Lelaki itu bersila dan berbicara dengan nada lembut. Angin bertiup malas dari gunung dan kerap menerpa wajahnya yang tegas. Sesekali ia tertawa, berkali-kali ia mengucapkan syukur dan tasbih. Cuaca tak lagi terik. Asri. Empat orang mengelilingi lelaki itu. Pohon kelapa berdiri menjadi saksi, serasa ikut mendengarkan.
Tujuh detik sebelumnya, tangan kiri lelaki itu memegang rambut hitam yang mulai memutih. Menggaruknya sebentar, lalu berpindah memetik peci hitam yang terbaring di pahanya. Dua puluh delapan detik setelahnya, ia mulai berbicara tentang sebuah kota.
“Selama puluhan tinggal di sini, tidak menemukan konflik karena perbedaan agama,” katanya, Selasa (17/10/2023).
Kota itu bernama Singkawang atau San Kew jong. Nama kota ini berasal dari bahasa Tiongkok yang bermakna kaki gunung yang dekat dengan muara dan berada tak jauh dari laut.
Seperti pada siang itu, di kaki sebuah Gunung, Edy Purwanto Achmad, nama lelaki itu, mengisahkan tentang kota yang pada tahun 2001 ia putuskan jadi Pelabuhan terakhir bagi keluarga kecilnya bertolak dari Jawa.
Beralaskan marmer putih pada bangunan yang bertuliskan Gedung Nahdlatul Ulama (NU) itu, Edy bercerita tentang banyaknya suku di Singkawang yang hidup bersama. Tiga suku besar terdiri dari Dayak, Melayu dan Tionghoa. Ada juga Bugis, Jawa, Padang dan suku lainnya.
Katanya, meskipun berisikan suku dan beragamanya agama dan kepercayaan di Singkawang perbedaan bukan jadi masalah yang diruncingkan atau menjadi angin ribut penambah kebisingan.
Keyakinan beragama dihormati laiknya matahari menghormati bulan yang beredar di orbitnya sendiri tanpa berusaha menubrukkan diri. Kalau toh ada perbedaan, biasanya bisa diselesaikan dengan suku terkait.
Beda pendapat itu biasanya terkait dengan pernikahan, dagang maupun gesekan sosial lainnya. Ketika saya bertanya soal musim politik dan pengaruhnya ke masyarakat Singkawang, Edy mulai memakai kopiah.
“Musim politik sih yang potensi ada gesekan,tapi bukan agama, tapi suku ,” katanya.
Tiga puluh tujuh menit sebelum kami berbincang, Edy sudah memakai baju khas melayu berwarna biru muda dan khidmat mengikuti pembukan Festival Hak Asasi Manusia (Festival HAM 2023) yang digelar di Balaikota Singkawang. Festival HAM 2023 inisiasi International NGO Forum on (INFID) bersama dengan Komnas HAM, KSP dan sejumlah stakeholder lain.
Pikirannya pun menerawang, sesekali ia senyum. Kota yang ia cintai menapaki usai muda, 22 tahun dan bukan lagi daerah pemekaran dari Kalimantan Barat. Bahkan, tiga kali diganjar sebagai kota Toleran berdasarkan riset SETARA Institute, tahun 2018, 2021 dan 2022.
Toleransi beragama dan berkeyakinan dipahami sebagai hak tiap warga Singkawang menjalani hidupnya. Adanya momen politik membuatnya dan mereka yang peduli pada kota yang dijuluki Kota Seribu Vihara ini harus bersiap lebih keras dan waspada.
Politik praktis, Anda tahu, kerap menerebas segala batas dan ketidakmungkinan, termasuk tatanan sosial yang sudah tertanam dan mengakar. Perlu ada orang-orang yang mau menjadi pengusir angin kebencian dan jadi perekat jika masyarakat terbelah atau retak. Edy adalah salah satunya.
“Untungnya di Singkawang, pemuka agama itu biasanya juga di pemerintahan daerah. Jadi lebih enak, pasti yang dipikirkan adalah masyarakat,” Edy.
Posisi Edy saat ini merupakan Ketua NU Singkawang dan bekerja di Pemda setempat. Posisi itu menguntungkan lantaran ia bisa merasakan denyut langsung masyarakat, sekaligus menjadi tameng serta penghubung dengan kebijakan setempat.
Satu jam lima puluh menit usai saya berbincang dengan Edy, saya berpapasan dengan Min.
Ia Tionghoa dan saya bertemu dengan Min di Vihara Tri Dharma Bumi Raya, vihara terbesar di Kalimantan Barat dan bertempat di Singkawang. Jaraknya 2,4 KM dari pusat Kota dan 4,5 jam dari Pontianak, ibu kota Provinsi.
Min berbicara dengan bahasa Tiongkok dengan temannya. Usia Min sekitar 53 tahun, berpakaian hitam dan celana pendek. Rambutnya tidak bersisir dan sedang bersandar di tangga Vihara. Ia tertawa kecil ketika saya datang menyapa.
Min bukan penjaga yang saban berada di Vihara itu. Ia tinggal di sekitar Vihara.
“Berdoa saja, nggak papa. Semoga baik di jalanan, selamat,” katanya.
Saya membungkuk mengucapkan terima kasih dan ia memegang pundak saya. Perasaan hangat mengalir dalam hati, keramahan yang membuat sekat terpecah. Cinta sederhana dari warga Tionghoa Singkawang.
Vihara ini, katanya, bukan sekadar tempat ibadah atau berdoa, tapi bisa jadi tempat bertemu warga yang tidak saling kenal sekadar bertegur sapa. Tidak hanya ruang bagi warga Tionghoa.
“Sebagai muslim, saya menikmati dan nyaman di tempat ini,” kata saya.
Min lantas tersenyum untuk kesekian kali. Senyum yang sama juga muncul dari sosk perempuan Tionghoa bernama Tjhai Chui Mie.
Ia adalah Wali Kota Singkawang 2017-2022 dan ketika ia menjabat, Singkawang membuat lompatan besar di kota ini. Ia memimpin Singkawang yang multi etnis hingga mendapatkan predikat sebagai kota Toleran.
“Toleransi jadi kekuataan kami. Semua orang tidak ingin konflik kan, termasuk kami di Singkawang ingin semuanya aman,” jelasnya.
Setelah 37 jam di kota ini, saya pun meyakini ucapan Edy, Min dan Tjhai Chui Mie bahwa kota Singkawang memang tercipta dari cinta dan kehangatan.