Salah satu keistimewaan agama Islam adalah nilai toleransi (tasamuh), khususnya dalam mengakui hak beragama. Hal tersebut tidak lain karena Islam adalah agama yang luar biasa dalam hal toleransinya terhadap pemeluk agama lain. Agama lain bisa hidup tenang di bawah naungan Islam, dan hal ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad Saw.
Tepatnya ketika Nabi Muhammad Saw. membangun sebuah negara yang bernama Madinah, yang di dalamnya hidup berbagai macam agama, mulai dari Yahudi, Nasrani dan bahkan orang-orang kategori musyrik. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga masa dinasti-dinasti Islam di sepanjang masa keberadaannya. Mereka diberi kebebasan untuk menjalankan keyakinannya, asal tidak memusuhi Islam.
Contoh lainnya adalah ketika Islam berkuasa di Spanyol, Islam juga mengayomi kaum Nasrani dan Yahudi, sehingga saat itu Andalusia dikenal dengan sebutan negara dengan tiga agama. Walaupun pada akhirnya, Islam terusir kembali dari Andalusia oleh mereka.
Hak Beragama dan Hak Untuk Menjalankan Praktik Keagamaan adalah Bagian Dari Menjaga Agama
Para ulama terdahulu seperti al-Ghazali dan al-Syatibi, dalam memberikan contoh dalam menjaga agama dengan memberikan contoh berupa hukuman mati ketika meninggalkan keyakinan yang benar (murtad). Namun Ibnu Asyur dalam karyanya Maqasid Syari’ah Islamiyah menafsirkan ulang perlindungan agama dengan konsep al-Hurriyah yaitu kebebasan kepercayaan atau kebebasan berkeyakinan dalam istilah lain.
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Asyur tentu bukan tanpa dasar, karena Islam sendiri mengakui terhadap hak beragama, dan kemajemukan agama di tengah kehidupan. Dan itu semua tidak lepas dari ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana firman Allah Swt:
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya; Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S al-Baqarah, 256)
Ibnu katsir ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa, “Janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.” Dan ayat tersebut sendiri diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari kalangan Ansar, sekalipun hukum yang terkandung di dalamnya bersifat umum.
Walaupun Allah Swt Maha Kuasa, namun Dia tidak mau memaksa suatu kaum untuk memeluk agama Islam. Karena manusia dihormati, diberi kebebasan untuk memilih dan memilah. Siapa yang mau beriman silahkan beriman, siapa yang kufur ya silahkan. Itu nanti tanggung jawab dan urusan secara personal kepada Allah Swt.
Akan tetapi dalam praktiknya, ayat di atas sering dipotong dibagian awal tanpa melanjutkan penjelasan yang ada secara utuh dalam ayat tersebut. Sehingga terkadang menjadi kebablasan dalam memahami mengenai tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.
Salah satu karakteristik agama Islam adalah tasamuh atau toleransi, atau agama yang hanif yaitu lembut. Sehingga di masa dahulu, selain melindungi Islam itu sendiri, kepemimpinan-kepemimpinan dalam Islam juga melindungi agama lainnya. Dengan syarat, pemeluknya menjadi ahli dzimmah. Ajaran agama Islam juga membiarkan mereka tetap berada dalam agama mereka seperti Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan sebagainya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang diungkapkan oleh Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla;
كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ، أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، فَإِنَّهُ لا يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
Artinya; Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, bahwa siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dihasut untuk meninggalkan agamanya, dan dia wajib membayar jizyah.
Inilah salah satu karakteristik ajaran agama Islam, tidak ada paksaan dalam memeluk Islam itu sendiri. Oleh karenanya, orang non-Muslim tetap bebas untuk beribadah, menikah, bercerai, termasuk bebas makan, minum dan berpakaian sesuai dengan agama mereka.
Selain hak beragama dan hak menjalankan praktik keagamaan, mempelajari agama yang kita anut yaitu Islam juga bagian dari menjaga agama. Karena agama ini diturunkan dengan riwayat, bukan dengan hanya ikut-ikutan. Hal inilah yang kemudian masuk ke dalam salah satu tujuan syariah yang lainnya yaitu menjaga akal, salah satunya dengan adanya pendidikan. Sehingga beragama itu berdasarkan pilihan, dan pilihan itu berdasarkan pertimbangan yang sadar dan utuh.
Hanya saja, konsep kebebasan ini banyak disalahkaprahkan oleh banyak orang. Sehingga atas nama kebebasan beragama, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berkepresi ada yang menggunakannya untuk menghina agama atau kelompok lain. Sebuah ekspresi yang kebablasan atas nama kebebasan.
Karena bagian lain dari cara menjaga agama adalah dengan tidak menghina pemeluk agama lain, karena jika kita menghina pemeluk agama lain. Tentu mereka akan menghina balik, dan tentunya Allah Swt sebagai Tuhan juga akan kena hinaan akibat ulah para hambaNya. Di sinilah pentingnya saling menghormati pemeluk agama lain sebagai bagian dari menjaga agama Islam itu sendiri.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI