Beberapa hari lalu, di sebuah gardu depan komplek perumahan, saya bersama empat orang bapak-bapak sedang menyaksikan pertandingan antara Argentina versus Arab Saudi. Uniknya, kekalahan Argentina tidak lantas membuat mereka saling merundung, padahal, salah satu mereka mengaku pendukung tim Tango, julukan buat tim nasional Argentina.
Selepas pertandingan pun dilanjutkan dengan berbincang dengan beragam topik, kebanyakan terkait sepakbola. Bahkan, salah seorang dari mereka menceritakan di setiap penyelenggaraan Piala Dunia sebelumnya, selalu saja ada tim nasional yang digadang-gadang sebagai “Kuda Hitam,” terma yang ditujukan kepada tim yang kekuatannya tidak diketahui dan kemudian mengejutkan dengan meraih kemenangan atau melakukan lebih baik dari apa yang diharapkan semua orang.
Sang bapak itu pun menyebutkan beberapa tim nasional, seperti Kamerun di Piala Dunia 1994, Senegal di Korea-Jepang tahun 2002, Norwegia pada tahun 2006, hingga Kroasia pada Piala Dunia sebelumnya. Perbincangan mereka berlanjut mengenang kejadian-kejadian aneh di beberapa penyelenggaraan sepakbola, seperti jersey unik milik Jorge Campos, koin keberuntungan kepunyaan Jose Luis Chilavert, hingga kasus tes doping sang mega bintang, Diego Maradona.
Dari perbincangan mereka, saya melihat sepakbola menjadi sangat manusiawi, dengan segala warna kehidupan di dalamnya. Berbeda dari apa yang saya jumpai di media sosial, khususnya pada pelaksanaan Piala Dunia di Qatar ini, di mana diskursus terkait agama cukup mendominasi, terlebih sejak kemunculan pembacaan ayat suci al-Qur’an pada saat pembukaan.
Bahkan, agama sudah lama dikaitkan dalam penyelenggaraan Piala Dunia Qatar 2022 ini, paling tidak sejak wacana pelarangan penjualan minuman keras dan penggunaan bendera kelompok LGBT di ruang publik. Dalih penyelenggara berdasarkan pada aturan negara yang berlandaskan ajaran agama dari mayoritas penduduk Qatar.
Tak pelak, sikap mendukung dan penolakan pun berserakan di media, khususnya internet dan layanan jejaring sosial. Beberapa pemain atau negara yang bersuara mendukung dan menolak pelarangan mendapatkan perlakuan berbeda. Siapapun mendukung pelarangan maka dianggap sebagai pihak baik, sebaliknya mereka yang masuk kubu yang menolak akan dicap sebagai penjahat atau munafik.
Seorang komedian asal Jerman, Klaus Hensen, pernah berujar, “”Sepakbola itu seperti demokrasi: dua puluh dua orang bermain dan jutaan orang menonton.” Namun, jika berkaca fenomena di atas, saya menyitir pernyataan Hensen tersebut, “Sepakbola itu layaknya demokrasi: dua puluh dua orang bermain dan jutaan orang mengomentarinya, tanpa menghasilkan perubahan apa-apa.”
Namun, saya lebih sepakat apa yang ditulis oleh Gabriel Kuhn, penulis asal Swedia, dalam buku Soccer Vs. The State. Kuhn memandang sepakbola sebagai fenomena yang terlalu kompleks untuk beragam reduksi. Sebab, sepertinya hanya sepakbola yang mampu menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, dengan semua dinamika di dalamnya, dari perebutan remote televisi hingga urusan agama pun ada.
Sepak bola adalah fenomena budaya yang unik. Tidak ada olahraga atau aktivitas lain yang telah berkembang dan menyebar secara global seperti sepakbola, selain agama.
Hal yang saya sayangkan adalah diskusi soal ajaran Islam “berhenti” pada pada minuman keras dan LGBT saja. Ayat al-Qur’an yang dibacakan dengan sangat indah pada saat pembukaan kemarin, tidak sekedar penghias belaka, seharusnya dapat dijadikan diskusi lebih lanjut untuk mengulas nasib para pekerja yang meninggal pada saat persiapan Piala Dunia.
Bahkan, saat bisnis di Sepakbola gagal menghadirkan keadilan bagi pekerja yang digaji rendah untuk membuat sepatu mahal atau jersey yang dipakai para pemain dunia. Kita tidak tergerak untuk menghadirkan narasi agama di kejadian memilukan tersebut.
Ketidaksetujuan atas LGBT dan minuman keras bukanlah satu-satu ajaran agama yang bisa diperkenalkan saat Piala Dunia. Islam bisa menjadi aktor terdepan membela hak-hak para pekerja imigran di Qatar atau di daerah mana saja yang mengalami ketidakadilan akibat bisnis sepakbola.
Postingan kekalahan salah satu tim karena agama yang dipeluk mayoritas pemain dan penduduk Negara tersebut, adalah kegagalan kita dalam menghadirkan agama sebagai pembela bagi kemanusiaan. Wajah kesalehan publik kita di media sosial yang hadir lewat beragam postingan bernada negatif pada agama atau kepercayaan tertentu seharusnya tidak boleh terjadi.
Yuk kita berkaca pada kejadian di Perang Dunia I, tepatnya pada bulan Desember tahun 1914 lalu. Kala itu, para tentara Jerman dan Inggris yang telah berperang di tanah Belgia sejak pecah perang pada Juli di tahun yang sama, mengadakan gencatan senjata tanpa memberitahu pimpinan tertinggi masing-masing. Mereka merayakan Natal bersama sembari membagi-bagikan atau bertukar kado seadanya, dari rokok, cokelat, hingga minuman.
Uniknya, perjumpaan tersebut ditutup dengan sebuah pertandingan sepakbola. Walaupun diragukan oleh para sejarawan tentang adanya pertandingan resmi, namun paling tidak terjadi saling menyepak bola di tengah perkumpulan para tentara tersebut telah memberikan pelajaran besar bahwa perayaan agama dan sepakbola bisa menghentikan perang, bahkan skala Perang Dunia sekalipun. Bagaimana dengan kita?
Fatahallahu alaina futuh al-arifin