebut, sehingga secara otomatis tidak dapat lepas dari kondisi yang ada. Dan keputusan-keputusan yang dihasilkanpun, sedikit banyak pasti akan menopang kebijakan penguasa, karena hukum diciptakan oleh dan untuk kepentingan penguasa.
Oleh karena itulah, pemikiran yang bias gender lebih banyak (tidak semuanya) didapati dalam hukum (fikih) atau kajian tafsir yang berkaitan dengan hukum. Sehingga kajian perempuan dalam fikih berbeda dengan kajian filsafat dan tasawuf, yang tidak banyak bersentuhan dengan kepentingan penguasa dan tampak lebih murni dan bebas dari bias gender.
Inilah yang seharusnya dimunculkan ke permukaan, sehingga dalam memperjuangkan keadilan atau kesetaraan gender, tidak hanya berkiblat dengan wacana barat saja dan mengkritik fikih secara tidak adil.
Yang kemudian bisa berakibat pada pandangan, bahwa Islam tidak memberikan kebebasan pada kaum perempuan dan lain sebagainya. Padahal wacana-wacana Islam di masa awal, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai equality antara laki-laki dan perempuan.
Wallahu a’lam.