Mohamad Shahrur (2009) The Qur’an, Morality and Critical Reason: The Essential Muhammad Shahrur [diterjemahkan dan diedit oleh Andreas Christmann], (Leiden/Boston: Brill), xlviii + 588 halaman.
Kalau ada pemikir kontemporer Islam yang dianggap begitu “radikal,” yang dampak pemikirannya dianggap layak dibandingkan dengan Reformasi Protestan, maka pemikir itu adalah Muhammad Shahrur. Shahrur (11 April 1938 – 21 Desember 2019), yang lahir di Damaskus, adalah pemikir inovatif dan penulis Suriah. Dalam konteks pemikiran Islam, Shahrur memiliki pendekatan yang orisinal dalam upaya mengaitkan iman dan nalar (reason).
Meraih ijazah sekolah menengahnya pada 1958, Shahrur belajar teknik Sipil di Universitas Negeri Moskow, Uni Soviet, dan menamatkannya pada 1964. Setelah itu, ia kembali ke Suriah untuk bekerja sebagai asisten peneliti untuk Universitas Damaskus. Ia meraih gelar Master pada 1968 dan PhD pada 1972 dari University of Dublin, Irlandia. Namun, Profesor Teknik Sipil Emeritus di Universitas Damaskus ini bukan dikenal karena karyanya di bidang teknik. Ia justru dikenal karena banyak menulis tentang Islam.
Karya pertama Shahrur, The Book and the Qur’an: A Contemporary Reading (1990), membuat namanya terkenal di kalangan intelektual, mahasiswa, dan cendekiawan di seluruh Timur Tengah selama 1990an.
Banyak pembaca yang terpana oleh cara berpikirnya yang berani, kreatif, dan tidak-lazim, yang menjadi ciri tulisan-tulisan Shahrur. Orang yang bukan pakar atau bukan mahasiswa Studi Islam dan Al-Qur’an merasa terpesona oleh logika dan argumen Shahrur. Melalui diskursus yang diperkenalkannya, banyak pembaca merasa mendapatkan akses ke perdebatan filosofis dan teologis yang agak rumit.
Dituding Murtad
Buku pertama Shahrur telah beredar di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Pemikiran Shahrur membuat marah banyak sarjana tradisional di Universitas Al-Azhar, bahkan telah dinyatakan “murtad” oleh Mustafa Al-Shak’a dan Farahat Al-Sayeed Al-Mungi. Ketika Sheikh Yusuf Al-Qardawi, pemikir Islam berpengaruh dan sering menjadi tamu di Al-Jazeera, ditanya tentang pentingnya karya Shahrur bagi dunia Islam, ia berkata: “Ini agama baru!”
Buku Shahrur yang kedua dan ketiga telah dilarang di banyak negara, tetapi ribuan salinan atau versi bajakan telah diterbitkan, dijual, dan diedarkan dengan diam-diam. Sementara itu, setidaknya 13 buku telah diterbitkan untuk mengecam dan menyerang buku pertama Shahrur.
Buku yang saya ulas ini merupakan upaya untuk menyajikan seluruh karya Shahrur dalam satu buku, yang mencakup hampir dua dekade publikasi dan (hampir) seluruh spektrum pemikirannya. Diharapkan bahwa seleksi karya ini, yang diterjemahkan dan secara khusus diatur dengan persetujuan Shahrur sendiri, dapat membantu kita untuk memahami apa yang telah menarik perhatian publik pembaca Arab pada dekade 1990an.
Karena buku ini adalah kompilasi dari teks-teks yang telah secara khusus disusun ulang dan dimodifikasi untuk terjemahan, hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa sejumlah besar kolaborasi dengan Muhammad Shahrur sendiri dan orang-orang di sekitarnya yang mendukung karyanya.
Yang lebih penting, dari buku ini pembaca bisa memahami, mengapa karya Shahrur telah dianggap oleh beberapa kalangan sebagai “revolusioner.” Sehingga Dale F. Eickelman menyimpulkan, “dibandingkan dengan kebanyakan pemikir Islam lainnya, Shahrur adalah radikal.” Sementara Rainer Nabiele bahkan membandingkan gagasan Shahrur dengan Sembilan Puluh Lima Tesis yang dipakukan Martin Luther ke pintu gereja Wittenberg pada 1517, yang dengan itu Reformasi Protestan dimulai.
Wawasan Baru tentang Islam
Shahrur menyatakan, tujuan utama karyanya adalah untuk melampaui epistemologi keilmuan Islam tradisional. Shahrur berpendapat, pemikiran tradisional sebelumnya — yang terlalu sering dipuji sebagai “tak dapat ditiru” atau “tak tertandingi” — faktanya telah menghambat upaya untuk memperoleh wawasan keislaman baru.
Menurut Shahrur, untuk mencapai pembaruan yang asli, dan reformasi yang langgeng, kita tidak dapat mengandalkan solusi-solusi era dulu. Mengutip Einstein, Shahrur menyatakan, “(Dunia) yang kita ciptakan, sebagai hasil dari tingkat pemikiran yang kita capai, telah menciptakan masalah-masalah. Masalah-masalah itu tidak dapat kita pecahkan dengan level pemikiran yang sama, dengan saat ketika kita menghasilkan masalah-masalah itu. Maka kita membutuhkan cara berpikir yang secara substansial baru, jika manusia mau bertahan hidup.”
Untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah masa kini di dunia Arab-Muslim, umat Islam dituntut untuk menggunakan ide-ide dan pemikiran dari pikiran-pikiran yang paling kreatif, bahkan sekalipun usulan-usulan itu tampak tidak biasa atau tidak dikenal. Pemikiran yang selama ini akrab dan dikenal baik, sering tidak memadai untuk memecahkan masalah-masalah yang menantang dari dunia yang semakin kompleks.
Buku Shahrur ini merupakan kritik tegas tanpa henti, terhadap upaya-upaya yang mencoba mereformasi Islam dengan cara kembali ke pemikiran usang Arab abad ke-7 dan mengadopsi pandangan dunia kuno dari para leluhur salafi. Bagi Shahrur, reformasi-reformasi tanggung semacam itu tidak akan membuahkan hasil dan pasti akan gagal, karena memiliki sifat atavistik yang inheren, dan tidak sesuai dengan episteme modern yang menuntut pluralitas, toleransi, dan pemikiran progresif.
Kitab Allah, menurut Shahrur, mengajarkan untuk membagi sejarah manusia menjadi dua zaman. Zaman pertama adalah periode para nabi dan rasul, yang berakhir dengan misi Nabi Muhammad SAW. Zaman kedua dimulai setelah kematian Nabi Muhammad SAW, dan ini merupakan zaman di mana kita hidup sampai sekarang.
Shahrur berpendapat, dalam zaman kedua ini umat manusia tidak lagi membutuhkan nabi dan rasul Tuhan karena manusia telah mencapai tingkat kematangan sedemikian rupa, sehingga mereka — tanpa intervensi langsung dari Tuhan — dengan penuh percaya diri dapat mengeksplorasi hukum-hukum alam semesta. Ini memungkinkan masyarakat manusia saat ini untuk mengeluarkan undang-undang, tanpa instruksi atau arahan langsung dari nabi atau rasul.
Kaitan dengan Realitas Sosial
Pikiran tentang penciptaan hak asasi manusia (HAM), penghapusan perbudakan dan emansipasi wanita, semua itu adalah indikasi bahwa tingkat peradaban baru telah tercapai sebagai hasil dari legislasi pasca-kenabian. Akan menjadi kemunduran ekstrem, jika kita mencoba membangun masyarakat modern berlandaskan nilai-nilai pramodern dan norma-norma zaman lampau.
Menurut Shahrur, tugas umat Islam hari ini bukan untuk mundur ke keadaan masyarakat yang kurang kompleks dari sebelumnya, tetapi untuk mengembangkan bentuk masyarakat madani (civil society) yang paling maju, yang dampaknya akan bisa dirasakan oleh setiap penguasa lalim di dunia ini.
Dalam kaitan itu, al-Qur’an harus dibaca dan dipahami dalam kaitannya dengan realitas sosial yang terus berubah. Kitab Allah perlu dibaca dan dipahami dari perspektif orang-orang yang hidup di zaman kedua, di mana bimbingan langsung kenabian tidak diperlukan atau tidak lagi tersedia.
Shahrur beranggapan, “Yurisprudensi atas nama Tuhan adalah lelucon yang hanya menguntungkan mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan politik.”
Cara pandang Shahrur ini jelas bertentangan secara diametris dengan pandangan kalangan Islamis dan para ulama penganut hukum Islam tradisional.
Buku Shahrur ini sangat layak dibaca dan dikaji oleh mereka yang memiliki keprihatinan tentang masa depan umat Islam, yang saat ini harus bertahan hidup di dunia yang selalu berubah cepat. Pandangan-pandangan dan cara pendekatan Shahrur mungkin tidak lazim dan kontroversial. Tetapi bisa jadi hal itu merupakan obat, yang dibutuhkan bagi “penyakit-penyakit” yang menghinggapi umat Islam di zaman kita sekarang. ***
Satrio Arismunandar adalah mantan wartawan Kompas dan Trans TV, serta lulusan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.