Arab Saudi dan Sepak Bola: Mutualisme Menuju Reformasi Kebudayaan?

Arab Saudi dan Sepak Bola: Mutualisme Menuju Reformasi Kebudayaan?

Melalui sepak bola, wajah Arab Saudi menjadi tampak kontras dengan model sosial keagamaan yang selama ini telah mapan dibangun oleh kelompok Wahabisme.

Arab Saudi dan Sepak Bola: Mutualisme Menuju Reformasi Kebudayaan?
Ilustrasi: Alwy (islamidotco)

Umat salafi Wahabi menganggap bahwa panahan adalah “olahraga islami”. Sebaliknya, olahraga sepak bola dipandang sebagai sebuah aktivitas yang sia-sia, mengikuti budaya kafir-sekuler Barat, jalan menuju kemaksiatan dan dianggap bertentangan dengan syariat Islam.

Namun siapa sangka, Arab Saudi yang mula-mula berdiri di atas basis kelompok ultrakonservatif itu kini justru menganggap sepak bola sebagai bagian penting di negaranya. Hanya segelintir masyarakat yang tertarik akan panahan dibanding sepak bola yang rupanya berhasil menjadi olah raga nomor satu di sana.

Saudi era kini mampu menciptakan stadiun sepak bola sebagai “masjid”, tempat para pendukung loyal berkumpul, tokoh-tokoh yang bermain, ada hirarki dan struktur sosial, ada praktik ritual keagamaan (berdoa sebelum bermain atau agar tim favoritnya menang), dan semacamnya. Saudi era kini menampilkan wajah berbeda melalui peran sepak bola.

Tapi faktanya, sepak bola bukan barang asing di Arab Saudi. Federasi Sepak Bola Saudi sudah dibentuk tahun 1956, dan timkesebelasannya pun telah eksis sejak 1927 sebelum deklarasi dan pendirian negara-kerajaan Arab Saudi modern tahun 1932. Tetapi, kelompok-kelompok puritan seringkali menjadi pengganjal perkembangan sepak bola di Arab Saudi. Boro-boro tim sepak bola wanita, tim sepak bola pria di Arab Saudi terbilang stagnan meskipun federasinya masih aktif.

Namun, sejak Muhammad bin Salman mengambil alih tampuk kekuasan Istana, Arab Saudi berhasil mengeliminasi eksistensi kelompok konservatif-militan itu. Dampaknya, Saudi kini berhasil mengembangkan klub-klub sepak bola populer, sebut saja dua klub tersukses Saudi, al-Hilal dan al-Nassr.

Hingga saat ini, sepak bola di negara-negara Teluk bahkan berkembang menjadi sebuah industri dengan total aset yang fantastis. Menurut Nermeen Abbas, jurnalis Forbes Middle East, 10 klub teratas sepak bola Timur Tengah memiliki nilai aset 395 juta dollar. Dari 10 tim kaya itu, Arab Saudi mendominasi dengan lima tim, kemudian disusul Qatar dan UEA yang masing-masing dua tim, lalu Mesir dengan satu tim.

Pasca Muhammad bin Salman, kultur Arab Saudi pelan-pelan mengalami transformasi. Yang paling nyata adalah dalam aspek sepak bola. Arab Saudi perlahan mulai membuka diri untuk berinteraksi dengan Eropa untuk membincang “proyek” sepak bola. Salah dua contohnya adalah ketika Arab Saudi membuka negaranya untuk menyelenggarakan final piala domestik Liga Spanyol, Supercopa de España.

Final yang mempertemukan juara La Liga dan juara Copa del Rey pada musim sebelumnya itu sudah mulai dijalankan di Arab Saudi sejak musim 2019/2020. Pemerintah Arab Saudi disebut menjalin kesepakatan dengan RFEF, Federasi Sepak Bola Spanyol, senilai 30 juta euro atau sekitar Rp 492,6 miliar per edisi hingga 2029 untuk menggelar Piala Super Spanyol. Dalam berita yang dilansir bola.kompas.com, Negara Teluk itu akan menyuntikkan dana sejumlah 250-320 juta euro (sekitar Rp 4,04 triliun – Rp 5,179 triliun) ke rekening RFEF.

Selain itu, ada kesepakatan mengenai hak siar televisi untuk tiga tahun awal kompetisi tersebut. Nilai kontrak kerja sama ini adalah tujuh juta euro (sekitar Rp 113,297 miliar). Untuk edisi tahun ini (16/1/2023), Final Piala Super Spanyol mempertemukan antara juara La Liga, Real Madrid, dan runner up La Liga, Barcelona. Laga yang berlangsung di King Fahd International Stadium, Riyadh, itu akhirnya dimenangkan Barcelona dengan skor 3-1.

Tidak hanya dengan Spanyol, Arab Saudi juga meneken kontrak dengan Italia dengan mengadakan final Supercoppa Italiana di sana. Mendahului kontrak dengan Spanyol, kontrak dengan Feferasi Sepak Bola Italia, FIGC, sudah terjadi sejak tahun 2018. Sama dengan Spanyol, Arab Saudi menjalin kerja sama dengan Italia untuk menggelar Piala Super Italia hingga 2028/2029 hanya dengan nilai kontrak yang berbeda, yakni sebesar 138 juta uero.

Pada dua edisi perdana, 2018 dan 2019, Final Piala Super Italia digelar di Stadiun King Abdullah Sport City. Di tahun 2023 ini, Riyadh masih menjadi kota tuan rumah Final Piala Super Italia yang mempertemukan juara Seria-A, AC Milan, dengan kampiun Coppa Italia, Inter Milan. Laga yang berlangsung pada Kamis (19/1/2023) di Stadiun Internasional King Fahd itu menjadi saksi pembantaian Inter Milan atas AC Milan dengan skor 3-0. Saya sangat antusias menulis ini. Maklum, saya adalah seorang interisti sejak lebih dari 15 tahun lalu.

Berdasar dua venue besar tersebut, King Muhammad bin Salman tampak sedang merekonstruksi wajah Arab Saudi yang baru. Ambisi Raja Salman tersebut sangat tegak lurus dengan Visi 2030 Arab Saudi. Visi yang diresmikan pada tahun 2016 itu merupakan terobosan Kerajaan untuk mengurangi ketergantungan Arab pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi, dan mengembangkan layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, huburan, dan pariwisata.

Nah, untuk sampai pada visi misi itu, Saudi perlu melakukan gebrakan signifikan di beberapa lini, terutama pada sektor kebudayaan, sosial, politik, hukum, dan agama. Visi 2030 membawa misi corak keberagamaan yang moderat dan terbuka terhadap peradaban luar. Terbaru, salah satu klub tersukses Saudi, al-Nassr, menggaet bintang Portugal, Cristiano Ronaldo, dengan mega-kontrak yang fantastis. Selain aspek nominal kontrak yang besar, kepindahan Ronaldo bisa dilihat sebagai manifestasi sikap Arab Saudi yang inklusif terhadap peradaban Barat.

Melalui sepak bola, wajah Arab Saudi menjadi tampak kontras dengan model sosial keagamaan yang selama ini telah mapan dibangun oleh kelompok Wahabisme. Melalui Supercopa de España dan Supercoppa Italiana, Arab Saudi seperti sadar bahwa sepak bola merupakan instrumen yang paling efektif untuk melakukan reformasi budaya.

Hubungan yang saling menguntungkan antara Saudi dengan Spanyol dan Italia dalam aspek sepak bola menjadi salah satu gestur krusial Raja Salman untuk membuka pintu relasi seluas mungkin dengan harapan tidak ada yang ragu lagi untuk bernegosiasi secara ekonomi atau kultural dengan Arab Saudi.

Tujuh tahun berlalu sejak Visi 2030 dibentuk, gerak Arab Saudi benar-benar terlihat. Kita tunggu saja, apakah pada 2030 Arab Saudi bisa terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia. Jika terpilih, tentu Visi itu akan terasa semakin sempurna. Menarik untuk mengamati bagaimana Arab Saudi bernegosiasi dengan budaya luar tanpa menghilangkan statusnya sebagai tanah suci umat Islam di seluruh dunia.