Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, bila ada anggapan bahwa agama dan budaya sukar diakurkan, maka Indonesia menepisnya. Bagi bangsa ini, agama dan budaya adalah sejoli yang saling melengkapi. Jika hilang satu, tamatlah keharmonisan Indonesia.
“Karena itu, dalam konteks menjaga pasangan ‘agama dan budaya’, kita perlu belajar dari cuitan salah seorang selebritas di Twitter, “Janganlah bercerai. Saya sudah pernah. Repot ngurusnya”, begitu kicauannya,” demikian disampaikan Menag yang disambut meriah hadirin yang antusias menyimak Pidato Kebudayaan Menag yang mengusung tema “Kedewasaan Beragama dan Masalah-Masalah Kemanusiaan Masa Kini” pada Forum Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (10/11) malam.
Menag yang tampil elegan dengan balutan busana hitam dan bersarung khas seorang santri, mengatakan, kompleksitas budaya yang meliputi unsur sosial, politik hingga ekonomi sangat mempengaruhi cara masyarakat mengekspresikan keyakinan agamanya.
“Itu sebabnya, wajah keberagamaan bisa berbeda-beda di setiap tempat sesuai kondisinya,” kata Menag .
Menag menyampaikan, di Indonesia terdapat sedikitnya empat cara masyarakat dalam beragam; Pertama, tradisional atau beragama berdasarkan tradisi. Orang beragama dengan mengikuti tradisi dan pakem ritual yang turun temurun. Kedua, formal atau beragama berdasarkan formalitas atau meniru cara beragamanya penguasa atau tokoh berpengaruh. Ada ungkapan agama rakyat adalah agama raja.
Ketiga, rasional atau beragama dengan mendahulukan rasio. Agama dipahami, dihayati dan diamalkan jika dapat dinalar dengan akal, bisa dihitung secara matematis, atau terbukti secara empiris. Keempat, kontekstual atau beragama dengan menggunakan pikiran sekaligus perasaan.
“Meskipun menggunakan rasio, cara beragama ini mensyaratkan terjaganya kesinambungan ajaran dari sumber yang otoritatif,” ucap Menag.
Menurut Menag, semua cara beragama itu tumbuh karena pada dasarnya masyarakat kita bersifat terbuka. Agama mudah diterima karena dianggap bisa merekatkan solidaritas, menjadi pengontrol moral, sekaligus memotivasi perubahan.
“Norma-norma yang baik memiliki daya dorong yang kuat ketika termaktub dalam kitab suci,” ujar Menag.
Menag mengilustrasikan, pada budaya Jawa misalnya, ada ajaran Molimo yang berintikan larangan terhadap 5 hal: Main, Minum, Madat, Madon, dan Maling. Dalam pandangannya, ajaran ini sesuai dengan anjuran kitab-kitab suci.
Dalam konsep yang sederhana, menurut Menag, hubungan agama dan budaya ibarat botol bertemu tutup yang klop. Ketika agama membutuhkan perangkat, budaya menyediakannya. Kewajiban menutup aurat bagi umat Islam, misalnya, memerlukan produk budaya berupa pakaian. Dan, produk budaya yang digunakan sebagai atribut biasanya dibikin dengan kualitas terbaik.
“Sebut contoh, candi dibangun semegah dan seindah mungkin sebagai tempat bersemedi bagi pemeluk Hindu dan Budha. Siapa yang menyangsikan kemegahan Borobudur dan Prambanan?,” tandas Menag.
Menag menjelaskan, berpadunya budaya dan agama di Indonesia meninggalkan produk-produk fisik seperti arsitektur candi yang merepresentasikan tingginya peradaban.
“Namun menariknya, ketika Islam datang, produk semacam itu tetap berdiri dan muncul akulturasi pada bangunan baru seperti Masjid Kudus yang memadukan Hundu-Budha-Islam dan Jawa-India-Arab,” ucapnya.
“Produk non fisik seperti peringatan kematian tetap dilestarikan, tapi diubah substansinya dengan pembacaan ayat-ayat suci dan zikir atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tahlilan,” Menag menambahkan.
Itu artinya, ujar Menag, masyarakat kita sudah terbiasa berbaur antarpemeluk agama dan antarpemilik kebudayaan. Bukan hal aneh ketika di beberapa daerah masjid berdiri di sebelah gereja dengan masing-masing menonjolkan ciri khas bangunannya.
Fenomena ini, lanjut Menag, menunjukkan bahwa agama tak perlu menjadi pemisah sesama warga. Juga menegaskan bahwa kerukunan adalah ruh bangsa ini.
“Kerukunan melengkapi budaya lain yang luhur seperti gotong royong dan sopan santun,” kata Menag.
Jika dicermati, kata Menag, konflik-konflik agama di Indonesia terjadi bukan karena pertentangan antar-ajaran agama, melainkan bermula dari hal di luar agama itu sendiri. Mulai dari soal politik, ekonomi, hingga hal yang bersifat personal seperti asmara.
“Agama dalam model dan pola konflik seperti itu sesungguhnya hanya dibawa-bawa sebagai alat justifikasi dan pembenar atas tindakan para pihak yang berkonflik,” ucap Menag. (dm/dm).
*) Diambil dari website kemenag