Diskursus Pancasila kembali menguat di Indonesia bersamaan dengan menguatnya narasi politik identitas, radikalisme-ekstrimisme dan perkembangan dinamika politik pasca pilpres 2016 dan pilkada DKI. Pemerintahan Presiden Jokowi juga kerap menggemborkan Pancasila dengan narasi memperkuat rasa ‘kebangsaan’ dan melawan ‘radikalisme’. Jokowi bahkan menyatakan akan ‘gebuk’ ormas yang anti-pancasila (Kompas,2017). Badan baru dengan dukungan anggaran yang mencapai ratusan milyar bernama BPIP dibentuk dengan tujuan ‘membina’ ideologi Pancasila. Akan tetapi, besarnya anggaran dan masifnya kampanya Pancasila ternyata tidak berkorelasi dengan perubahan pemahaman dan pengamalan Pancasila masyarakat Indonesia. Survei Indonesian Presidential Studies (IPS) menunjukan bahwa 65,9% anak muda Indonesia berumur di bawah 26 tahun setuju Pancasila bisa digunakan membangun Indonesia dalam bingkai tafsir agama mayoritas, dalam hal ini adalah Islam. Survei dilakukan secara nasional menggunakan multi stage random sampling melibatkan 1200 orang responden pada 11-25 Maret dengan margin eror +-2,9%.
Perkembangan tafsir negara atas Pancasila dengan pandangan masyarakat atas Pancasila tidak berjalan simetris. Dengan dukungan anggaran mencapai 200 milyar dan masifnya kampanye Pancasila, usaha ‘pembinaan’ ideologi Pancasila tampak belum jelas hasil dan arahnya. Pemerintah sendiri alih-alih secara kreatif menempatkan Pancasila sebagai konsensus, nampak lebih sering menempatkan Pancasila sebagai, meminjam istilah Chantall Mouffe (2018), disensus. Pancasila digunakan untuk melakukan eksklusi terhadap yang berbeda (the other). Contoh paling terbaru adalah penyingkiran 74 pegawai KPK atas nama ‘wawasan kebangsaan’. Padahal seperti disebut Soekarno, Pancasila adalah staatfundamentalnorm, norma dasar bernegara. Di sini penulis melihat bahwa kegagalan pemerintah melakukan ‘pembinaan’ Pancasila membuat arus tafsir konservatisme Pancasila menguat. Alasan utamanya adalah kegagapan membuat terobosan kreatif merebut kontestasi tafsir atas Pancasila, meski didukung anggaran yang besar.
Rezim Tafsir Pancasila
Hubungan Pancasila dengan negara berlangsung dinamis tiap era. Orde Baru Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan dan mendiskreditkan oposisi. Kritik oposisi dinilai mengganggu “harmoni, keteraturan dan konsensus” bangsa yang sedang gencar melakukan pembangunan dan tidak selaras dengan Pancasila. Bourchier (2019) mencatat penataran P4 di sekolah-sekolah era Soeharto dan pewujudan semangat negara integralistik, dimana setiap komponen bangsa harus memberi sumbangsih dalam pembangungan secara gotong-royong, membuat Pancasila amat dikenal. Akan tetapi, semangat tersebut juga satu paket dengan pembungkaman kritik atas oposisi, baik parlemen maupun masyarakat sipil.
Pasca-reformasi, Pancasila coba dibangun, ditafsirkan dan diberi nafas baru agar jauh dari trauma Orde Baru. Serangkaian uji coba mulai dilakukan oleh banyak presiden. Presiden Habibi, Gusdur dan Megawati membuka kebebasan pada sipil dan pers agar ikut berkontribusi terhadap tafsir Pancasila. Megawati, sebagai anak Soekarno, mengangkat kembali diskursus Pancasila sebagai jiwa bangsa (soul of nation). Pancasila dikritik, diperdebatkan dan ditafsirkan oleh masyarakat tanpa dirundung was-was sebagai musuh negara. Perkembangan arah demokratisasi di Indonesia juga membuat tafsir Pancasila menjadi semacam ‘pasar bebas tafsir’. Tidak seperti era Orde Baru yang membuat tafsir hegemonik negara atas Pancasila, kini politisi, akademisi, bahkan ormas keagamaanpun seperti FPI juga bisa membuat tafsir atas Pancasila.
Keran demokratisasi mengajak banyak elemen untuk ikut menafsirkan Pancasila. Termasuk kelompok religius konservatif. Buerchier dalam Two Decades Ideological Contestation(2019) mencatat pesatnya perkembangan kelompok konservatisme religius pada era Yudhoyono. Dikeluarkannya fatwa yang mempersekusi Ahmadiyah oleh MUI dan munculnya 150 perda syariah di berbagai daerah menguatkan tesis Buerchier. Era Yudhoyono yang juga memberi dukungan bagi tumbuhnya arus konservatisme Islam vigilante seperti FPI dan HTI, membuat tafsir Pancasila bergerak condong ke arah konservatisme religius.
Era Jokowi ditandai dengan menguatnya politik identitas akibat polarisasi politik dalam event demokrasi elektoral. Puncaknya adalah demo besar 2016 kasus pencemaran agama Ahok. Pemerintah merespon dengan membubarkan HTI, FPI dan munculnya narasi Pancasila vs non-Pancasila. BPIP dibentuk dan Pancasila menjadi mantra kesetiaan terhadap negara. Sayangnya, acapkali tafsir Pancasila digunakan dalam titik ekstrim yang lain: sebagai alat eksklusi bagi yang berbeda dengan tafsir negara. Nasionalisme bagi negara tidak tumbuh dinamis, tapi statis. Akibatnya, menurut penulis, ada ketegangan pada dua sisi ekstrim tafsir Pancasila: konservatisme religius dan konservatisme nasionalis. Rickless menyebut kecenderungan ini sebagai dinamika konservatisme agama yang membentuk rezim politik.
Pancasila Di Antara Dua Arus Konservatisme
Dalam negara post-otoritarianisme, tafsir ideologi merupakan kontrol dan kompetisi bahasa publik. Buerchier(2019) menyebutnya sebagai ruang pertarungan ide antara demokrasi, budaya, hukum dan agama dalam kontestasi ruang publik dan situasi politik tertentu. Dalam kontestasi di Indonesia, ada dua arus yang berjalan, yakni konservatisme nasionalis dimana semua tafsir ditentukan negara. Dan yang berbeda akan dibuatkan garis batas. Di sisi lain, adalah konservatisme religius yang menafsirkan Pancasila dalam term agama mayoritas. Survei IPS yang menunjukan kuatnya pemahaman Pancasila berbasis agama tertentu, harus menjadi warning pemerintah. Salah satu dampak menguatnya pemahaman tersebut adalah dukungan sosial-politik terhadap kebebasan beragama, demokrasi, dan HAM akan selalu dibingkai dalam tafsir agama mayoritas tertentu. Dalam hal ini adalah Islam.
Pancasila seperti apa yang hendaknya dipahami oleh masyarakat Indonesia dan bagaimana strateginya? Pertama, Pancasila harus ditafsirkan sejalan dengan demokrasi, kebebasan berpendapat, kesetaraan dan toleransi sesama warga negara sebagai nilai universal. Tidak pada pandangan agama mayoritas tertentu atau nasionalisme sempit ala negara. Kedua, Pancasila harus diteladankan dan diajarkan bukan didoktrinkan. Tidak berhenti pada proyek seminar atau slogan BPIP belaka. Ketiga, Pancasila harus menjadi alat pemersatu bukan pembeda. Bukan garis batas antara ‘yang pancasila’ dan ‘yang tidak pancasila’ dan alat pembungkaman minoritas serta yang lain (the other). Mengutip Buercher, bayang-bayang tafsir Pancasila yang berada dalam konservatisme religius dan konservatisme nasionalis menunjukan spektrum ideologis masyarakat Indonesia sedang berubah (shifting) menuju kurang demokratis, kurang kosmopolit dan kurang pluralis dibandingkan Indonesia pada awal reformasi 1998. Ketegangan ini jika tidak dikelola dengan kreatif bukankah hanya akan menghambat kita maju bukan?