Pada mulanya seluruh keadaan alam raya adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang benderang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya. Dalam kegelapan alam semesta, Tuhan mulai melemparkan cahaya-cahaya kebenaran pada dada manusia yang dipilihnya, lalu orang-orang pilihan ini mulai tersingkap matanya dari kabur rahasia dunia.
Tuhan melemparkan cahaya-cahaya kunci alam semesta pada mereka yang sungguh-sungguh dalam mempelajari rahasia Tuhan di bumi, seperti yang selama ini dilakukan oleh para ulama dan ilmuwan. Dari para ulama atau ilmuwan ini lah kita semua menguak sedikit demi sedikit rahasia di balik kerumitan alam semesta. Karena memang pada kenyataannya dunia ini penuh rahasia, rumit, dan perlu selalu dipelajari.
Mereka semua, para ulama dan ilmuwan, bekerja menggunakan metode untuk menghindar dari terjadinya kesalahan pembacaan, pengambilan data, dan penarikan kesimpulan. Dari serangkaian proses panjang pencarian pengetahuan lalu disusun menjadi ilmu, kemudian terbitlah beberapa ilmu yang sehari-hari bisa kita manfaatkan. Misalnya ramalan cuaca yang bisa kita pantau dengan cepat di layar gawai.
Ilmu itu berkembang secara gradual, dicari dan dibuktikan oleh banyak orang yang berkecimpung di dunia keilmuan. Kita lihat saja betapa lamanya proses pencetusan musabab benda jatuh dari atas ke bawah, sebuah peristiwa yang alamiah dan sama sekali tidak membuat kita tercengang. Ribuan tahun manusia telah hidup dan melihat fenomena biasa itu, tetapi baru tahun 1600-an, berkat jasa Isaac Newton kita menjadi tahu alasan kenapa benda jatuh. Padahal, pasti sudah ada ribuan atau bahkan jutaan orang sebelum Newton yang pernah melihat benda jatuh, tapi cahaya itu dipancarkan Tuhan baru tahun 1600-an dan penerimanya adalah Isaac Newton. Teori tentang gravitasi itu pun terus berkembang secara gradual sampai direvisi oleh Einstein pada 1900-an dan terus diperbaiki dan disempurnakan sampai sekarang.
Mendapatkan ilmu, apalagi cahaya dari Tuhan, adalah sebuah karunia. Maka tidak heran kita bisa amat bergembira saat mulai mengerti dan paham tentang apa yang dipelajari. Karena itu rasa selalu ingin tahu dan terus menguji kebenaran yang didapat adalah nafas dari dunia keilmuan.
Yang perlu dicatat, dibalik nikmatnya ketika sudah menangkap ilmu adalah rangkaian proses mendapat ilmu. Proses yang dilalui oleh para ulama dan ilmuwan bukanlah sebuah usaha yang mudah dan tiada tantangan. Para ulama dan ilmuwan membaca, menalar bahkan sampai tirakat meninggalkan hal-hal duniawi untuk mendapatkan ilmu, agar apa yang diburu benar-benar digenggam.
Namun sayangnya, memang selalu ada saja orang-orang yang ingin mencapai kenikmatan pengetahuan dengan jalan pintas. Dan salah satu yang mendapat ruang dalam membuat shortcut pada pengetahuan adalah mereka yang membuat, menyebarkan dan mempercayai konspirasi, meskipun sebenarnya bukanlah pengetahuan yang didapat dari teori konspirasi, melainkan hanya klaim kebenaran untuk memuaskan ego mereka semata.
Di masa sulit seperti saat ini, para ilmuwan tengah bekerja keras mempelajari jenis baru dari keluarga virus SARS, para dokter juga telah berjibaku merawat pasien positif, serta para ulama membimbing umat untuk tetap ikhtiar menjaga kesehatan dan berserah pada Yang Maha Hidup, tapi malah ada sekawanan orang anti-ilmiah yang mengobral klaim kebenaran untuk memuaskan hasrat ego mereka.
Mereka merasa yang paling benar dan paling logis. Memposisikan diri sebagai korban lalu menunjuk orang lain menjadi dalang dari serangkaian musibah yang dialami.
Konspirasi memang bisa bekerja sangat masif di tengah masyarakat yang diliputi rasa cemas karena orang yang cemas tentu mendambakan ketenangan. Dan salah satu jalan mendapat ketenangan adalah dengan mendapat kepastian pada keadaan, meskipun informasi yang diterima tidak valid dan muaranya malah bisa mencelakai banyak orang. Sehingga sirkulasi informasi sejenis konspirasi ini memang sangat berbahaya di tengah situasi sulit seperti saat ini.
Konspirasi tidak dapat dibenarkan karena bukan hanya anti-ilmiah, teori konspirasi adalah produk dari orang yang tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi mendalam pada isu yang menjadi krisis. Mereka hanya memainkan emosi masyarakat dengan nalar gothak-gathuk yang dirangkai dengan narasi sangat meyakinkan. Mereka mencari-cari hubungan antara satu kejadian dengan kejadian lain, mengaitkan satu situasi dengan situasi yang lain.
Para ilmuwan mencari ilmu sejak kecil dengan belajar ilmu alam satu persatu, mereka mengenal angka, makhluk biotik dan abiotik, lalu dipelajarilah sesuatu yang lebih spesifik seperti keilmuan biologi dan kedokteran. Selanjutnya mereka semakin menspesialisasi diri dengan keilmuan tentang virus atau tentang paru-paru. Waktu untuk memahami ini semua memerlukan tenggat yang lama, bahkan dalam meneliti bisa dilakukan berpuluh-puluh tahun. Sehingga dari para ilmuwan ini lah kita menjadi tahu apa yang paling terbaik untuk dilakukan saat masa sulit seperti ini.
Kemudian dari data dan saran yang mereka kemukakan, dengan entengnya dibantah oleh mereka yang mungkin baru mengenal skema penularan virus dan cara vaksin bekerja 2 bulan yang lalu dengan menyatakan bahwa pandemi ini hanya konspirasi dan saran-saran ilmuwan tak perlu diikuti.
Sayangnya memang telah ada orang yang kadung percaya omongan ngawur yang menyatakan bahwa pandemi ini konspirasi. Mereka memutuskan melanggar PSBB yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah, padahal bukti suksesnya lockdown sudah tersebar di banyak surat kabar. Mulai dari Tiongkok sendiri sebagai asal virus corona ini, disusul Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Selandia Baru, Hongkong, sampai Jerman. Mereka adalah beberapa contoh negara yang sukses melawan pandemi dengan tertib lockdown dan mengedepankan cara hidup ilmiah.
Selain konspirasi yang menyatakan bahwa corona hanya akal-akalan, ada juga konspirasi yang menyatakan bahwa virus ini buatan tangan manusia yang bocor. Barat menunjuk Timur bersalah, sebaliknya Timur menunjuk Barat lah yang bersalah. Padahal saat ini nyaris semua negara merasakan dampak mewabahnya virus corona.
Konspirasi memang menarik, karena menawarkan seolah-olah kebenaran dengan cara yang instan dan meyakinkan. Apalagi masyarakat juga tengah resah dan membutuhkan sebuah kepastian. Namun konspirasi ini tentu berbahaya, karena konspirasi bisa mengacak-acak tatanan keilmuan dengan cara yang sama sekali tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Konspirasi juga akan membuat keadaan semakin runyam karena akan membentuk orang-orang yang bebal dan merasa sudah paling mengerti. Konspirasi juga akan membuat orang tidak bisa menerima keadaan yang memang saat ini belum ada penjelasannya. Belum lagi dalam tatanan sosial, konspirasi terbukti beberapa kali bisa mengancam kehidupan seseorang.
Pada kasus corona kali ini, jika semakin banyak orang yang percaya konspirasi dan meremehkan himbauan para pakar, yang akan dihadapi oleh kita semua adalah kondisi herd immunity, sebuah kondisi yang mengancam nyawa 16 juta penduduk Indonesia. Sebuah tragedi abad 20 yang akan terulang di abad 21 ini. Sama sekali tidak lucu. [rf]